Sebelumnya, ketika di luar, saya pikir semua orang dipenjara itu pasti bersalah.
Setelah merasakan sendiri di dalam penjara, ternyata tidak. Mereka, orang yang di dalam penjara, hanya salah melangkah.
Ardi (nama samaran), salah satu penghuni Lapas Anak Gianyar di Karangasem bercerita kepada kami Jumat pekan lalu.
Sebelum itu, biar tidak salah paham, namaLembaga Pemasyarakatan (Lapasn)-ya memang Lapas Anak GIANYAR di Karangasem. Yes, Lapas Anak Gianyar tapi di Karangasem.
Oke. Mari lanjut.
Ardi bercerita ketika kami ke Lapas Anak Jumat pekan lalu. Kami bertanya tentang apa pelajaran dia selama di penjara. Dua paragraf di atas jawabannya. Dia bercerita sambil jongkok di dekat dapur Lapas Anak Karangasem ketika saya merekam omongannya sebagai bagian dari film pendek.
Pernyataan itu menjadi penutup film berdurasi sekitar 8 menit yang kami putar pada saat peluncuran buku Di Balik Jeruji. Buku setebal 108 halaman itu karya anak-anak penghuni Lapas Anak di Karangasem. Adi termasuk salah satu penulis buku tersebut.
Selain Ardi, ada 19 anak lain yang bercerita dalam buku Di Balik Jeruji. Secara garis besar, karya sastra mereka terbagi dalam dua jenis, prosa dan puisi. Semua dibuat berdasarkan kisah nyata penulisnya. Sebagian besar tentang kisah yang membawa mereka masuk ke penjara.
Cerita mereka beragam. Ada tentang hubungan dengan (mantan) pacarnya, pengalaman sebagai begal, atau ketika memakai narkoba. Adapun puisi lebih banyak tentang harapan mereka selama di penjara.
“Buku ini sangat berharga dalam hidupku karena ini adalah curahan hati seorang narapidana yang berpisah dengan orang tua, berpisah dengan orang-orang yang dicintainya,” kata Agus, nama samaran juga, salah satu penulis buku.
Jumat kemarin, buku tersebut diluncurkan di pembukaan agenda tahunan Bali Emerging Writers Festival (BEWF). Ni Kadek Purnami, General Manager BEWF, secara simbolik menyerahkan buku kepada tiga perempuan: Janet DeNeefe, Cok Sawitri, dan Luh De Suriyani.
Janet adalah penggagas Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) yang juga penyelenggara BEWF. Cok, sastrawan Bali yang juga pemateri utama lokakarya menulis untuk anak-anak di Lapas. Sedangkan Luh De fasilitator dari Sloka Institute yang mendampingi proses selama dua bulan bersama Intan Paramitha.
Kolaborasi
Buku Di Balik Jeruji memang hasil kolaborasi tiga pihak, UWRF, Sloka Institute, dan Cok Sawitri. Ide awalnya, UWRF ingin memberi tempat pada suara-suara kelompok marjinal. I Wayan Juniartha, Manajer Program UWRF Indonesia, kemudian mengajak Sloka, lembaga pengembangan media, jurnalisme, dan informasi di mana saya juga terlibat.
Sejak Februari lalu, tim Sloka, UWRF, dan Cok pun bolak-balik ke Lapas Anak di Karangasem, berjarak sekitar 60 km di timur Denpasar. Tiap dua minggu sekali, tim ini memberikan pelatihan untuk anak-anak Lapas Karangasem.
Ini proses yang tidak mudah. Menurut Cok, jangankan menulis karya sastra, bahkan menulis tangan pun sebagian anak itu tak bisa. Mengeja nama sendiri pun tertarih-tatih.
Karena itu pula, Cok menghindari formalisme sastra baik teori, struktural, ataupun keindahan kata. Dia membebaskan anak-anak tersebut selama bisa menuliskan apa yang mereka ingin tulis. “Anak-anak sudah terlalu banyak kena aturan di penjara. Karena itu biarkan saja mereka bebas dengan karya-karyanya,” tambah Cok.
Setelah empat kali pertemuan di Lapas Anak, lahirnya 14 prosa dan 16 puisi.
Sebagaimana ditulis Juniarta dalam pengantar, buku ini mungkin memberi kejutan tidak nyaman, baik karena bahasanya yang cenderung vulgar maupun tema cerita yang masih dianggap tabu. Namun, bahasa-bahasa “apa adanya” ala anak-anak Lapas memang dibiarkan begitu saja. Editor tidak mengubah substansi karya.
“Karena kami percaya karya-karya tersebut akan memberikan gambaran jujur tentang kehidupan remaja ini,” tulis Juniarta.
Charlie, salah satu penulis, misalnya menceritakan kisahnya melalui karya Kisah Begal Motor. Anak berumur 18 tahun ini menuliskan pengalamannya saat ditangkap polisi. “Hari ini aku tersesat, besok aku bertobat,” tulisnya.
Ada pula DMS dengan karya Menuju Gelarku yang bercerita tentan betapa muram hidup di penjara. “Tulisan-tulisan dinding yang kubaca seperti sangat sedih terbaca, entah siapa yang menulis. Suara tetesan air keran yang seakan tak berhenti kudengar dari kamar mandi semakin membuatku gelisah.”
Anak-anak itu dengan kekuatan dan kemampuan masing-masing telah mencampur adukkan kenangan maupun imajinasi mereka di buku ini. Seperti mereka katakan ketika kami bertemu Jumat lalu, penjara bukanlah halangan bagi mereka untuk berkarya.
Ragam cerita anak-anak di balik penjara tersebut melengkapi kemeriahan BEWF tahun ini. Agenda tahunan bagian dari UWRF ini diadakan tiga hari, 24-26 April 2015.
Selama tiga hari ada aneka kegiatan seperti workshop, diskusi, dan program seni. Beberapa nama penulis terkemuka seperti M Aan Mansur, Windy Ariestanty, dan Eka Kurniawan hadir dalam diskusi. Nama-nama penulis muda lokal pun hadir seperti Ni Wayan Idayati dan I Putu Supartika.
Di Balik Jeruji memberi warna sendiri di BEWF yang kali ini bertema The Voices You Need to Hear. [b]