Anak-anak Sanggar Anak Tangguh di Desa Guwang, Sukawati bersuara melalui lukisannya.
Mereka menggelar pameran lukisan berjudul Jiwa Anak Tumbuh Seni di Alliance Francaise, Yayasan Lembaga Indonesia Perancis, Minggu 8-14 Mei lalu. Pameran memperingati Hari Pendidikan Nasional ini diisi dengan diskusi soal kualitas pendidikan yang makin menurun di negeri ini dan aksi seni musik, tari modern, dan lukisan bebas.
Pameran lukisan ini bagian dari program Lempad Reborn, memberikan jiwa pada karya lukis anak-anak dari desa seni Guwang-Sukawati ini.
Apriadi Ujiarso, kurator pameran ini menyebut kegembiraan dan kegelisahan khas anak terlihat dalam program Lempad Reborn ini. “Jiwa harus ditumbuhkan dalam berkesenian,” sebutnya.
Sebanyak 20 karya lukisan dipamerkan dalam dua tema, yakni karakter superhero dan bukan. Ada miki dan Mini tikus, princess, dan detektif Conan.
Sebagian besar karya mengangkat apa yang menjadi tontonan anak tiap hari seperti berita televisi dan koran. Misalnya I Kadek Adi yang melukis berjudul Perompak Somalia. Ia menulis kapal khas bajak laut dan harta karun yang tercecer. Imaji Adi ketika menonton berita soal itu di televisi. “Saya suka membaca detektif Conan, jadi ingin tau perompak yang misterius itu,” ujar pelajar 14 tahun ini. Adi juga melukis soal sosok laki-laki berjudul guru karena ingin menjadi guru.
Sementara I Kadek Juana Setiawan, anak terkecil yang ikut pameran membuat goresan langit merah dengan beberapa pohon di atas kanvas. “Itu langit merah karena panas hutan banyak terbakar,” kata Juana sambil tertawa.
Ada beberapa tema serius lain seperti lukisan berjudul korupsi karya I Made Riki. Juga lukisan berjudul Peduli Republik Indonesia karya I Komang Dananjaya yang bergambar laki-laki memakai ikat kepala cinta RI tapi buang sampah sembarangan.
Program menggambar dengan nama program Lampard Reborn ini sudah dimulai Maret 2008. Awalnya bernama Little Picasso, namun diubah untuk memberi konteks lokal.
“Nama I Gusti Nyoman Lempada diambil agar anak-anak ingat Bali punya seniman yang hebat dan berkarakter,” ujar I Komang Adiartha, salah satu pembina sanggar. Selain itu yang twrpenting menurut Adiartha adalah melukis dengan kritis dan kepekaan sosial.
Program ini pada awalnya didampingi Susan Phoenix, pensiunan guru TK dari Inggris dan Cok Raka, mantan guru di Jakarta dan seniman dari Desa Guwang. Kolaborasi ini menghasilkan dua metode belajar khas barat dan timur. Susan mengawali melukis dengan mengenal gradasi warna dan gaya abstrak sementara Cok Raka memulai melukis dengan sketsa khas seniman Bali. Saat ini anak Tangguh didampingi seniman dan musisi I Made Bayak Muliana.
Sementara Sanggar Anak Tangguh didirikan sebagai pendidikan alternatif karena kegelisahan keringnya pendidikan humaniora dan keterampilan individu di sekolah formal. “Anak-anak kok takut ngobrol sama turis dan tidak percaya diri padahal sering ketemu turis di sekitar rumahnya,” sebut Komang Adiartha.
Atas inisiatif beberapa pemuda setempat, warga bergotongroyong membuat bangunan semi permanen sebagai pusat kegiatan. Tiap orangtua menyumbang semampunya seperti tanaman hias, bahan bangunan, dan lainnya. “strong children makes strong nation,” tambahnya.
info lebih lanjut tentang Sanggar Anak Tangguh bisa dilihat di http://anaktangguh.wordpress.com/
atau datang langsung setiap hari minggu pagi jam 9 sampai selesai, ada berbagi kegiatan anak2 di sanggar. Banjar Wangbung, Desa Guwang, Sukawati, Gianyar.
Thanks buat Luh De, yang sudah mengapresiasi karya anak-anak sanggar….. untuk program kedepanya, kita ada dua program kesenirupaan : cukil kayu yang dikoordinir Made Bayak dan photografi lubang jarum yang dibimbing kakak -kakak dari Komunitas Semut Ireng….. semoga kita bisa pameran pada perayaan hari anak nasional… Juli 2011. salam Strong Children Strong Nation…