.
Kanekuro, adalah sebuah band bergendre Post Punk/Dark Surf. Band ini beranggotakan empat orang truna-truni (muda-mudi). Di antaranya ada Andre Tovan sebagai vokal, Gesta di gitar, Hendra Ginting di bass, dan Rio di Drum. Mereka berdomisili di kota Denpasar, ibu kota Bali, pusat pemasaran band.
Kanekuro termasuk band yang membawa warna baru dalam skena band di Bali. Beberapa waktu lalu band ini sempat merilis single keduanya berjudul, “Haunted Psycho Notes”. Dirilis berbarengan dengan musik video di kanal YouTube Skullism Records yang sekaligus menjadi label musik untuk band Kanekuro. Disutradarai oleh Ayu Dian Ningrat, DOP dan Editor oleh Dharma Krisnahardi a.k.a Omen.
Sebuah karya selalu berdampingan dengan keresahan-keresahan sang penciptanya. Semisal pada karya single kedua Kanekuro, sang vokalis Andre Tovan mengatakan bagaimana dia tertarik oleh isu kesehatan mental. Isu yang sangat dekat dengan lingkaran dan kehidupan anak muda. Kanekuro dalam bayangan saya adalah sebuah band yang memang ingin menyentuh ruang-ruang kecil lingkaran tongkrongan di kalangan umurnya.
Pada lagu-lagu sebelumnya, Andre sebagai pentolan band Kanekuro, tidak memiliki kecendrungan ingin mendramatisir soal tradisi atau budaya tempat tinggalnya sendiri. Andre malah memilih realitas tempat tinggalnya di Bali.
Saya termasuk aktif menyaksikan Kanekuro. Saya berusaha mencoba menggunakan perspektif sebagai pendengar dan penikmat musik. Saat ingin mengulaspun saya rasa tidak memiliki hak berbicara soal genre atau kualitas musik mereka.
Jujur saja saya tidak memiliki ketajaman dalam hal itu, saya merasa memiliki kuping yang bersih sebagai pendengar musik.
Ya walaupun naif, untuk menutupi ketidaktahuan saya soal musik. Akhirnya saya memilih untuk menepi, dan mengambil dimensi lain dalam “Haunted Psycho Notes”. Bahwa saya sangat percaya sebuah karya dapat dibedah lapis demi lapis.
Isu kesehatan mental dalam keseharian menjadi hal lumrah sekaligus tabu. Ketika saya mencoba mendekati isu itu dan mencari lebih dalam lagi, ternyata kesehatan mental memiliki segala jenis cabang bentuk penyakitnya. Tapi akarnya adalah kesehatan mental itu sendiri. Pengkatagorian yang dibuat oleh ahli kejiwaan mental (psikiater) ternyata juga harus detail dan membaca ulang bagaimana latar belakang dari si pengidap penyakit itu.
Penyakit mental pada gejala awalnya tidak memberikan tanda-tanda pada fisik. Kadangkala, ini yang menjadikan pengidap gangguan mental dianggap biasa saja apalagi ditambah ketertutupan pengidap itu sendiri.
Sering menyendiri, membebani diri sendiri dengan pikiran berlebih, sedikit berbicara, pandangan jauh, perasaan yang berubah-ubah adalah segala contoh awal gejala salah satu penyakit mental. Bagaimana langkah sebagai pengidap dan orang yang mengetahui menyikapinya? Realitasnya masyarakat masih menganggap jika datang ke psikiater sudah memiliki gangguan kejiwaan akut.
Padahal sejatinya belum sampai pada tahap itu, stigma-stigma masyarakat ini yang akhirnya mempengaruhi pengidap semakin parah. Dan sayangnya lagi bagaimana orang terdekat juga memiliki stigma berlebihan. Padahal tanpa diketahui bahwa gejala-gejala awal itu malah terlahir dari lingkungan kolektif terkecil.
Semisal keluarganya dan lingkungan sekitar, yang kemudian disilangkan oleh keadaan yang sedang mengendap dalam dirinya seperti masalah pekerjaan, akademik, religi bahkan percintaan. Persilangan-persilangan tekanan itu yang kemudian memberikan dampak kesehatan mental.
Andre pernah mengatakan, “bahwa di budaya barat sana, sesuatu hal yang seperti ini sudah menjadi gaya hidup yang “keren” di kalangan remaja.” Budaya menjadi tolak ukur dalam menilai seberapa krusialnya isu kesehatan mental. Di negara maju, kelainan mental dianggap keren terlebih jika pengidapnya adalah idolanya. Seperti Syd Barret vokalis dari band Pink Floyd, Kurt Cobain – Nirvana, Ian Curtis – Joy Division, dan musisi lainnya.
Pemikiran budaya negara maju membentuk sebuah standar kekerenan tersendiri, begitu menurut Andre. Kalau dipikir-pikir iya juga sih, bagaimana orang di negara maju, individualitas jelas terlihat. Beda dengan di budaya kita, yang sangat masih perlu adanya kolektif bermasyarakat.
Saya malah terbayang, ndak ada tuh orang di negara maju kalau lewat depan orang rame nundukin badan sambil bilang “punten”. Sendiri-sendiri aja sudah “ci ci, cang cang”, ruang-ruang ketika sendiri itu yang memicu melonjaknya gangguan mental yang diamini sendiri.
Sepertinya terlalu jauh ngarul-ngidul dari “Haunted Psycho Notes”. Tapi ya memang begitulah sejatinya, kalau dilihat dari judul dan lirik memang sangat haunted (menghantui).
Setelah mendengarkan materi dan sempat ngobrol cerita-cerita sama Andre saya malah terhantui oleh diri sendiri, sebab ada gejala-gejala kecil itu melekat pada saya. Bahkan saya meyakini hal itu ada dalam setiap orang, bagaimana dihantui oleh tekanan sosial sendiri, faktor lingkungan bahkan konteks religius pribadi. Yang memberikan efek agak menakutkan ketika dipikirkan ulang, saya sampai harus memaksakan diri mengalihkannya ke hal lain.
Saya rasa Kanekuro sedikit berhasil mengangkat isu itu kepermukaan, bagaimana Kanekuro mengemas itu menjadi sebuah gambaran repetitif menakutkan dan terus terulang di telinga secara musikal dan visual. Dengan suara vokal yang mengambang jauh, bass yang kental jauh terdengar, gitar yang nyaring dan ketukan drum yang kuat.
Seperti memerintahkan tubuh untuk menunduk dan menuruti kemauan pikiran. Walaupun melakukan hal yang sarkas sekalipun kepada tubuh, itu digambarkan oleh Kanekuro menggunakan narasi-narasi seperti potongan tangan, kresek hitam besar berisikan mayat, lalu itu dikonsumsi. Dan teks sarkas lainnya.
Itu adalah ruang awang-awang seseorang ketika menghayal terlalu jauh tentang seseorang yang mungkin tidak ia sukai. Biasanya, dia akan berpikir menjadi segala cara untuk mewujudkan hal yang ada dalam pikirannya. Sekali lagi, meskipun itu dalam bentukan yang sarkas dan sangat jauh dari kenyataan.
Kemudian hal yang juga menjadi perhatian dan pertanyaannya, pada waktu bagaimana dan momen seperti apa tempat yang tepat mendengarkan single terbaru dari Kanekuro berjudul “Haunted Psycho Notes” ini? Hahahaa. Masih tidak terbayang bagaimana dan obrolan apa yang ada dalam tiap proses kreatif band ini.
Kalau didengar musik semacam ini walaupun baru dan menarik di telinga, sejatinya sangat jauh pada keseharian telinga orang Bali. Apakah band ini memang membangun karakter pendengarnya begitu saja, dileburkan begitu saja ke publik. Dan membiarkan hal itu tersaring dengan sendirinya? Atau memang akhirnya pembacaan tentang audiens itu menjadi hal yang harus dipisahkan dari karakter band itu sendiri.
Saya melihat bahwa band itu tidak bisa muncul ke permukaan dengan begitu saja. Audiens itu juga butuh narasi kecil di balik band itu sendiri. Walaupun kesannya terlihat begitu gawat, ya kenyataannya memang begitu. Apalagi katakanlah ketika dianggap membawa warna baru dalam skena musik. Narasi-narasi dan ke mana arah band itu harus dibangun beriringan. Siapa yang merekam dan mencatat bagaimana tiap proses yang telah dilalui salah satu band.
Catatan itu menjadi penting untuk mendatangkan massa dan pendengar yang baru, tulisan dan catatan menjadi jalan pintas pendengar baru. Untuk menyusul ketertinggalan kepada orang yang sudah lama mengikuti dan merekam jejak sebuah band. Ya kalau hanya bicara lewat karya saja sih bisa dan sah-sah saja, tapi itu hanya memberikan angin lalu bagi pendengarnya.
Tidak ada dialegtika yang terbangun. Saya sangat percaya bahwa tulisan dan catatan menjadi ruang yang sangat pribadi antara yang punya karya dan pendengarnya. Lewat tulisan dan catatan pendengar menjadi merasa dekat dengan band itu, sebab dia bisa membaca sekilas tentang dapur band yang sedang membuatnya resah.
Sikap sebuah band harus dipaksa dibangun secara profesional. Apalagi ketika sudah bekerja dengan label, artinya ruang lingkup band tersebut semakin luas. Itu akan mendatangkan para pendengar baru. Jika pendegar mendengar bebunyian yang aneh baginya, tugas sebuah band adalah menjaga antusias dan rasa penasaran pendengarnya.
Mungkin ya segitu saja sih, dari tadi saya nyeloteh seolah sudah paling paham dunia kesehatan mental terus sok menjadi penasehat dalam sebuah kelompok musik. Padahal tadi katanya hanya pendengar dan penikmat musik yang berkuping bersih. Ya tapi itulah, bagi saya menghargai dan antusias terhadap sebuah band seperti menulis adalah cara memberikan feedback kepada band itu sendiri.
Gimanain men, aku ndak bisa apa.
Kanggoin ulasan ala-ala curhatan aja. Siapa tau ada yang disetujui, bisa menjadi bahan bakar baru dalam berproses ke depannya. Kalau tidak ada, ya tidak juga bisa dipaksakan. Jika teman-temab berkenan berikut saya sertakan link video musik Kanekuro – Haunted Psycho Notes, sangat cocok untuk disaksikan terutama untuk kaula muda yang jenuh dengan musik yang begitu-begitu saja. Salam.