• Beranda
  • Pemasangan Iklan
  • Kontak
  • Bagi Beritamu!
  • Tentang Kami
Saturday, November 8, 2025
  • Login
BaleBengong.id
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
BaleBengong
No Result
View All Result
Home Berita Utama

Ketut Liyer, Future, Pray, Love

Alfred Pasifico by Alfred Pasifico
16 May 2011
in Berita Utama, Sosok, Travel
0 0
6
“Your husband must be very handsome,” lanjut Liyer. Foto: Alfred Pasifico Ginting.

“I will not tell you a lie. Because if I lie, when I die, my soul will go to hell.”

I’m making space for the unknown future to fill up my life with yet-to-come surprises. -Elizabeth Gillbert [Eat, Pray, Love]

Sudah membaca novel atau menonton film Eat, Pray, Love? Saya belum melakukan keduanya. Tapi itu tidak menghalangi saya untuk membuat tulisan dengan judul bernuansa chick flick ini. Semata-mata untuk menarik minat pembaca perempuan :))

Saya belum ke Italia seperti Elizabeth Gilbert (Liz). Tapi dua pengalaman, di India dan Bali, menggerakkan saya untuk menyitir judul novel best seller-nya.

Ada Tibetan Market di Janpath, Delhi. Janpath adalah kawasan wajib bagi pelancong ke Delhi untuk mendapatkan barang-barang khas India, dari sepatu kulit, tas sampai sari. Beberapa toko di sana menjual barang-barang bernuansa Tibet. Saya masuk, tidak membeli. Cuma bertanya-tanya harga barang untuk nantinya membandingkan harga dengan di tempat asalnya.

Keluar toko, saya mencari tempat duduk. Seorang pria seperti orang Sikh, dengan lilitan turban yang khas di kepala, mendekati saya. Simpatik cara dia bicara. Dia bilang bisa membaca garis tangan. Dia memberi saya kertas dan pena. Meminta saya menulis nama, umur, dan beberapa instruksi lain. Lalu dia menebak tanggal kelahiran saya. Tepat.

Dia mengajak saya dalam permainan sulap psikologis yang sering dimainkan di televisi. Meminta saya menuliskan sesuatu di dalam kertas, dan dia bisa menebak. Berhasil.

Dia menawarkan untuk membaca lebih jauh tentang masa depan saya. Dia membuka bukunya dan meminta saya meletakkan uang, kalau merasa puas dengan tebakannya. Saya letakkan 50 rupee. Dia meminta lebih, saya letakkan 50 rupee lagi.

Dia pun menebak beberapa karakter saya. Agak tepat, khas astrology crap. Lalu dia pun meminta saya meletakkan uang lagi ke dalam bukunya. Saya menggeleng. Dia bertanya apa tujuan saya ke India dan kemana tujuan saya berikutnya. Saya bilang Tibet. Dia mengatakan perjalanan itu akan sangat penting karena akan mengubah hidup saya blablabla. Dia katakan saya akan kaya dalam 10 tahun ke depan dan akan mengunjungi India lagi dalam keadaan finansial saya yang jauh berbeda.

Dia pun membuka lagi bukunya menunjukkan foto anak-anak. Mereka, kata dia, yatim piatu di panti asuhan kelolaan keluarganya. Menurut dia, uang dari saya, akan sangat membantu anak-anak malang itu. Saya letakkan 200 rupee. “Hanya ini?” tanya dia. Saya letakkan 100 rupee lagi.

Saya melirik ke belakang, ternyata Vanda, teman saya sedang “digarap” oleh rekan si peramal ini. Kami ke India berlima: Vanda, Lauren, Nancy, Harry, dan saya. Saya menarik diri dari hadapan peramal. Dia mencoba menahan, karena masih banyak yang akan dia ungkap.

Saya mendekati Vanda. Dia ibu tiga anak, dan mudah sekali terpana pada hal-hal yang berbau ramalan atau palm reading.
Saya berusaha untuk dekat memperingatkan dia. Tapi ada rasa tidak enak. Teman saya itu pergi ke teman saya yang lain. Ternyata untuk meminta uang. Isi dompetnya habis, dan dia berjanji kepada si pemakai turban itu untuk memberi beberapa rupee lagi. Orang itu sempat bertanya apakah teman saya membawa kartu kredit. Dia katakan, dia bisa menunggu selama teman saya pergi ke ATM.

Teman saya yang dimintai uang ternyata hanya tersisa 1000 rupee di dompetnya. Memang dia belanja cukup banyak di Janpath, tapi dia juga sudah tergarap oleh peramal yang “menangani” saya sebelumnya. Dan saya melirik ke arah lain, Harry sedang digarap oleh peramal saya. Haaa, semua kami tergarap!

Semua selesai dan terhitung ada sekitar 3000 rupee dari kami yang beralih ke kocek dua peramal sialan itu!

Mengingat kejadian tahun lalu itu, kadang membuat saya kesal. Tapi terkadang membayangkan lagi jebakan tentang membaca masa depan dan kebodohan kami membuat saya tersenyum sendiri. Seperti saya senyum-senyum sendiri ketika di rumah Pak Ketut Liyer, di Pengosekan, Ubud, beberapa waktu lalu.

Pernah dengar nama ini? Tentu pernah bagi yang sudah membaca atau menonton Eat, Pray, Love.

Ketut Liyer adalah toko penting yang bagi Liz membantu menemukan bagian pencariannya di Ubud: Cinta, setelah Doa atau spritualitas di India.

Memasuki rumah khas Bali itu, sudah ada beberapa pengunjung lain. Semua berkulit putih, kecuali saya dan teman saya Rudi dan beberapa orang yang bisa dipastikan pemandu wisata atau sopir.

Liyer duduk di bale-bale, di depannya lelaki dan perempuan berkulit putih. Mungkin sepasang suami istri atau kekasih. Di dekat Liyer ada tiang dengan potongan-potongan kertas bertuliskan angka yang disangkutkan pada paku. Mudah ditebak, itu nomor antrian. Sudah 19 ketika saya sampai di sana.

Menurut anak Liyer yang menjadi pendampingnya, setiap hari kakek 93 tahun ini membatasi diri bertemua dengan 30 tamu.

Tamu 19 pamit, saya lihat mereka mengeluarkan 5 lembar uang Rp 50 ribu kepada pemandunya. Saya tak mengikuti ke mana perjalanan uang itu, karena saya segera mendekati Pak Ketut dan mulai membidik dengan kamera.

“I see your eyes very beautiful.”

“You sweet like sugar.”

“Your husband is a good man, and he’s handsome.”

Untuk orang Bali seusia dia, kemampuan itu mengagumkan. Jangan pernah berpikir semua orang Bali lancar berbahasa Inggris hanya karena daerah mereka sepanjang tahun dibanjiri turis asing.

Pak Ketut pun meminta tamunya mengulurkan tangan dan berkata:

“I will not tell you a lie. Because if I lie, when I die, my soul will go to hell.” 😀

Ketika pertama kali mendengar kata-kata itu saya merasa biasa saja. Tapi mulai merasa kesulitan menahan tawa, ketika saya mendengar kalimat sama diucapkan Ketut Liyer kepada pasien nomor 21, wanita muda berdarah campuran Swedia dan Jepang. Kalimat “I see your eyes very beautiful…. You sweet like sugar…” pun terlontar lagi.

Saya mendekati tamu nomor 20 yang akan berjalan meninggalkan rumah. Saya bertanya, apa yang membuat dia datang ke Liyer. “Karena novelnya atau karena filmnya?” tanya saya. Saya penasaran, adakah semacam gelombang baru di kalangan penghuni bumi utara untuk mendengarkan pendapat-pendapat ekstra-rasional seperti dari Liyer.

“Saya memang menonton film itu, tapi bukan karena itu alasan saya ke sini,” kata dia. “Tapi lebih karena saran dia,” kata ibu dua anak ini sambil menunjuk guide-nya.

Ya, ibu dua anak. Saya tahu itu karena mendengar jawabannya kepada Liyer ketika ditanya jumlah anaknya. Ibu asal Amerika itu kemudian bertanya lagi, apakah Liyer melihat akan ada anak ketiga. Liyer memberi saran. “Yes, you will have one more child. Tonight, you and your husband, will sleep together…”

Ibu itu memotong, “Of course we will sleep together because he is my husband!” dengan dahi mulai berkerut.

Liyer tak peduli dengan sela itu. Dia melanjutkan, “Then you and your husband will have sex, then wait for the third child.”

Saya harus kesulitan menahan tawa mendengar saran yang sangat standar dan alamiah itu.

Kembali ke tamu nomor 21. Liyer bertanya, “Are you married?”

“I have boyfriend. But I don’t know, I think it so hard for us to get married,” jawab perempuan muda itu.

“Oh. But, I see you very smart and sweet like sugar.” Oh Liyer, again?

“Your husband must be very handsome,” lanjut Liyer.

“No, I don’t have a husband. I have a boyfriend and we haven’t married,” kata perempuan itu dengan ekspresi mulai kusut.

Liyer tak menggubris.

“Can you see my future?” kata sang tamu nomor 21 menyodorkan kedua telapak tangannya.

Liyer memegang tangannya. “Sorry,” dia mengambil handuk kecil di belakangnya.

“I have to sniff. You understand sniff?” Liyer bersin. “Sorry.”

“Yes I understand sniff,” kata perempuan 21, masih menunggu jawabannya. Saya juga.

Sekitar 3 menit kami menunggu, dan Pak Ketut masih berusaha menahan bersinnya dengan handuk.

Saya pun mengajak teman saya keluar karena saya sudah menemukan jawaban atas pertanyaan perempuan itu tentang masa depan.

Tidak ada siapa pun yang bisa mengetahui masa depan. Dia adalah perjalanan. Untuk mengetahuinya adalah dengan menjalaninya. [b]

Tags: GianyarSosokUbud
Liputan Mendalam BaleBengong.ID
Alfred Pasifico

Alfred Pasifico

Related Posts

Kearifan Lokal di Tengah Arus Global di UWRF 2025

Kearifan Lokal di Tengah Arus Global di UWRF 2025

22 October 2025
Kata Warga Ubud tentang Kemacetan dan Fasilitas Publik

Kata Warga Ubud tentang Kemacetan dan Fasilitas Publik

3 October 2025
Ubud yang Tenang Berubah Bising dan Macet

Pengembangan Kawasan Rendah Emisi di Sanur dan Ubud

19 September 2025
Mengharapkan Perubahan Ubud dari Warga dan Pemerintah

Mengharapkan Perubahan Ubud dari Warga dan Pemerintah

15 September 2025
Jelajah Inovasi Desa di Ubud, dari Transportasi Hingga Pedestrian

Jelajah Inovasi Desa di Ubud, dari Transportasi Hingga Pedestrian

10 September 2025
Ubud yang Tenang Berubah Bising dan Macet

Ubud yang Tenang Berubah Bising dan Macet

10 September 2025
Next Post
Lempad Reborn ala Anak Tangguh

Lempad Reborn ala Anak Tangguh

Comments 6

  1. luhde says:
    14 years ago

    tuh klinik kebidanan dpn rmhnya jauh lbh sepi. klo bosen nunggu antrean bisa periksa kb dulu

    Reply
  2. dudik says:
    14 years ago

    wakakkak.. ya begitulah.. ke Balian itu ya seperti itu.

    Reply
  3. Lecir says:
    14 years ago

    hahah, tulisan yang menarik bung alfred!

    Reply
  4. tetangga sebelah says:
    14 years ago

    Oohh.. itu toh ketut liyer yang asli. ^^

    Reply
  5. Putri says:
    14 years ago

    wahh………….akhirnya aku tahu wajahnya……

    Reply
  6. Dewa says:
    14 years ago

    Nice article…
    Kalo boleh tau biaya skali diramal berapa ya?!

    Reply

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Temukan Kami

Kelas Literasi BaleBengong
Melali Melali Melali
Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu?

Kabar Terbaru

Warisan Pasca Kolonialisme dalam Film Roots

Warisan Pasca Kolonialisme dalam Film Roots

7 November 2025
Ini Cerita Arsa, Remaja Rasa Anak-anak

Pengalaman Orang Tua dengan Anak Neurodiversitas

6 November 2025
BaleBio, Prototipe Arsitektur Regeneratif

BaleBio, Prototipe Arsitektur Regeneratif

6 November 2025
Pelatihan Olah Limbah Bambu di Bamboo Academy

Pelatihan Olah Limbah Bambu di Bamboo Academy

5 November 2025
BaleBengong

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia

Informasi Tambahan

  • Iklan
  • Peringatan
  • Kontributor
  • Bagi Beritamu!
  • Tanya Jawab
  • Panduan Logo

Temukan Kami

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia