Made Bayak bercerita tentang pameran tunggalnya di Amerika Serikat.
Rencana pameran ini sudah dirancang selama dua tahun. Dari awal tahun 2016 pertama kali proses interview karya dan aktivitas saya sebagai seniman (visual dan musik). Kurator dan penulis pameran ini adalah Peter Brosius, Alden DiCamilio dan Sarah Hitchner.
Judul Pameran old Gods | new Gods in Bali, bisa diartikan bebas Tuhan lama dan baru (di Bali), merupakan gagasan yang membingkai pameran tunggal ini. Berikut penjelasan tentang tema ini.
Berbicara Bali tidak akan pernah habis. Pulau kecil ini sudah sangat terkenal di mana-mana. Bahkan, saat masuk imigrasi di Amerika pun ini terjadi. Ketika saya ditanya “Kamu dari mana?”, saya jawab, “Indonesia..” mereka masih bertanya. Saat saya bilang dari Bali suasana menjadi lebih cair.
Tidak bisa dipungkiri juga popularitas Bali sebagai tujuan wisata dunia adalah sebuah kenyataan dan anugerah luar biasa. Alam yang konturnya berbukit, gunung dan danau, wilayah pedesaan dipenuhi sawah berpetak-petak, sungai-sungai mengalir seperti ular, pantai dengan pemadangan indah nan eksotis, masayarakat Bali yang masih menghidupi tembah sembahyang/pura-pura dengan napas spiritual peninggalan leluhur.
Semuanya menghasilkan banyak sekali bentuk-bentuk kebudayaan yang bisa kita lihat sampai saat ini. Semua gambaran brosur dan promosi wisata Bali adalah benar adanya.
Namun, ada wacana lain yang ternyata sangat miris seiring dengan semua gambaran pariwisata eksotis Bali. Ada “Tuhan” baru menyeruak di antara tuhan “lama” yang menjadi warisan leluhur di Bali. Ada sejarah kelam (pembunuhan masal) yang sampai saat ini masih tersembunyi kemudian coba dihilang ingatkan secara memori kolektif kita.
Peranan politik kebudayaan dengan ritual pembersihan tanah Bali dari hal-hal yang dianggap mengganggu keseimbangan sangat berhasil membuat sebagian besar generasi Bali tertidur dan mimpi indah tentang peninggalan Bali yang adiluhung. Kita disuguhi dan dipaksa mengonsumsi konsep-konsep seperti Tri Hita Karana dan bangga sudah merasa menyeimbangkan hidup dengan alam, manusia dan tuhan.
Tidak Terkendali
Padahal, di lain sisi kita membiarkan Teluk Benoa mau diuruk. Kita biarkan wilayah tempat suci kita dijual dan membangun beton-beton baru tidak terkendali. Kita biarkan sumber-sumber air kita kotor oleh sampah. Kita hanya asyik memenuhi hasrat supaya dibilang menjadi lebih modern.
Ada Dewa-dewa baru berwujud dolar dan investasi yang cenderung rakus dalam pawisata massal. Mereka mengabaikan semua aspek manusia, lingkungan dan tuhan di Bali. Wujud Dewa Konsumerisme yang menjangkiti kita adalah seberapa banyak barang baru yang kita punya. Itu menjadi tolok ukur kesuksesan seseorang.
Hal paling mengkawatirkan adalah berkurangnya pasokan air tanah yang notabene sumber kehidupan bagi kebudayaan Bali. Tercemarnya sumber-sumber air dari sampah plastik dan limbah rumahan adalah dampak nyata yang bisa kita lihat dari ketidakpedulian.
Ini bukan persoalan anti pariwisata atau anti pembangunan, tapi bagaimana kebenaran itu seharusnya diketahui bersama, dipelajari sehingga kita bisa melangkah lebih percaya diri untuk melanjukan kebudayaan Bali. Harusnya kita bisa melahirkan sebuah budaya belajar, terbuka, dan bisa bersikap kritis terhadap diri kita sendiri.
Tentang Karya
Pameran ini bisa dikatakan kerja sama dengan salah satu dosen di universitas di Atlanta Amerika, University of Georgia (UGA) Departemen Antropologi, tepatnya berada di Athens Georgia. Untuk pameran karya-karya seni akan berlangsung di galeri Athens Institute for Contemporary Art (ATHICA). Pameran akan dibuka pada 25 Maret 2019 dan berlangsung hingga 28 April 2019.
Karya-karya yang dipilih kurator dan penulis merupakan keseluruhan tema dan gagasan yang menjadi ketertarikan saya sebagai seniman. Mulai dari tema lingkungan, pariwisata massal di Bali, kekerasan, kemanusiaan dan hak asasi manusia (HAM), serta keterlibatan seni dan kesenian pada perjuangan Bali tolak reklamasi. Pameran ini akan menyentuh karya-karya musik bersama band GEEKSSMILE di mana saya bergabung sebagai pemain gitar.
Ada sekitar 15 karya dengan berbagai ukuran yang akan dipajang selama pameran berlangsung. Ukuran karya terbesar adalah 2×3 meter dengan judul “Senja Kala Bali Dwipa”. Karya ini bercerita tentang cikal bakal pariwisata Bali dimulai dengan datangnya kapal Belanda KPM membawa orang-orang yang ingin melihat surga terakhir. Kemudian ada cerita bagaimana pembunuhan masal yang menghilangkan 80.000 jiwa manusia Bali dan tak pernah tercatat dalam sejarah resmi yang bisa kita pelajari.
Saya juga memajang sebuah karya instalasi tentang kosmologi Bali yang berkaitan erat dengan berbagai peristiwa di Bali. Kabarnya kosmologi ini pernah dipakai referensi untuk membuang potongan tubuh korban pembataian masal sesuai arah mata angin. Dia juga sempat digunakan sebagai tema perjuangan dan even besar menolak rencana busuk reklamasi Teluk Benoa.
Ada beberapa karya dalam ilustrasi buku Prison Songs bersama kawan-kawan Taman 65 di Denpasar juga akan dipamerkan. Dua buah karya kolaborasi saya dengan anak, Damar Langit Timur dan istri, Kartika Dewi juga dipilih dan diikutsertakan dalam pameran ini. Satu dengan judul “Skala Niskala Bali tolak reklamasi” dengan ukuran 2×2 meter. Satu lagi dengan judul “Reminder of the Nir Gender” dengan ukuran 170x300cm.
Selama pameran berlangsung akan ada banyak kegiatan mulai dari artist talk, diskusi panel, workshop, pemutaran video, diskusi kelas dan lainnya.
Kontak personal jika ada yang ditanya untuk mempertegas adalah dengan saya langsung, Made Bayak, bisa kirim pesan melalui WhatsApps 08174763566. Mohon sabar kalau responnya agak lambat. [b]
Bali yang lama sudah pergi dan tak akan pernah bisa kembali lagi. Bali yang baru juga akan diganti dengan Bali yang terbaru. Segala yang ada terus berubah, tak ada yang abadi. Apa yang perlu ada bakal selamanya akan terus ada. ??