
Murni melawan tabu patriarki dan kekerasan seksual dalam karya-karyanya.
Memperingati 15 tahun wafatnya I Gusti Ayu Kadek Murniasih, akrab dipanggil ‘Murni’, Gajah Gallery mempersembahkan pameran tunggal bagi seniman Bali ini. Pameran I Gusti Ayu Kadek (GAK) Murniasih: Shards of My Dreams That Remain in My Consciousness memperkenalkan lebih dari 50 lukisan dan patung karya Murni. Karya-karya itu dibuat selama satu dekade karier seninya yang sangat produktif, mulai dari pertengahan 1990an hingga 2006.
Karya seni Murni terkait erat dengan kehidupannya yang tragis, tetapi berani. Lahir dalam kemiskinan di Tabanan, Bali, pada 1966, ia mengalami pelecehan seksual oleh ayahnya sendiri ketika Murni masih belia. Ia meninggalkan Ujung Pandang (Makassar) untuk bekerja sebagai pekerja rumah tangga keluarga Tionghoa semenjak berusia 10 tahun.
Murni, saat itu berusia 20an awal, memutuskan kembali ke Bali dan bekerja sebagai kriyawati perak di celuk, Gianyar. Di pekerjaan itu pula ia bertemu dengan suaminya.
Keretakan rumah tangganya berawal dari kemandulan Murni. Suaminya ingin mengawini perempuan lain. Menolak untuk berada di dalam sebuah hubungan poligami, Murni disinyalir menjadi perempuan penggugat cerai pertama di Bali.
Setelah perceraiannya, Murni membangkitkan kembali ketertarikannya akan seni dan menjadi seorang seniman. Murni belajar melukis dimentori I Dewa Putu Mokoh, seorang seniman veteran bergaya lukis Pengosekan. Namun, Murni akhirnya menemukan gayanya sendiri yang diakui oleh banyak kritikus sebagai “Seni Bali Revolusioner”.

Terjegal
Sayangnya, karir Murniasih yang sedang berkembang pesat harus terjegal saat ia didiagnosis mengidap kanker ovarium stadium akhir. Murni akhirnya kalah dalam perjuangannya melawan kanker ovarium yang dia derita, tepat sebelum berusia 40 tahun. Namun, karya seninya berlimpah dengan kreativitas dan imajinasi yang gila.
Kendati segala kendala dan halangan yang ia alami, karya Murni tetap penuh meluap dengan semangat kreativitas dan imajinasi. Murni mengejutkan dunia seni rupa di Bali melalui pengambaran yang “blak-blakan” tentang tubuh perempuan, sensualitas, dan kedalaman alam bawah sadarnya. Secara tidak langsung melanggar adat dan tabu sosial di Bali.
Tidak seperti galeri-galeri lain di Ubud saat itu, galeri khusus perempuan Seniwati Gallery mengakui keunikan dan kekuatan karya-karya Murni. Mereka pun membawa karyanya ke radar audiens internasional. Menampilkannya di pameran global Hong Kong, Australia, dan Italia.
Baru menjelang pergantian milenium, karya-karya Murni akhirnya mencuri perhatian publik seni di negara asalnya. Ia menampilkan karyanya di ruang-ruang seni terkemuka seperti Cemeti Art House, Yogyakarta. Karya-karyanya diinterpretasikan tidak hanya melalui lensa personal hidupnya, tetapi kaitannya dengan trauma kolektif yang terjadi di Indonesia pasca Orde Baru.
Pameran ini menampilkan evolusi kekaryaan Murni sepanjang tahun aktifnya sebagai seorang seniman. Dari karya-karya berwarna pastel di awal kariernya yang menunjukkan ciri gaya pengosekaan yang ia pelajari, hingga lukisan-lukisan yang lebih berani, lebih cerah dan diluar dugaan yang sekarang kita kenal sebagai gaya khas Murni.
Menurut saya, jika lukisan-lukisan saya saya kebetulan menyentuh apa yang disebut dengan subjek tabu, mengapa saya harus malu? Saya tidak mau menempatkan batasan-batasan pada proses kreatif.
I GAK Murniasih
Keragaman
Pameran ini lebih lanjut menampilkan keluasan dan keragaman tema-tema karya Murni: dari gambaran jujur tentang dinamika seks dan kuasa, benda-benda surealistik, makhluk dan karakter; mimpi yang hidup dan liar, hingga keinginan untuk terus mereklamasi tubuh.
Seperti yang diartikan dalam buku The Curtain Opens: Indonesia Women Artists (2007), karya Murni adalah “pernyataan-pernyataan yang menangkap perjuangan seorang wanita dari objek seksual pasif menjadi subjek seksual aktif”.
Pameran ini disertai publikasi mencakup berbagai esai dari sejarawan seni ternama, Dr Wulan Dirgantoro dan Dr Astri Wright. Buku ini mencakup catatan mendetail biografi Murni; mendiskusikan ragam tema yang sering terabaikan dalam pembacaan karya- karyanya; dan mengartikulasikan posisi krusial yang patut Murni tempati di dalam sejarah seni Bali dan Indonesia.
Membaca kembali karya Murni maupun tulisan mengenai kekaryaannya, pameran dan publikasi ini mendalami warisan seniman ini yang masih sangat kurang diperhatikan; bagaimana karyanya bisa menjadi sangat personal dan di saat yang sama juga universal, beresonansi dengan audiens kontemporer di luar era dan areanya.
Pameran I Gusti Ayu Kadek Murniasih: Shards of My Dreams That Remain in My Consciousness akan dibuka untuk publik pada 15 Juli sampai 15 Agustus 2021. [siaran pers Gajah Gallery]
situs mahjong