Lirik lagu dalam bahasa Bali mengalun diiringi lentur gerak penari.
Ngalap wani mejuan beten, ngalap tuung ampeg-ampegang. Lamun bani ngalih kemeten, sedek suung injeg-injegan. Ada biu jaja mewadah dulang, sisan jaje kotang. Kaden jegeg mengayang, mare kebitang ngadut pentong.
Nyoman Wija, juru tandak atau dalang dalam pertunjukkan Legong Muani (penari legong laki-laki) menyanyikan lirik di atas dengan lentur. Saat itu adegannya adalah dua penari yang bertransformasi menjadi Barong Landung. Penonton tertawa dan bertepuk tangan.
Gaya penarinya bak ondel-ondel, terhuyung ke kiri dan kanan. Karena dikutuk menjadi barong Landung oleh Dewi Danu (penguasa danau Batur). Lirik di atas menyiratkan bahwa para penari wajah dan pakaiannya perempuan tapi alat kelaminnya laki-laki.
“Memang ada yang waria,” kata Wija. Sebagian besar tidak.
Inilah para penari Legong Muani dari Sanggar Ardhanareswari. Sebuah bentuk kesenian lintas gender sekaligus mengapresiasi bakat transgender.
Ada beberapa judul legong yang biasa ditarikan penari Legong Muani, terutama pada ajang Pesta Kesenian Bali 2016. Legong klasik ini diiringi gamelan Semara Pegulingan dari Sekaa Gong Punia Bhakti.
Dimulai dengan Legong Condong sebagai pembuka kemudian dilanjutkakan Legong Kupu-kupu Tarum, mengisahkan perubahan kepompong menjadi kupu-kupu cantik.
Pada babak inti, Legong Raja Cina yang memaparkan asal muasal legenda barong landing. Diawali pertemuan raja Bali bernama Jaya Pangus dengan seorang putri Cina Kang Chi Wie. Mereka menikah namun tak diberi anak, Jaya Pangus bertapa meminta keturunan di Gunung Batur dan bertemu Dewi Danu.
Ia menikahi Dewi Danu dan memiliki seorang anak. Alkisah Sri Jaya Pangus kembali ke kerajaan dan disambut Kang Chi Wie. Suatu hari, Dewi Danu melihat kemesraan mereka berdua dan murka. Ia membakar keduanya secara mistis. Rakyat berduka dan minta Dewi Danu menghidupkan kembali. Sang Dewi menghidupkan keduanya dalam sosok barong Landung agar bisa dipuja masyarakat.
Selanjutnya beberapa penari melanjutkan dengan Legong Bramara, tentang bidadari turun ke kayangan berwujud kumbang tamulilingan yang diberi tugas menyemai benih tanaman.
Sebagai penutup adalah legong Sudarsana. Tentang seorang patih Sudarsana abdi setia raja Widarsa. Ada adegan perkelahian antara penari yang membuat beberapa penari trance saat selesai menari. Mereka tiba-tiba lunglai lalu dibopong ke belakang panggung dan diperciki tirta.
“Ini 30 menit dengan pakaian seperti ini saja susahnya minta ampun. Dicekek pinggang. Panas minta ampun,” seru penari legong laki-laki paling tua Nyoman Sukama.
Pria berusia sekitar 50 tahun ini menyebut ini salah satu caranya melestarikan tradisi di tengah diskriminasi sekitarnya. “Sering diejek banci,” ia tertawa.
Sukama dan belasan rekannya berlatih intensif beberapa bulan untuk menguasai beberapa tari legong dengan durasi utuh. Tak heran, penampilan Ardhanareswari ini hampir dua jam di arena PKB.
Sukama senang bisa menarikan tarian dengan langgam perempuan ini karena sejak usia lima tahun ia hanya diperbolehkan menarikan tari laki-laki seperti Gopala.
Gusti Made Agus Wira Aditama, manajer sanggar memaparkan misi grup ini sangat jelas sesuai arti nama sanggarnya. Didirikan oleh alm I Nengah Suarca dari Sading. Tempat latihannya di pura Dalem Kediri, banjar Negari, Sading. Namun diberi sekretariat di Jl Raya Sesetan, Denpasar oleh Pemerintah Kota Denpasar.
Legong awalnya juga ditarikan laki-laki yang dihidupkan kembali sanggar ini. “Kami menampilkan legong utuh, yang klasik,” kata Agus. Selama beberapa tahun berkegiatan jumlah anggotanya sekitar 20 orang berusia 15-50 tahun.
Agus mengatakan sanggar ini mendorong ekspresi dan jati diri penarinya di kesenian tradisional. Ia terlihat sangat bahagia karena dua kali penampilan di PKB, panggung selalu tak bisa menampung penonton yang setiap menikmati sampai akhir. [b]