Kabar baik menyambut Desa Les, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng di akhir tahun kemarin. Pasalnya, Desa Les meraih penghargaan sebagai Desa Wisata Terbaik dalam ajak Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2024 pada 17 November 2024.
Berlokasi di Bali Utara, Desa Les memiliki beragam potensi, mulai dari laut, pertanian, hingga seni. Secara turun temurun, desa ini telah mengembangkan berbagai produk berbahan dasar lontar, seperti arak dan gula. Selain lontar, masyarakat Desa Les juga memproduksi minyak tanusan dan garam laut.
“Secara turun temurun memang beberapa makanan tradisional itu sangat dikenal, makanan laut, sabrang. Sabrang itu ketela pohon atau kita sebut biasanya sebelum padi menyerang,” ungkap Nyoman Nadiana atau Don Rare, pegiat pariwisata di Desa Les.
Melihat keragaman potensi alam tersebut, Don Rare bersama para pengelola desa wisata tergerak untuk mengembangkan desa wisata berkelanjutan di Desa Les. Melalui desa wisata berkelanjutan ini, bukan hanya investor besar yang terdampak, tetapi masyarakat kecil juga ikut merasakan dampaknya.
Di balik keragaman potensi alam dan kuliner, Desa Les ternyata memiliki kesenian yang kian tergerus waktu. Seni ini bernama Tapel Ngandong. Seni ini berbeda dengan tarian tapel sakral kebanyakan yang diiringi gamelan dan ditampilkan di pura.
Tapel Ngandong ditujukan untuk hiburan dan biasanya ditampilkan ketika pengerupukan atau pawai ogoh-ogoh. Tarian ini hanya bisa ditemui ketika berkunjung ke Desa Les.
Tapel Ngandong yang ada di Desa Les saat ini adalah Tapel Ngandong generasi kedua. Kabarnya, Tapel Ngandong generasi pertama sempat dipinjam dan diduplikasi. “Yang minjam tapel ini karena dipercaya memiliki kekuatan luar biasa gitu kan. Biasa kan orang-orang zaman dulu kalau bikin apa kan ada hari baik, kayu yang digunakan kayu yang spesial dan sebagainya,” ungkap Don Rare.
Ketika Tapel Ngandong dikembalikan, pemiliknya mengetahui bahwa tapel tersebut sudah diduplikat. Akhirnya, generasi berikutnya kembali membuat tapel yang baru, sehingga masyarakat menyebut bahwa tapel saat ini adalah generasi kedua.
Desa Les memiliki sebuah sanggar seni yang giat melestarikan alat-alat musik tradisional. Sanggar seni ini dikelola oleh Nyoman Widiem, salah satu pegiat seni di Desa Les. Namun, sanggar ini baru bisa membangkitkan kembali alat musik tradisional, seperti tektekan.
Tapel Ngandong sebagai salah satu kesenian di Desa Les juga perlu memiliki wadah untuk melestarikan. Bukan hanya melestarikan gerak semata, tapi juga perlu ada pengembangan cerita.
“Kenapa tapel ngandong, ane buta dandan, ane dengkleng ngandong (yang buta menggandeng, yang dengkleng menggendong). Itu kalau dikaitkan dengan pengerupukan. Tetapi di Desa Les itu juga sangat erat kaitannya dengan desa tua, yaitu Dusun Pancingan,” ungkap Don Rare.
Desa Pancingan merupakan desa di dekat laut. Ketika ada pendatang, orang-orang malah pergi dari desa itu. Konon katanya, orang berbondong-bondong menggendong anak kecil dan berduyun-duyun saling bergandengan tangan untuk naik ke bukit. Kisah inilah yang ingin dikembangkan dalam Tapel Ngandong karena erat kaitannya dengan sejarah desa.
Salah satu tantangan pelestarian Tapel Ngandong adalah kondisi tapel yang kini sudah usang dan hanya ada satu. Selain itu, sangat sedikit penari Tapel Ngandong, terlebih penari perlu memiliki sifat humoris untuk menarikan Tapel Ngandong.
Apabila tidak dilestarikan dan tidak terdokumentasikan dengan baik, Tapel Ngandong bisa saja tergerus seiring berjalannya waktu. Kesenian ini terancam hilang karena tak ada generasi penari dan properti tari dalam kondisi rusak.