Teks oleh Moch Satrio Welang
Segar, satire dan menawarkan gagasan baru di tengah-tengah kondisi teater Denpasar yang tengah mati suri. Begitulah pertunjukan ‘Mama, I Am Sorry’ garapan terbaru Kelompok SatuKosongDelapan (108) yang disutradarai oleh Giri Ratomo. Di atas panggung terbuka Gedung Kriya Taman Budaya Bali (04/09) tampil para aktor yang terdiri dari Moch Satrio Welang, Saichu Anwar, Yoseph Maulana, Erwin Kurniawan, Pranita Dewi , Anna Ulfa , Inne Meryanti, Devi Larasati dan Haris Lawera.
Pertunjukan berdurasi satu jam ini tidak hanya menguak realita teater Bali tapi juga realita sosial keadaan masyarakat sekarang yang sudah ketergantungan oleh teknologi dan internet. Mama, I Am Sorry menjadi satu etalase sosial bagaimana manusia sudah terjerat akan kenarsisan yang di zaman sekarang ini mustahil untuk ditutup-tutupi.
Adegan-adegan ditampilkan secara satire, jenaka dan terkesan improvisasi. Adegan diawali oleh Moch Satrio Welang yang dikenal sebagai pelaku sastra dan teater ternyata tak mampu memerankan aktor Hamlet. Hal tersebut membuat sutradara menghentikan Satrio Welang dari pementasan. Ternyata kebesaran nama Satrio Welang yang selama ini memanfaatkan Facebook dan milling list belum mampu untuk memerankan tokoh Hamlet, seorang pangeran Denmark yang penuh kebimbangan karena Ayahnya dibunuh. Ditampilkan dalam pertunjukan Mama I Am Sorry, bahwa sosok Moch Satrio Welang merepresentasikan jutaan pegiat seni lain di negeri ini yang pada hakikatnya memiliki sifat narsisme yang kerap ditutup-tutupi.
Kemudian secara mengalir muncul Inne dan Anna sebagai sosok manusia yang terjajah oleh teknologi. Masuknya Erwin Kurniawan dengan kemampuan olah tubuh yang memukau seakan mengingatkan penonton dengan virus computer semacam virus brontox.
Kemunculan Penyair Muda Bali, Eka Pranita Dewi yang memerankan wanita ayu nan seksi yang memanfaatkan teknologi untuk merengkuh laki-laki dengan fasilitas sex cam menjadi daya pikat tersendiri bagi penonton. Tak lama berselang muncul Yoseph Maulana yang bergulat dengan kebimbangan untuk memilih antara janda atau perawan.
Di antara pergelutan batin mereka, tampil yang selama ini ditunggu-tunggu dan dipuja yaitu Yang Mulia Google! (Saichu Anwar). Tampak ekspresi wajah manusia yang begitu sumringah ketika sosok yang begitu mereka puja dan kagumi muncul. Adegan satire dimunculkan saat Yang Mulia Google terganggu oleh realita Putu yang sakit tapi Yang Mulia Google tak mampu menjawab realita yang ada. Saat Yang Mulia Google tak dapat memberi penjelasan terkuaklah sebuah rahasia bahwa sebenarnya Yang Mulia Google ingin menjadi “messias” ingin menjadi Nabi yang menguasai pikiran dan perilaku manusia. Sebuah sindiran keras, bahwa selama ini kita secara tidak sadar bahwa kita telah begitu mengagung- agungkan teknologi melebihi Nabi.
Pertunjukan Mama, I am Sorry yang dipentaskan dua hari berturut- turut (4 dan 5 september ) ini didukung penuh oleh Taman Budaya Denpasar, Arti Foundation, Satu Garis Community, Bali Buana Computer, Teater Topeng dan pegiat teater dari berbagai komunitas. Kelompok SatuKosongDelapan adalah sebuah kelompok independent yang melakukan studi di wilayah teater, penulisan dan teater. [b]
oh pastinya. teknologi itu nabi yang agung. hehehe..
dont worry be happy with technology