Instruksi Gubernur Koster soal KB Krama Bali sontak mengundang tanda tanya besar.
Banyak yang bertanya-tanya apa latar belakang kebijakan Gubernur Bali mengeluarkan Instruksi Gubernur Nomor 1545 Tahun 2019 tentang Sosialisasi Program Keluarga Berencana (KB) Krama Bali. Salah satunya adalah “perlawanannya” terhadap program Keluarga Berencana (KB) dengan dua anak cukup.
Ironisnya, Provinsi Bali dulu sempat mencuat dan disanjung-sanjung karena keberhasilannya mensukseskan program rintisan rezim otoritarian Orde Baru tersebut. Salah satu menteri yang berperan saat itu adalah mantan Gubernur Bali, Ida Bagus Oka.
Salah satu bunyi Instruksi Gubernur Koster adalah: “Segera menghentikan kampanye dan sosialisasi Keluarga Berencana (KB) dengan dua anak cukup atau dua anak lebih baik kepada jajarannya yang menangani urusan keluarga berencana.“
Yang justru menjadi fokus Gubernur Koster adalah mengampanyekan dan mensosialisasikan KB Krama Bali berdasarkan kearifan lokal yang diarahkan untuk mewujudkan manusia (krama) Bali yang unggul dan keluarga berkualitas. KB krama Bali yang dimaksudkan dalam intruksi ini adalah urutan penamaan anak pada keluarga Bali yaitu Putu/Wayan, Made/Kadek, Komang/Nyoman, dan Ketut.
Tidak jelas sejak kapan penggunaan tradisi penamaan anak pada masyarakat Bali berlangsung dengan empat anak tersebut. Nama dengan awalan Wayan, Made, Nyoman, dan Ketut sangat jelas menunjukkan urutan kelahiran dari yang lebih tua hingga yang paling muda. Jika memiliki anak kelima, sering disebutkan dengan Wayan balik untuk menunjukkan perputaran kembali dari awal.
Hal lainnya juga adalah penggunaan I pada awal nama Wayan/Made/Nyoman/Ketut untuk mencirikan laki-laki dan Ni yang mencirikan perempuan. Tradisi empat anak dengan penamaan Wayan/Made/Nyoman/Ketut jelas berkaitan dengan status kebangsawanan (Kasta) sebagai Wasya atau Sudra.
Jika merujuk kepada catatan sejarah, nama depan orang Bali tersebut pertama kali disuratkan pada masa pemerintahan Raja Gelgel Klungkung yaitu Dalem Ketut Kresna Kepakisan yang memerintah Balidwipa pada abad ke-14. Beliau adalah anak keempat dari Sri Kresna Kepakisan yang diangkat menjadi pemimpin Bali oleh Mahapatih Gajah Mada pada masa pemerintahan Majapahit berkuasa di Bali.
Almarhum Prof. I Wayan Jendra menegaskan perlunya dipertanyakan dan dilakukan kajian teks lebih mendalam untuk membuktikan. Apakah pemberian nama orang Bali tersebut sebagai pengaruh Majapahit atau bukan.
Stagnan
Meski berargumentasi melindungi kearifan lokal dan warisan leluhur, juga dikaitkan dengan visi pembangunan Bali Nangun Sad Kerthi Loka Bali melalui pola pembangunan semesta berencana menuju Bali era baru, patut diduga kebijakan ini lahir dari argumentasi keterdesakan orang Bali di tanahnya sendiri.
Arus migrasi dan interkoneksi dunia membuat Bali terpapar pada dunia global. Bali justru mengundang dunia dan kapital sekaligus hadir melalui pariwisata. Dunia yang semakin sempit dan tanpa batas membuat Bali dan manusianya menghadapi berbagai risiko.
Sebagai warga dunia global, identitas dan jati diri Bali—dengan empat anak—terus-menerus menghadapi tantangan.
Saya meyakini bahwa kebijakan KB Krama Bali ini sarat dengan nuansa “membangun benteng” di tengah keterdesakan tersebut. Saya tidak yakin bahwa sebelum memutuskan untuk membuat instruksi, Gubernur Koster dan timnya melakukan kajian secara mendalam dan berkualitas. Apalagi didesiminasi ke publik.
Asumsinya saya kira adalah kekhawatiran populasi manusia Bali sebagai warga dunia global yang semakin terhimpit. Memperkuat benteng paling mudah dilakukan adalah saat kita membayangkan diri secara bersama-sama menjadi orang Bali.
Kita merasa dominan di wilayah kita. Kita mengindentikkan diri kita bersama-sama. Kita membayangkan bahwa ancaman tersebut selalu harus datang dari luar (baca: migrasi dan banyaknya para pendatang).
Salah satu yang menjadi momok bagi Bali adalah arus migrasi yang menambah sesaknya penduduk. Hal tersebut berbading terbalik dengan stagnan bahkan berkurangnya jumlah krama Hindu Bali. Hal ini terbukti dari data tahun 2016, 2017, dan 2018, di mana jumlah penduduk krama Hindu Bali stagnan di angka 3,6 juta penduduk dari total jumlah penduduk Bali yaitu 4.216.171 jiwa.
Data-data statistik kependudukan itu sangat mungkin menjadi acuan Gubernur Koster mengambil kebijakan ini. Keluarga masyarakat Hindu Bali, kemungkinan dominan di wilayah urban, sudah jarang yang mempunyai empat orang anak. Jika demikian, nama Nyoman dan Ketut dipastikan langka. Ini berarti populasi pertumbuhan masyarakat Hindu Bali dipastikan menurun di wilayah berpenduduk padat.
Bagaimana dengan masyarakat Hindu Bali di daerah perdesaan?
Kuasa Pengaturan
Kritik terhadap Program Keluarga Berencana (KB) sangat menghujam. Intinya adalah negara dengan otoritasnya masuk untuk mengatur wilayah-wilayah privat manusia (urusan kelamin dan kebebasan menentukan memiliki anak atau tidak). Di samping soal kuasa negara tersebut, kebijakan KB sangat jelas tidak sensitif gender dan menjadikan perempuan sebagai obyeknya. Kekuasaan negara telah masuk ke ruang-ruang privat manusia.
Saya masih ingat bagaimana awalnya adalah sosialisasi namun akhirnya pemaksaan alat kontrasepsi kepada perempuan agar menghentikan mempunyai anak. Kekuasaan telah masuk ke alat kelamin. Ia tidak hanya berbentuk tentara, polisi, dan lembaga-lembaga, namun juga peraturan, program-program, dan sudah tentu instruksi.
Rezim pengaturan melalui KB krama Bali juga sangat kental nilai patriarki yang dan menjadikan perempuan sebagai obyek percobaan. Baik KB maupun KB krama Bali jelas tidak beradasar pada keadilan dan kesetaraan gender. Yang menjadi “korban” dari segala macam kebijakan ini adalah para perempuan. Perjuangan melahirkan adalah menyerahkan diri antara hidup dan mati, metegul bok akatih (mengikatkan rambut satu helai) untuk menggambarkan bagaimana perjuangan perempuan dalam melahirkan.
Saya ingat betul, saat mendampingi istri melahirkan, saya merasakan kesakitan yang tiada tara perempuan berjuang melahirkan. Di mana keadilan dan kesetaraan pada perempuan?
Rezim pengaturan kebijakan ini jelas sangat diskriminatif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Diskriminatif karena mengandaikan bahwa populasi masyarakat Hindu Bali hanya pada wilayah-wilayah urban.
Bagaimana dengan saudara Hindu Bali yang berada di daerah pelosok dan perdesaaan? Apakah mereka saat memiliki empat anak akan terjamin penghidupannya? Dimana tanggungjawab negara pasca instruksi dikeluarkan?
Ujung dari desain kebijakan ini saya kira bukan hanya menambah populasi masyarakat Hindu Bali. Populasi meski sedikit tapi memiliki kualitas kehidupan yang memadai tentu akan lebih elok.
Saya kira, hal lebih urgen diperhatikan justru bagaimana memastikan orang-orang Bali yang ada kini (dan minoritas) hidup sejahtera dan berdaulat atas ruang-ruang hidup mereka. Orang-orang Bali yang tangguh dan berkarakter petarung dan jujur. Memastikan karakter kuat itulah yang mesti dipikirkan bagaimana peta jalannya.
Kita juga memiliki kerinduan bagaimana orang-orang Bali menjadi berkualitas, memiliki kapasitas, dan mempunyai posisi tawar untuk menegakkan martabatnya di tanah kelahiran mereka. Bukan justru menjadi kuli dan kacung. Hak-hak atas ruang hidup bagi orang Hindu Bali itulah yang harus diperjuangkan oleh negara. Bukan justru menjadi kaki tangan dari kekuasaan negara dan kapital.
Di samping itu, memastikan orang-orang Hindu Bali terhadap penghidupan yang layak dan kesejahteraan itu juga jauh lebih penting daripada mengurus orang Bali punya anak.
Ah, saya tetiba teringat bagaimana sekeluarga, dengan empat anak bahkan lebih, hidup beratapkan klangsah kehujanan, kedinginan, dan melawan panas di sebuah desa di pegunungan Bali utara. Di belahan tanah Bali lainnya, di timur Bali, sekeluarga dengan empat anak bahkan lebih mengalami gangguan jiwa tanpa perhatian pemerintah.
Di mana kehadiran negara? Di mana tanggungjawab negara yang memastikan penghidupan yang layak bagi warganya? Tidak bertanggungjawab kok menginstruksikan mempunyai empat anak. Juari gen (tidak tahu malu). [b]