Menjelang pergantian tahun 2024 lalu, saya mengikuti acara kumpul warga sekaligus memperingati hari HAM (Hak Asasi Manusia) pada 10 Desember 2024 yang diinisiasi oleh LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Bali. Salah satu acaranya adalah diskusi yang bertajuk “Apa kita bisa bilang tidak? Problem pembangunan nir-partisipasi dan pentingnya suara publik”, selain acara untuk komunitas dan kesenian.
Acara sederhana di sebuah ruang yang menjadi oase di tengah padatnya Kota Denpasar terasa begitu minoritas di tengah beban beratnya tema yang diembannya. Sejumlah anak muda menjadi partisipan untuk mengekspresikan kegundahan mereka terhadap situasi pembangunan Bali kontemporer.
Meski kecil dan sederhana, di tengah sebagian besar publik Bali yang sibuk mengais rejeki pariwisata untuk bertahan hidup dan melakukan keseharian dengan berbagai ritual, sudah sepantasnya kita duduk merefleksikan situasi Bali dan pembangunan (pariwisata) yang ditengarai overdevelopment/overtourism. Intinya sudah berlebihan dan mencemaskan. Itu jika kita melihat dari satu sisi. Namun pada sisi yang berlainan adalah pandangan “pemerataan” rejeki pariwisata ke wilayah-wilayah yang belum terjamah.
Singkatnya, Bali masih membutuhkan pariwisata khususnya di daerah-daerah yang belum “dipariwisatakan”. Disamping itu, target investasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat mengharuskan setiap daerah di negeri ini memberikan karpet merah kepada investasi yang masuk. Perizinan terpusat seolah menunjukkan ketidakberdayaan masyarakat untuk menolak apapun investasi yang masuk ke wilayahnya.
Di tengah kedua debat dan pandangan itulah Bali berjalan sepanjang beberapa tahun terakhir, termasuk tahun 2024 lalu dan kini memasuki tahun baru 2025. Bagi saya kedua pandangan itu saling melengkapi yaitu yang sudah bosan dan merasa overtourism pada satu sisi dan sisi lainnya yang merasa belum mendapatkan bagian pariwasata. Selain melengkapi, kedua pandangan tersebut bagi saya belum menyentuh problem mendasar berkaitan dengan kesadaran kita mengenai pertaruhan yang tengah kita lakukan saat berada dalam lingkaran moda ekonomi paling menggiurkan sekaligus rentan ini.
Berkaca dari pandangan neoliberalisme, ekspansi moda ekonomi berwujud pariwisata ini akan terus-menerus menemukan wilayah-wilayah baru. Neoliberalisme sebagai filsafat ekonomi politik globalisasi sudah terang-benderang menjelaskan bahwa modal dicabut dari akarnya tumbuh yaitu tanah dan manusia (tenaga kerja). Tanah tentu saja tidak hanya sebatas perwujudan fisik yang kita lihat, tapi menunjuk kepada partikularitas wilayah-spasial dimana komunitas politis-kultural hidup. Itulah yang disebut dengan patria, Bahasa Latin untuk tanah air. Dalam arti ini, patria tidak hanya menunjuk titik spasial-teritorial, melainkan juga wilayah hidup politis-kultural sebuah bangsa dan berbagai komunitas di dalamnya (Herry-Priyono, 2022: 10).
Intinya, kedua pandangan tersebut belum menyentuh poin yang paling krusial dari semakin muak tapi rindunya kita terhadap pariwisata. Poin yang krusial itu bagi saya adalah pertaruhan Bali yang berhadapan dengan raksasa pariwisata. Apa sesungguhnya yang dipertaruhkan itu? Bagi saya tidak lain dan tidak bukan adalah tanah air Bali dengan komunitas politis kultural di dalamnya.
Pandangan neoliberalisme menerangi kita bahwa setelah tanah dan diri kita serahkan kepada modal pariwisata, sebenarnya kita telah memberikan secara gratis hak istimewa dan kekuasan yang besar kepada pemilik modalnya. Kita sebenarnya sudah tidak bisa survive sebagai warga negara dengan tanah yang telah hilang dari genggaman dan kendali kita, dan diri kira (dengan menjadi tenaga kerja) yang kita abdikan sepenuhnya untuk menjalankan perputaran investasi ini.
Genealogi “Pembusukan”
Tapi, ada baiknya kita cermati sebuah laporan yang sempat menghebohkan dari Fodors.com yang memasukkan Bali sebagai tempat yang tidak layak dikunjungi oleh para wisatawan. Alasannya, pembangunan yang cepat dan tidak terkendali yang didorong oleh pariwisata yang berlebihan telah merambah “habitat alami Bali”. Menurut Fodors.com, industri pariwisata Bali dan lingkungan alam terkunci dalam hubungan yang rapuh dan melingkar.
Menggeliatnya pariwisata Bali pasca pandemi dianggap hanya meningkatkan ketegangan, terutama tekanan sekaligus ekspansi yang luar biasa pada pembangunan infrastruktur yang mendukung pariwisata. Salah satu hal yang disorot adalah terkuburnya pantai-pantai yang dulunya bersih seperti Kuta dan Seminyak dengan tumpukan gunungan sampah plastik. Sementara pada sisi lain, pulau ini masih berjuang keras untuk menyelesaikan permasalahan sampah yang tidak kunjung ada ujung pangkal penanganannya secara menyeluruh. 1
Selain sampah pariwisata di pantai-pantai yang berbau busuk menyengat, ada kata yang mengalami pembusukan semantik luar biasa bernama pembangunan. Dalam satu esainya, Herry-Priyono (2022: 127-128) melacak jejak pembusukan tersebut. Cikal bakal pembusukan semantik pembangunan berawal pada masa Orde Baru. Pembusukannya berkaitan erat dengan pemakaian pembangunan sebagai idiom ideologis untuk membenarkan kediktatoran dari mulai pengejaran perempuan untuk pemasangan paksa alat kontrasepsi sampai pembunuhan misterius, dari pemberangusan hak berserikat sampai sensor ketat media.
Praktik-praktik bengis inilah yang kemudian tercetak dalam ingatan dan mental rakyat. Implikasinya sangat besar karena pembangunan kemudian diidentikkan dengan kediktatoran. Rezim pembangunisme Orde Baru mengawali proyek pembusukan ini sehingga menjadi makna yang kotor, jorok, sekaligus juga bengis. Kebengisan itu terjadi di Bali dan wilayah lain di negeri ini ketika rakyat yang menolak pembangunan (pariwisata) disebut dengan “musuh pembangunan”. Oleh karena telah menjadi musuh maka dibenarkan untuk meneror dan bertindak kekerasan terhadapnya.
Itulah yang disebut dengan pembusukan semantik pembangunan, saat artinya yang kurang lebih sebagai upaya berkelanjutan bersama/kelompok untuk memperbaiki kualitas hidup tercampakkan dari makna hakikinya. Hal ini disebut Herry-Priyono (2022: 127) sebagai absus non tollit usum yaitu fakta bahwa sesuatu telah disalahgunakan tidaklah berarti sesuatu itu tidak lagi berguna; fakta bahwa pembangunan disalahgunakan tidaklah berarti pembangunan tidak lagi berguna. Sebagaimana yang inheren kotor atau jorok bukanlah kekuasaan, melainkan penggunaanya, begitu pula kotor atau jorok bukanlah pembangunan itu sendiri, melainkan bagaimana pembangunan dilaksanakan.
Tapi marilah kita mencoba untuk melihat salah satu karakteristik penting dari pembusukan pembangunan di negeri ini yaitu kolusi penjarahan anggaran pembangunan yang melibatkan banyak pihak. Kita bisa menyebutkan di dalamnya ada para kontraktor atau pengusaha, politisi, dan pejabat pemerintah. Guna memperhalus penjarahan, kata pembangunan tetap dipakai tapi isinya tidak lebih dari kontrak dan akal-akalan dari kolusi yang melibatkan banyak pihak tersebut.
Sebagai contoh penjaraan anggaran kompleks Hambalang disebut dengan pembangunan olahraga, penjarahan anggaran pengadaan kitab suci disebut pembangunan agama atau mungkin pembangunan akhlak. Di Bali kita pernah terbelalak dengan korupsi dana sesajen (aci-aci) dari Bantuan Keuangan Khusus (BKK) Provinsi Bali dan Pemerintah Kota Denpasar tahun anggaran 2019-2020 pada Dinas Kebudayaan Kota Denpasar.2 Mungkin ini yang disebut dengan pembangunan agama dan adat budaya Bali. Contoh lainnya adalah penjarahan anggaran alat-alat medis disebut pembangunan kesehatan.
Cara menjarah lainnya dilakukan melalui penggelembungan nilai proyek (mark up), pembuatan perusahaan fiktif, atau cara lainnya. Sekali lagi itu hanya soal taktik dan kadar untuk menjarah. Sebagian besar kasus-kasus megakorupsi yang sudah, sedang, maupun akan terbongkar di negeri ini berisi penjarahan anggaran pembangunan ini yang mengakibatkan kata pembangunan selain busuk juga kotor dan jorok. Proyek-proyek penjarahan anggaran pembangunan inilah yang sering disebut sebagai pemburuan rente (rent-seeking). Istilah ini dipakai sejak dasawarsa 1960-an oleh para ekonom yang berpandangan bahwa ancaman terbesar terhadap pasar bebas berasal dari regulasi negara. Adanya otoritas regulasi pemerintah ini membuat para penjarah berlomba memenangkan privilese-monopoli yang disebut dengan rente (Herry-Priyono, 2022: 128).
Jika dalam konteks Bali, Dewa Palguna (1999: 99) sudah jauh hari mengungkapkan dengan istilah yang lebih diperhalus bahwa makna pembangunan telah menjadi identik dengan proyek (bahkan “kedermawanan”) pemerintah, yang implementasinya kemudian terjelma ke dalam wujud instruksi atau perintah dari sang penguasa kepada yang dikuasai atau dari atasan kepada si bawahan. Pada titik ini saya jadi ingat bagaimana lontaran sinisme rakyat di perdesaan Bali jika melihat truk-truk pengangukut bahan bangunan melewati rumah mereka. “Dije kal been banguninne villa nenenan. Proyek-proyek dogen”. (Dimana akan dibangun villa lagi. Proyek-proyek terus).
Dibalik sinisme tersebut ada perasaan kemuakan terhadap pembangunan fisik, khususnya infrastruktur pariwisata, yang menyerbu beberapa wilayah Bali. Wisatawan yang datang melimpah ini harus disiapkan dengan berbagai pelayanan akamodasi yang memadai. Pada sisi lain, di beberapa wilayah telah muak dan menganggap berlebihan kunjungan wisatawan, beberapa wilayah di Bali yang belum terjamah maksimal pariwisata justru merindukan kehadiran wisatawan. Demikianlah, muak tapi rindu.
“Pembusukan” di Bali
Secara sederhana saya mencoba membagi dua pembusukan pembangunan yang kini tengah terjadi di Bali. Pertama, pembusukan pembangunan akibat introduksi Bansos (Bantuan sosial) yang merambah berbagai sendi kehidupan masyarakat. Mulai dari bidang pendidikan, infrastruktur, ritual keagamaan, bangunan fisik tempat suci (pura), bangunan banjar dan desa adat, hingga seragam untuk bersembahyang. Semua sendi kehidupan masyarakat Bali bisa di-Bansoskan. Implikasinya sangatlah serius berkaitan dengan karakteristik dan mental manusia Bali yang hendak diciptakannya.
Saya menengarai kebijakan Bansos ini adalah upaya pembentukan subyek politik manusia Bali yang sesuai dengan keinginan si pemberi Bansos. Bekerjanya Bansos ini selain bisa dipandang dari perspektif klientelisme (politik pemberian dengan pamrih), jauh lebih mendalam dalam pandangan saya adalah dalam kerangka penciptaan jenis subyek politik tertentu. Bagi saya Bansos menciptakan subyek politik manusia Bali yang pragmatis, mecik manggis (pengikut kekuasaan), dan sudah tentu apolitis dan sing demen ruwet (tidak ingin ribet) untuk mempertanyakan sesuatu dan mendalamai maksud yang berada dibaliknya. Jika manusia Bali sudah demikian adanya, para elit akan dengan mudah mengendalikannya.
Pada kasus Bali kita menyaksikan secara vulgar Bansos dipergunakan untuk kepentingan elektoral politisi, politisisasi desa adat, kooptasi sekaa teruna, “merusak” kemandirian krama (warga) dalam beradat, berbudaya, dan beragama dan banyak lagi kepentingan lainnya. Susah untuk tidak mengatakan bahwa kebijakan sosial layaknya dewa penolong ini berada dalam ruang hampa. Pembusukan akibat Bansos ini mereduksi maknanya untuk bersolidaritas, berempati, dan saling mengguatkan dalam kehidupan sosial. Maka tidak heran beberapa kali saya mendengar selentingan yang menyebutkan, “Bangunan ulian Bansos” (Bangunan karena Bansos).
Pembusukan kedua sudah tentu adalah pembangunan infrastruktur pariwisata dan dampak yang menyertainya. Saking massifnya, ekspansi infrastruktur pariwisata ini menyentuh wilayah-wilayah baru yang sebelum belum dimeratakan oleh pariwisata. Kita sudah sering mendengar alih fungsi lahan pertanian yang semakin lama semakin menyusut. Berubahnya wilayah-wilayah pesisir pantai menjadi beach club atau destinasi wisata megah yang menawarkan berbagai atraksi wisata. Villa-villa yang instagramable bermunculan dinahkodai oleh pemilik modal transnasional.
Sebuah berita menggambarkan dengan sangat menarik bagaimana sebuah pantai di Nusa Penida tengah merancang lift untuk para wisatawan berkunjung. Ada hal menarik dari berita ini yang berisi tiga layers (lapisan) pandangan yang berbeda dengan kepentingannya masing-masing. Pertama adalah kelompok kelas menengah dan aktivis lingkungan yang melihat pembangunan lift tersebut harus ditolak karena merusak keindahan pantai yang harus dinikmati hingga ke bawah dengan penuh usaha. Kedua adalah para pedagang di sekitar pantai yang melihat pembangunan lift akan menguntungkan mereka berjualan karena akan banyak wisatawan yang datang. Sementara pihak ketiga adalah kalangan birokrat pemerintah daerah yang terus dikejar target untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dalam bidang pariwisata dengan berbagai cara. Salah satu lahan yang mereka incar adalah pantai tersebut.3
Di tengah silang sengkarut pandangan itu, pembangunan infrastruktur pariwisata terus memborbardir Bali baik itu dianggap legal ataupun illegal, menggerus tanah-tanah Bali baik yang dijual maupun disewakan. Overtourism juga membangkitkan kembali mimpi generasi muda Bali untuk memanfaatkan peluang dengan menjadi penguasaha pariwisata dalam berbagai bidang. Histeria tersebut bukan tanpa sebab dan dipompa dengan pernyataan penyemangat “agar tidak menjadi penonton di rumah sendiri”.
Selain histeria, pelan tapi pasti dampak dari pembusukan pembangunan infrastruktur pariwisata pelan-pelan mulai terlihat. Mulai dari perilaku wisatawan yang mengganggu publik Bali, usaha yang illegal, keributan serta peredaran obat terlarang yang seperti lingkaran setan bau-bau busuk yang seperti menyeruak untuk kita hirup bersama. Meski demikian, apapun yang terjadi, pariwisata jalan terus di tengah berbagai pembusukan yang terjadi padanya. Selalu ada cara untuk menutupinya, bahkan membalikkannya menjadi bau harum semerbak yang selalu dirindukan wisatawan saat melukat (purification) bahkan bermeditasi di tengah sawah. Pariwisata selalu memiliki cara untuk memperbahraui diri untuk beranjak dari bau-bau busuk tersebut. Meski demikian, bagaimanapun cara menutupinya, pembusukan akan selalu berjalan beriringan dengannya. Patria Bali dan pariwisatanya akan menjalani hari-hari harum dan busuk bergantian, seperti muak dan rindu. Begitulah konon cara pariwisata dan kapitalisme membentuk manusia.
Daftar Pustaka
Herry-Priyono, B. (2022). “Pembangunan=Proyek+Rente” (h. 126- 131) dalam B. Herry-Priyono, Ekonomi Politik: Dalam Pusaran Globalisasi dan Neoliberalisme. Jakarta: Kompas.
Herry-Priyono, B. (2022). “Neoliberalisme dan Pembangunan yang Hilang” (h. 159- 163) dalam B. Herry-Priyono, Ekonomi Politik: Dalam Pusaran Globalisasi dan Neoliberalisme. Jakarta: Kompas.
Palguna, Dewa (1999). “Mari Bicara tentang Bali” dalam Wayan Supartha (ed), Bali dan Masa Depannya. Bali: Penerbit BP Denpasar.
1 Beberapa nukilan dari berita Fodors.com ini bisa dilihat di tautan ini: https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20241124154932-33-590673/bali-masuk-daftar-wisata-tak-layak-dikunjungi-ini-alasannya (diakses 29 Desember 2024).
2 Lihat: https://news.detik.com/berita/d-5956866/eks-kadisbud-denpasar-bali-divonis-3-tahun-bui-korupsi-dana-sesajen (diakses 2 Januari 2025).
3 Lebih detail lihat: https://www.abc.net.au/indonesian/2024-09-16/di-balik-pembangunan-besar-besaran-di-bali/104347280. (diakses 8 Desember 2024).