Jagat maya hebohkan dengan orang asing yang menyalahgunakan izin liburan di Bali.
Dia bahkan menulis dan menjual buku panduan tentang bagaimana memasuki Bali di tengah pandemi. Menurutnya, hidup di Bali jauh lebih terjangkau dibanding negara asalnya, negeri Paman Sam. Di Bali, lanjutnya, kalian bisa hidup penuh kesenangan, ketenangan, dan biaya kebutuhan hidup yang miring sekali.
Sesungguhnya, hal tersebut tidak membuat saya terkejut. Kenapa netizen Indonesia baru menghebohkan hal tersebut hari ini? Karena percayalah, hal tersebut sudah terjadi sekian lama. Sebelum kita sadar bahwa banyak sekali pengunjung ke negara kita untuk bersenang-senang tanpa rasa hormat apalagi tanggung jawab terhadap alam, budaya, dan sesama manusia.
Oh, banyak sekali yang bahkan tiba ke negara kita tanpa tahu apa-apa tentang Indonesia. Selain bahwa mereka bisa menyewa skuter dengan sangat murah. Bahwa mereka bisa berpesta pora hingga subuh sambil meneguk bir murah. Bahwa mereka bisa mengambil banyak gambar di tengah sawah hijau, pinggir pantai, puncak gunung, dan kemudian akan mereka bagikan di sosial media dengan kata-kata persuasif yang hiperbola tentang utopia hidup di Bali.
Uhhfffttt..
Ketika saya menulis ini, tidak sedikit pun saya ingin menghakimi, memberi label pada setiap manusia yang berwisata. Karena sejatinya saya juga pejalan, meskipun selama tiga tahun ini, saya tidak melakukannya karena tengah menempuh pendidikan spesialisasi. Saya ingin kita berbagi, bercerita, yang semoga setiap pengalaman mampu membuka mata, menambah pandangan, dan semoga menggerakkan kita pada sebuah kesadaran tentang realita-realita yang terjadi di sekitar kita.
Bayar dengan Unggahan
Sebelum menjadi mahasiswi pendidikan spesialisasi kedokteran, saya bekerja sebagai dokter umum di lantai internasional sebuah rumah sakit swasta terkemuka di Bali. Berbekal kursus-kursus kedokteran mutakhir, dua sertifikat bahasa asing, akhirnya saya menjadi dokter umum yang bertanggung jawab menangani orang asing. Saya bertugas cukup lama, 3,5 tahun. Cukup lama untuk memahami semua manusia tidak peduli asal dan warna kulit dan jenis kelamin adalah sepadan.
Saya tidak berniat memungkiri, sebelum bertugas di lantai tersebut, saya datang dengan kekaguman bahwa orang-orang dari negara tertentu sangat rapi dan tepat waktu. Lalu, penduduk dari negeri satunya adalah penduduk penuh sopan santun dan lembut. Pandangan-pandangan tersebut melekat berkat buku-buku, televisi dan sinema.
Namun, ketika mengalami langsung banyak peristiwa, akhirnya saya tiba pada sebuah kesimpulan, tidak ada citra yang hakiki. Segala sesuatu membutuhkan pengalaman personal, setidaknya bagi saya.
Pengalaman bekerja di lantai tersebut, membuat saya memiliki daftar hitam terhadap pasien-pasien dari negara tertentu. Meski perlu digarisbawahi tidak semua manusia dari asal yang sama akan berprilaku sama dan bermoral serupa. Sekali lagi, ini tidak tentang menyamaratakan, tapi berbagi cerita.
Saya akan bercerita tentang pengalaman dengan pasien dari beberapa negara yang saya rahasiakan asalnya, identitasnya. Saya tidak ingin kita memiliki kebencian, melainkan cerita ini bagian dari pengalaman yang semoga membuat kita terbangun akan realita.
Canggu, wilayah tersohor sebagai pusat nomad, tempat bermukim selebgram internasional, dan tempat pesta kekinian yang beroperasi 24 jam, kadang memabukkan. Suatu ketika, saya bertugas malam hari. Sebagai dokter di lantai internasional sebenarnya jauh lebih asyik dibanding berjaga di IGD umum. Pasien relatif lebih sedikit dengan fasilitas kerja yang bagai hotel bintang lima. Para spesialis yang juga selalu siap ditelpon untuk datang. Kalau di IGD biasa, dokter spesialis bergiliran piket.
Kalau di lantai internasional, yang sebagian besar pasien berasuransi internasional ini, para pasien memiliki kelebihan. Mereka bebas memilih dokter spesialis mana saja sesuai dengan referensi asuransi mereka. Tentu dengan harga sekian kali lipat lebih mahal. Harga yang sering membuat saya iri dengan fasilitas asuransi beberapa negara.
Malam itu, sama seperti malam jaga lainnya. Kami masih menangani beberapa pasien poliklinik hingga hampir tengah malam. Kami juga masih sibuk membalas dan mengirim perkembangan terbaru beberapa pasien ke dokter di negara mereka. Kesibukan harian yang biasa.
Setelah sempat duduk bersanda gurau dengan tim, tiba-tiba keheningan malam terpecah belah karena kehadiran dua pasien. Dua lelaki muda dari sebuah negara yang belakangan banyak sekali penduduknya bermukim di Canggu.
Salah seorang dari mereka, mengalami kecelakaan lalu lintas di sekitar persawahan di Canggu. Lelaki muda ini, mengendarai skuter dengan cukup kencang lalu masuk ke persawahan.
Ia mengalami luka-luka berat di wajahnya, beberapa di tangan dan kaki. Kemudian, oleh temannya, Ia dibawa ke RS tempat saya bertugas. Sesampainya di RS, kami memberikan pertolongan pertama.
Kami melakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan apakah ada trauma yang mengancam nyawa atau tidak, memberikan cairan untuk mencegah kehabisan cairan akibat perdarahan, dan terapi emergensi lainnya. Waktu itu, pasien tersebut sadar baik, sambil memberikan pertolongan pertama pada luka-lukanya. Ia meminta saya mencarikan dokter terbaik di Bali untuk menyembuhkan lukanya. Karena, menurutnya wajahnya tidak boleh tersisa satu pun bekas luka.
Saya beri pilihan. Kami memiliki dokter bedah plastik yang berpengalaman dan tentunya luka-luka di wajah memang perlu diperiksa oleh dokter bedah plastik. Dengan segera, si anak muda ini menyanggupi. Saya tanyakan, apakah asuransinya ada atau tidak? Jika ada, saya akan membantu menghubungi dokter asuransinya.
Ia dengan pongah, menjawab, “Saya tidak perlu asuransi, saya seorang selebriti Instagram dengan 5 juta pengikut. Kamu tidak tahu bagaimana populernya saya di negara saya.’’
Saya pun mencoba memastikan bahwa mungkin ini tidak murah, dan asuransi pasti sangat membantu, karena untuk luka di wajah perlu benang khusus dan luka pasien tersebut sangat banyak. Ia meminta rincian biaya.
Oleh tim kami, diberikan rincian. Setelah keadaan pasien stabil tanpa keadaan yang mengancam nyawa.
Ia terkejut, dengan nada tinggi membentak saya, “Kamu, apakah kamu enggak tahu siapa saya? Apakah aku perlu menunjukkan Instagramku? Kamu ingin merampok ya? Dasar dokter muda yang bodoh.’’
Dolar Berjalan
Saya masih dengan wajah santai, karena meski tidak ingin menghakimi, sepenuhnya sudah siap dengan bentakan-bentakan dari pasien asing yang sering merasa diri mereka lebih hebat dari penduduk setempat. Sebagai dokter, saya harus memiliki hati lebih luas, karena saya sadar bahwa orang sakit sering datang dengan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan. (Jika kalian membaca sampai pada kalimat terakhir, jangan pernah berpikir bahwa saya seorang dokter dengan hati malaikat, tanpa emosi, karena selagi kita masih manusia, maka segala sesuatu masih memiliki batas).
Ketika pasien tersebut mengumpat, menuduh bahwa saya berniat merampok uangnya, saya tetap menawarkan alternatif lain. Luka di wajah pasien memang perlu dibersihkan dengan lebih intensif. Beberapa bagian di dekat mata dan bibir robek dan ini tentu harus menggunakan benang khusus agar tidak menimbulkan garis bekas luka kentara, yang ditakutkan mengganggu estetika.
Dalam ilmu kedokteran, kita menamai pembersihan luka yang intensif tersebut dengan “debridement’’, sebuah tindakan steril dilakukan di ruang operasi agar menghindarkan luka dari infeksi yang mampu memperlambat penyembuhan luka dan menghambat proses penyembuhan luka secara sempurna dan berpotensi menimbulkan bekas.
Jika bekerja di sebuah rumah sakit dengan fasilitas dokter spesialis dan konsultan maka prosedurnya setiap pasien akan mendapatkan perawatan sesuai kompetensi spesialisasi. Berbeda kasusnya, jika luka berat di wajah tersebut dialami oleh seseorang di pulau terpencil yang hanya memiliki dokter umum, maka otomatis dokter umum tersebut yang akan mengambil tindakan tersebut dengan segala keterbatasan fasilitas.
Karena pasien tersebut menolak ditangani oleh dokter spesialis bedah plastik, maka, saya menawarkan dokter bedah umum, dan ia mengangguk tanda setuju. Kami memberikan setiap rincian. Dua menit kemudian, ia kembali melemparkan sumpah serapah. “Apa yang ada di kepalamu setiap melihat orang asing? Kau pikir aku ini dolar berjalan ya? Atau, kau benar-benar tidak paham tentang sosial media. Aku bisa menceritakan ke pengikutku kalau kau ingin merampokku dengan biaya pengobatan tersebut, kau pasti akan habis,’’ ujarnya sambil berteriak.
Sebenarnya, kata-katanya tersebut sungguh menyakitkan, karena tidak sedikitpun ada niat ingin merampok. Jika Anda datang ke sebuah rumah sakit yang lantainya marmer, dengan mesin kopi dan camilan gratis, bunga anggrek bulan yang mekar selama 30 hari penuh, dan lukisan bernilai puluhan juta tergantung di setiap dinding, maka biaya pelayanannya pasti cukup mahal.
Mahal sangatlah relatif. Bahkan dibandingkan dengan biaya pengobatan di Singapore dan Bangkok, harga pengobatan swasta premium di Denpasar pun masih jauh lebih terjangkau. Sekalipun sumpah serapah begitu sering dilemparkan banyak pasien asing, tetap saja rasa sesak di dada ketika dituduhkan ke kita.
Saya mencoba menarik napas, lalu bertanya. “Sebenarnya, apakah Anda memiliki biaya? Jika memang tidak punya, maka saya bisa rujuk ke rumah sakit yang lebih terjangkau, dan tidak masalah jika Anda ingin mendapatkan terapi dimana pun yang sesuai.’’
Ia kemudian mencoba menawarkan saya sesuatu yang sangat menjijikkan dan memalukan. “Begini saja. Aku cukup terkenal. Aku memiliki 5 juta pengikut di Instagram. Aku akan mempromosikan secara gratis setiap pelayanan yang kuperoleh di sini. Sebagai imbalannya, aku akan mendapat terapi gratis dari dokter bedah kalian,’’ ujarnya.
Pada saat itu, sudah pukul 01.30 dini hari. Perutku keroncongan. Jengkel, tapi marah kepada pasien tidak baik. Namun, rasanya saya benar-benar muak dengan kesombongan murahan macam begini. Akhirnya saya berdiri meninggalkan ruang gawat darurat tersebut sambil memberikan alternatif terakhir. “Aku enggak tahu tentang seberapa terkenal dirimu, dan sesungguhnya aku tidak peduli.”
“Kami tidak membutuhkan itu untuk promosi karena kami sudah cukup punya nama. Aku enggak berniat menunda tindakan perawatanmu karena hal tersebut tidak baik. Jika memang kamu tidak sanggup membayar, silakan katakan agar saya buat rujukan dan tim ambulans akan mengantar ke rumah sakit yang dituju. Jika Anda tidak mau pindah, silakan pilih dokter kami, saya tunggu dalam waktu 30 menit.’’
Tiga puluh menit berlalu, akhirnya dengan wajah memelas, ia dan rekannya memohon. “Kami menyukai rumah sakit ini, sangat nyaman. Aku enggak punya banyak uang di ATM, dan apa yang aku punya di ATM itu adalah semua yang aku punya. Dan aku tidak memiliki asuransi. Satu-satunya yang aku harapkan hanyalah kartu kredit. Aku yakin, kau adalah dokter yang baik, apakah boleh dokter umum merawat lukaku ini? Aku yakin kau pasti melakukannya dengan baik.’’
Setelah banyak serapah dan tuduhan. Saya menjawab, “Jika Anda ingin hal tersebut, maka, saya akan melakukannya di ruang gawat darurat ini. Tentunya jauh berbeda dengan ruang operasi dan Anda harus menandatangani surat penolakan atas tindakan yang diusulkan oleh dokter bedah kami.”
Setiap tindakan medis pasti memiliki efek samping dan bekas luka pasti akan ada karena benang yang akan saya pakai pasti berbeda ukurannya jika prosedur ini dilakukan di ruang operasi, tapi saya akan berusaha sebaik yang saya bisa.”
Setelah melihat jumlah biaya, ia tampaknya tak punya pilihan lain.
Singkat cerita, akhirnya pasien tersebut mendapatkan perawatan dan luka-lukanya saya jahit dengan sebaiknya. Karena ia tak punya banyak biaya, ia meninggalkan Rumah Sakit pada saat pagi hari. Saya pun menjelaskan, “Jika meninggalkan Rumah Sakit padahal seharusnya harus diobservasi, maka Anda harus menandatangani surat penolakan observasi.’’
Sambil pasrah, ia pulang dan berjanji akan datang untuk kontrol ulang perawatan luka tersebut. Setelah 3x kontrol selama hampir 14 hari, jahitan lukanya pun sembuh optimal dengan bekas yang nyaris tak terlihat. Ia pun puas dan semringah.
Lalu, dengan sedikit keramahtamahan penuh superioritas, ia menawarkan sesuatu. “Mari berswafoto, aku akan membagikannya di Instagramku. Aku yakin dari awal kau adalah dokter yang baik dan Bahasa Inggrismu sungguh bagus. Kau tahu, jika kau bekerja di negaraku, maka kau pasti akan membuat banyak uang dengan modal bahasa Inggris dan keahlianmu. Kalau kau ingin mencoba ke sana, kau bisa menghubungiku.’’
Sambil tersenyum tipis, saya menjawab. “Maaf, saya tidak pernah berswafoto dengan pasien, dan, saya tidak ingin ada di sosial media orang yang tidak dikenal. Sebenarnya, saya senang karena lukamu membaik, tapi, saya tidak senang dengan tuduhan bahwa kami berniat merampokmu dan menyogok kami dengan promosi gratis di sosial mediamu. Itu benar-benar tindakan bodoh, dan tidak sulit untuk jujur bahwa Anda memang tidak punya cukup biaya sejak awal tanpa harus menghina kami.”
“Kami sudah banyak dan bosan melayani pasien asing berlagak kaya raya tapi sesungguhnya berkantong kosong. Jadi jangan pernah menghina kami. Kalau Anda suka di sini, jadilah orang yang penuh rasa hormat kepada siapa saja yang ada disini, itu saja, semoga Anda punya hari yang baik.’’
Ia pun meninggalkan rumah sakit dengan tersenyum kepada setiap orang yang ada di gedung itu. Menjengkelkan, bukan?
Menghamba Turis
Ketika kita berdiskusi tentang bagaimana tingkah laku turis ini, kerap kali kita dipenuhi rasa emosi. Harga diri sebagai bangsa terluka. Marah tentang bagaimana rasa tidak hormat begitu kentara. Umpatan-umpatan terhadap para turis tersebut mampu menyatukan banyak netizen, sebuah energi yang sesungguhnya besar.
Namun, kita lupa pada banyak hal. Sesuatu yang lebih fundamental yakni mengapa mereka dengan begitu terbuka mampu merendahkan tuan rumah? Mengapa hal tersebut mudah terjadi? Bagaimana sebenarnya sistem pariwisata yang ada saat ini? Bagaimana sistem yang ada saat ini, hingga kita harus bergantung pada komoditas pariwisata?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka, benang kusut harus diurai perlahan. Jika Anda, memiliki sebuah rumah yang tengah dikunjungi tamu, maka sudah seharusnya tamu tersebut menunjukkan sopan santun terhadap Anda dan segala entitas di rumah Anda. Jika tamu tersebut, dengan begitu terbuka mempermalukan Anda, maka Anda harus menilik lagi jauh ke dalam, yakni langsung ke pertanyaan di atas.
Saya rasa, sistem kapitalisme yang dikuasai oleh sekelompok elite adalah biang keladi. Bisa Anda bayangkan, jika seorang turis mengajak teman-temannya beramai-ramai tinggal di Bali dengan melemparkan informasi bahwa hidup di Bali murah sekali, aman, dan mewah. Di Bali kalian bisa hidup tanpa harus ikut protokol kesehatan yang membosankan dan tak harus membayar pajak, akhirnya daerah-daerah di Bali akan dihuni oleh sekelompok warga yang lebih mapan dari penduduk lokal.
Masalahnya di mana? Masalah yang akan timbul adalah properti di Bali akan dikuasai oleh sekelompok orang mapan, yang bagi mereka biaya sewa vila seharga USD 500 sangat kecil jika dibandingkan biaya sewa apartemen kecil di New York. Vila tersebut akan mereka sewakan lagi ke turis asing lainnya seharga 1.200 dollar. Akhirnya yang terjadi penduduk lokal terpinggirkan karena mereka tak sanggup memiliki properti di tanah nenek moyang mereka.
Silakan cek UMR Denpasar dan Badung, juga Gianyar. Ini masih satu masalah saja.
Bagaimana kapitalisme berkelindan dengan ketimpangan ini? Kapitalisme adalah akar masalah dari segala yang sudah semrawut ini. Prinsipnya adalah dengan menyajikan kemajuan, gedung-gedung mewah, hotel bintang lima, bandara mutakhir, resor-resor istimewa dan jumlah turis puluhan juta per tahun yang akan meningkatkan devisa negara.
Namun, mari sedikit saja berhenti dan bertanya. Siapa yang menikmati hasil semua kemajuan tersebut? Siapa pemilik semua aset-aset tersebut? Di mana posisi kita terhadap segala kemajuan ini?
Sejak kemajuan dan pembangunan yang masif, apakah kita sanggup dengan mudah menginap di hotel bintang lima tempat para pangeran Arab berpesta pora? Kita masih harus memikirkan nasi dan lauk juga biaya hidup lainnya. Jadi jelas pembangunan mewah ini bukan untuk kita, tetapi untuk mereka yang keberadaannya jauh tak terjangkau. Para pemilik aset yang mengeruk jutaan dolar dan membagi recehnya ke kita.
Lalu, kita berbahagia tanpa menyadari bahwa tanah kita bukan milik kita lagi.
Dan pertanyaan yang harus kembali kita tanyakan, mengapa kita harus begitu bergantung pada turis dan pariwisata? Bagaimana ini terjadi? Mengapa tidak ada alternatif lain misalnya menjadi petani, pengrajin, dan peternak? Apakah tidak menjadi sulit jika semua saling memperebutkan satu roti yang sama?
Realita ini tidak sederhana. Ketidaksopanan yang dilakukan turis tersebut adalah buah dari superioritas dan inferioritas yang harus kita akui. Meski zaman telah beranjak, penemuan telah banyak, para pemikir dan penggerak telah berupaya meniadakan kolonialisme, tetapi bagi segelintir orang sempit, mereka masih datang dengan mental sombong yang merasa diri lebih hebat.
Bagi saya, sangat sulit tinggal di Jerman, karena harus menguasai bahasa mereka, memiliki tabungan yang banyak, penjamin yang mapan di sana, asuransi kesehatan yang baik, dan memiliki izin tinggal tak mudah. Coba bandingkan sistem kita? Di sinilah kita berbenah. Perlu melakukan filter untuk apa saja hidup kita, termasuk menilik motif bertamu ke rumah kita. Filter yang manusiawi. Karena percayalah, jumlah turis tidak selalu berbanding lurus dengan naiknya taraf hidup kita.
Jika saya tuliskan tentang bagaimana sombong dan pemarahnya banyak pasien asing saya, maka, kalian pasti akan merasa lelah dan emosional. Saya pernah bertengkar dengan pasien dari negara yang terkenal kaya raya di Semenanjung Arab, seorang pria yang memukuli istrinya di lobi rumah sakit. Lalu lari karena enggak mampu membayar dan saya bersama Satpam sampai harus mengejar.
Saya juga pernah menelpon malam-malam ke Konjen Paman Sam karena warganya memaksa meminta obat penenang dosis tinggi dan meneriaki saya.
Saya juga pernah mencegah upaya mengakhiri hidup dari seorang pria dari negeri Skandinavia, yang sambil menangis ingin melompat dari balkon kaca. Kami bujuk dan tunggu beberapa jam, bahkan Konjennya dibuat kalang kabut. Kita harus benar-benar kembali memikirkan, orang yang bagaimana yang akan kita persilahkan tinggal di rumah kita?
Pandemi hadir, menghantam dan memukul kita. Kerapuhan terpampang dengan telanjang, kita benar-benar lemah tanpa pegangan yang kuat. Iming-iming pariwisata ternyata tidak sedigdaya jargon penguasa. Pada kenyataannya, pandemi tiba, kita kalang kabut.
Jika benar prediksi sains, bahwa jarak satu pandemi ke pandemi lainnya lebih singkat, maka, apakah kita masih ingin mengandalkan pariwisata ini? Apakah kita tidak berniat mencoba alternatif lain? Dan, apakah kita mau mewariskan kerapuhan sistem ini ke anak cucu kita? [b]
Good piece, doc! Saya GP di RS area Kuta Selatan pun merasakan suka dukanya pasien WNA. Terus terang sering kecewa kenapa kita diperlakukan secara inferior oleh mereka.
Sedih juga melihat warga yang hidup seperti tergusur di tanah kelahirannya sendiri, pulai ini hampir habis dibeli pemodal asing. 🙁
Hai Tasiah,
Terima kasih sudah membaca. Tulisan ini semoga juga dibaca oleh banyak orang yang memiliki kegelisahan serupa. Tulisan ini hanya sedikit gambaran ttg realita yang terjadi di sekitar kita, semoga semakin banyak suara dan keberanian menyuarakan perubahan. Semangat ya.