Teks dan Foto Luh De Suriyani
Ketika anaknya jadi korban bom Bali, Alex justru merangkul remaja antarnegara dan antarnegara.
Siang yang terik pada Kamis (10/6) lalu, jalan sempit Legian sudah penuh dengan kendaraan. Kuta memang baru terlihat ramai tengah hari. Alexander Braden, dan dua kerabatnya dari Inggris berjalan membawa rangkaian bunga menuju Bali Bomb Memorial Park. Wajahnya tak tampak murung namun tersenyum lepas.
Alex, panggilan Alexander, mengenakan pakaian kehormatannya delapan tahun terakhir ini. Baju kaos hitam bertuliskan, Taipei Baboons Rugby. Itu adalah nama tim rugby anak laki-lakinya, Daniel Braden. Daniel menjadi salah satu korban peristiwa bom Bali ketika melewatkan malam di Sari Club, 12 Oktober 2002 lalu. Bom berkekuatan besar meledak di depan club ramai itu dan menewaskan sedikitnya 202 orang, 23 di antaranya dari Inggris.
Karangan bunga itu diletakkan di bawah altar berisi nama-nama korban. Sepucuk surat ditulis tangan bertuliskan harapan dan semangat. ‘Daniel, we always think of you. And your memory still alive through Encompass-The Daniel Braden Reconcilition Trust, here in Indonesia and all over the world. Through Encompass, hundreds of young people think actively and openly about right to live. Live without agression.”
“Kamu lihat, banyak nama-nama Bali di altar korban ini. Kita harus mengingat mereka juga,” Alex menunjuk ke pahatan nama-nama korban. Ia berkata dengan senyum lebar terkembang. Bukan amarah tapi pengharapan akan toleransi dan kesepahaman.
Alex, Eric Appleby, dan Erica Moisl lalu beranjak pergi ke Lapangan Samudra Kuta. Mereka mendapat informasi ada sebuah prasasti yang dibuat sejumlah kelompok rugby untuk menghormati sejumlah pemain Taipei Baboons yang menjadi korban. Alex dan Eric mengelilingi lapangan bola di Kuta itu untuk mencari. Namun, prasasti tak ditemukan lagi di sana.
“If only all conflict could be resolved through sport,” tulis Alex dalam sebuah kertas putih yang akan diletakkan di prasasti sebesar batu batako yang telah hilang itu.
Bali hanyalah salah satu pesinggahan Alex dan tim Encompass-Daniel Braden Reconciliation Trust di Indonesia. Sebelum ke Bali mereka sudah ke Jakarta, Bandung, dan Malang untuk bertemu belasan alumni Journey and Voyage of Understanding, ruang yang mempertemukan ratusan anak muda dari berbagai negara, terutama dari Israel, Palestina, Indonesia, Inggris, dan Amerika Serikat.
Masa berkabung atas meninggalnya Daniel, pada 2002 malah membuat Alex dan keluarganya ingin membuat jaringan persahabatan dan kemanusiaan dari berbagai latar belakang etnis dan agama. Pada 2003, sebuah voyage understanding dilakukan di Inggris dan mengundang 24 anak muda dari beberapa negara seperti di atas.
Termasuk delapan dari Indonesia. Ketika itu diwakili murid dari Perguruan Gontor di Jawa Timur. Sebuah pesantren yang dikenal membuka ruang komunikasi dunia Islam dan Barat.
“Kami ingin menunjukkan bahwa terorisme bisa dilawan dengan membuka pikiran anak-anak muda selebarnya,” Alex berujar.
Program ini dilakukan tiap tahun sampai kini. “Kami akan terus mengingat, hal yang penting di dunia ini adalah toleransi dan kesepahaman,” ujar Dewi Perama, salah satu peserta dari Bali pada akhir 2003.
Semua aktivitas komunitas ini bisa dilihat di website Encompass Trust. Selain kegiatan berlayar juga ada petualangan anak-anak muda lintas etnis dan bangsa ini di darat. Petualangan alam dipilih sebagai metode diskusi dan memudahkan dialog untuk mengkampanyekan toleransi ini. [b]