
Kasus yang menimpa Jerinx mengundang simpati berbagai kalangan.
Ini bisa dicermati baik dari berbagai aksi di lapangan oleh mereka yang bersimpati terhadap drummer Supermen is Dead (SID) bernama lengkap I Gede Ari Astina tersebut. Begitu pula berbagai komentar positif yang memberi dukungan di medsos dan kanal berita, serta sejumlah pakar yang juga turut berurun pendapat. Bukan saja dari pakar di bidang hukum, tetapi juga pakar dari bidang-bidang lainnya.
Selain dikenal lewat musik dengan grup band SID (juga Devil Dice serta Vlaminora), dia juga dikenal dengan berbagai aksi sosial maupun aksi kemanusiaannya. Yang paling moncer adalah ketika dia baik secara pribadi maupun sebagai grup, sangat intens mengampanyekan gerakan Bali Tolak Reklamasi (BTR), baik lewat aksi panggungnya di berbagai daerah maupun langsung ikut berbaur turun ke jalan.
Aksi itu sudah berlangsung ketika gerakan itu masih berupa jabang bayi hingga sekarang. Sampai salah seorang kawan saya sempat berujar, “BTR adalah Jerinx dan Jerinx adalah BTR.” Mungkin maksud kawan itu, keduanya tidak bisa dipisahkan dan identik satu sama lain. Sehingga sampai sempat beredar selentingan bahwa penahanan Jerinx sangat terkait dengan keterlibatannya dengan gerakan BTR.
Yang ingin saya soroti dalam tulisan ini adalah sosok Jerinx sangat populer. Jauh mengalahkan sosok pemimpin maupun tokoh-tokoh lain. Yang saya maksudkan adalah jika ada pemimpin atau tokoh politik yang walaupun sangat disegani, saya agak pesimis bisa menyamai gema solidaritas yang ditunjukkan untuk Jerinx.
Transaksional
Transaksional yang saya maksudkan dalam hal ini adalah bahwa selalu ada imbalan yang diharapakan ketika seseorang memberikan sesuatu. Misalnya dalam dunia politik. Seorang yang mencalonkan diri untuk menjadi anggota legislatif maupun menjadi pemimpin eksekutif (bupati/walikota/gubernur), maka sudah dipastikan akan mendekati calon pemilih lewat kampanye yang biasanya disertai pemberian bansos maupun semacam ‘serangan fajar’.
Bansos, jelas merupakan sesuatu yang berbau transaksional. Artinya ketika seoarang caleg memberikan bansos atau ‘serangan fajar’, maka tentu saja mereka mengharapkan yang diberi bansos, agar memilih mereka. Dan ketika mereka sudah terpilih maka hubungan itu sudah terputus dan tidak ada semacam kewajiban lagi untuk bertanggung jawab terhadap pemilihnya.
Begitu juga sebaliknya. Ketika mereka yang sudah terpilih membuat kebijakan atau menyalahkangunakan jabatannya yang merugikan rakyat atau pemilihnya, maka si pemilih sepertinya tidak berhak menuntut karena merasa sudah diberi imbalan sebelumnya. Kalaupun mereka jengkel karena merasa dirugikan, sehingga keluhannya hanya sampai di tingkat obrolan warung kopi atau hanya di medsos.
Karena bersifat transaksional, maka belum pernah ada kasus ketika seorang pemimpin politik yang mengalami kasus (apalagi terlibat kasus korupsi), ada pendukungnya yang bersimpati. Kalaupun ada, bisa dibilang hal itu bersifat mobilisasi dan bukan bersifat partisipatif.
Jika menilik kasus Jerinx, maka dengan jelas kita bisa melihat dukungan yang bersifat partisipatif. Pasca penahanannya, sejumlah baliho bergambar Jerinx dengan tagar #SayaBersamaJRX dan #Bebaskan JRXSID bermunculan di sejumlah lokasi di Bali bahkan hingga menyebar di beberapa daerah luar Bali terutama di Pulau Jawa.
Pemasangan baliho kemudian juga disertai aksi turun ke lapangan oleh para simpatisannya. Aksi paling masif tentu saja terjadi di Bali. Walaupun tidak semasif di Bali, aksi turun ke jalan juga terjadi di beberapa lokasi di luar Bali.
Khusus di Bali, di tengah semakin represifnya aparat dengan dalih pandemi, dalam setiap sidang Jerinx berlangsung, ada saja strategi yang digunakan simpatisannya agar mereka tetap bisa menunjukkan solidaritas mereka. Mereka yang ikut bergabung dalam aksi, berasal dari berbagai dari kalangan profesi; pelajar, mahasiswa, seniman, wiraswastawan, dsb.
Simpati juga datang dari sejumlah tokoh. Bahkan pengamat politik Eep Saefulloh Fatah beserta istrinya, dan selebriti Rina Nose, jauh-jauh datang ke Bali dari Jakarta menengok Jerinx.
Solidaritas juga ditunjukkan dengan cara berbagi pangan gratis. Bukan saja di Bali tapi juga di sejumlah daerah seperti Bandung, Rembang, Blitar, Banyuwangi, Samarinda, dsb.
Faktor Dukungan
Dalam pandangan saya ada beberapa faktor mengapa dukungan partisipatif begitu kuat terhadap Jerinx. Partisipatif yang saya maksudkan adalah bahwa simpati itu muncul dari kesadaran dari dalam dan bersifat spontan, tanpa ada mobilisasi dengan imbalan-imbalan tertentu seperti halnya pada hajatan-hajatan politik.
Pertama, adalah faktor musik. Dalam sebuah wawancara, Jerinx pernah mengungkapkan bahwa musik adalah media yang paling cair sebagai media komunikasi. Jadi lewat musik Jerinx dan grup band-nya SID, sudah menjalin komunikasi sangat intens dengan para penggemarnya selama puluhan tahun. Jalinan komunikasi tersebut makin kuat dengan tema-tema sosial dan perjuangan dalam syair lagu-lagu mereka sehingga meninggalkan kesan yang kuat dalam alam bawah sadar para penggemarnya yang merasa merasa terwakilli lewat syair-syair lagu SID.
Kedua, Jerinx banyak aktif dalam kegiatan sosial bersifat lingkungan maupun kemanusian; mengajak penggemarnya bersih-bersih pantai dan selalu bersedia tampil dalam acara penggalangan dana untuk korban bencana alam, tanpa dibayar.
Ketiga, Jerinx bersedia memberikan wadah kepada mereka yang berkecimpung dibidang musik dengan menyediakan bar miliknya (Twice Bar).
Keempat, kegiatan bagi-bagi pangan gratis selama masa pandemi yang diprakarsainya yang berlangsung hingga sekarang. Nilai penting dari kegiatan ini adalah bagaimana, di masa sulit orang-orang diajarkan untuk saling bahu membahu membantu satu sama lainnya dengan mengandalkan kekuatan sendiri.
Kelima, lewat unggahan-unggahan pada akun medsosnya Jerinx banyak mengajarkan perspektif berbeda, dari apa yang disajikan media massa kebanyakan. Banyak yang merasa suara mereka terwakili oleh Jerinx. Jerinx juga mengajak orang untuk mengembangkan potensinya secara penuh, serta terus berusaha dan berjuang untuk mengembangkannya.
Sepertinya pengaruh pemikiran filsuf Friedrich Nietzsche sangat kuat pada pribadi Jerinx.
Pasca penahanan Jerinx, salah seorang teman saya bahkan sempat berujar, bahwa dia sudah tidak bergairah membuka IG lagi karena sudah tidak bisa melihat unggahan-unggahan Jerinx. Bahkan dia menyatakan kekagetannya ketika akun Twitter-nya Jerinx di-banned jauh sebelumnya. Bisa jadi teman saya ini mewakili sekian banyak orang yang merasa terinspirasi dan secara tidak langsung merasa terhubung secara emosi dengan Jerinx.
Keenam, orang semakin respek atas segala sesuatu yang dilakukan Jerinx karena sejauh ini orang memang tidak melihat ada agenda di balik semua itu, misalnya untuk nyaleg maupun tujuan politis lainnya. Dan atas segala apa yang dilakukannya bersifat totalitas, tanpa pertimbangan-pertimbangan jangka pendek atau bermain aman.
Ada semacam prinsip kepahlawanan di sini, yakni suatu kepedulian atau keyakinan yang luar biasa, yang tidak tergoyahkan, biar apapun yang terjadi. Prinsip ini sepertinya sejalan dengan konsep Formulasi Kemanusian dari filsuf Immanuel Kant, yakni orang harus bertindak tanpa pamrih atau mengharapkan balasan, karena kalau tidak apa yang dilakukan yang bersangkutan hanya sebagai kedok. Intinya memandang kemanusian bukan sekedar sebuah sarana, tapi selalu sebagai tujuan yang berdiri sendiri. Prinsip ini sangat kuat pada diri pribadi Jerinx.
Terakhir saya melihat ada semacam ‘simbul perlawanan’ yang menginspirasi atas apa yang dilakukan Jerinx. Misalnya program bagi-bagi pangan gratis menggambarkan hal itu; bagaimana di tengah situasi sulit, sesama rakyat kecil masih bisa saling membantu. [b]
situs mahjong
Comments 1