
Jika bukan karena program Melali dari BaleBengong pada tanggal 12 April 2025, saya tidak akan tahu nama Kota Tabanan telah berubah menjadi Kota Singasana. Kabupaten Tabanan ini kerap dilintasi ketika dari Kota Denpasar menuju Gilimanuk maupun menuju Kota Denpasar dari Pelabuhan Gilimanuk. Tempat singgah biasanya hanya sekitar Kediri, jarang masuk ke Kota Singasana.
Melali ke Kota Singasana kali ini dimulai dari pagi hari pukul 08.00 WITA. Cuaca mendukung perjalanan kami. Perjalanan dari Kota Denpasar ke Kota Singasana tidak begitu jauh, hanya memakan waktu 30 menit.
Melali dimulai dengan mengunjungi Museum Subak. Sayangnya, kami hanya bisa melihat sekilas dari palang masuk karena museum sedang ditutup. Dilansir dari laman resmi Pemerintah Provinsi Bali, Museum Subak adalah museum yang menyajikan informasi terkait sistem irigasi (pengairan) sawah tradisional Bali yang disebut Subak. Pasca acara World Water Forum (WWF) di Bali, dilakukan penataan Museum Subak. Namun, setelah setahun ditata, Museum Subak tak kunjung dibuka untuk umum.
Menyingkirkan sejenak rasa penasaran terhadap Museum Subak, kami langsung menuju Gedung Kesenian I Ketut Marya atau yang biasa disebut Gedung Marya. Nama I Ketut Marya sendiri dikenal karena banyak menciptakan tarian Bali yang populer, seperti Oleg Tambulilingan, Kebyar Trompong, dan Kebyar Duduk.
Sejujurnya sebelum menengok Gedung Marya secara langsung, saya mengira gedung tersebut berisi arsip-arsip atau peninggalan I Ketut Marya. Ternyata hanya gedung kosong yang sering digunakan untuk acara masyarakat Kota Singasana, mulai dari acara pertemuan hingga acara santai seperti senam. Gedung ini juga kerap digunakan sebagai tempat beristirahat para driver, sales, dan menjadi tempat latihan menari anak muda Tabanan.
Gedung kesenian tersebut berdiri di antara Puri Agung Singasana dan Taman Bung Karno. Gedung tersebut berdiri megah, setiap lapisan temboknya terdapat mangkok kecil berwarna putih. Satu-satunya yang menunjukkan keberadaan I Ketut Marya di gedung tersebut hanya patung penari Kebyar Duduk yang berada di sebelah timur.
Di sebelah selatan Gedung Marya terdapat Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali. Sekar Pradnyandari yang hari itu menjadi pemandu perjalanan menjelaskan bahwa dulunya area tersebut merupakan tempat berdirinya Puri Tabanan. Ketika Belanda masuk, bangunan Puri digusur dan tempat itu dijadikan kantor pemerintahan Belanda di Tabanan. Sayangnya, tidak ada peninggalan yang tersisa mengenai keberadaan Puri Tabanan di sana.

Tidak jauh dari Gedung Marya, kami menuju Pasar Tradisional Tabanan. Tata ruang pasarnya masih tradisional, belum diubah menjadi bangunan bertingkat seperti pasar di kota-kota lain. Meski hari menuju siang, aktivitas di pasar masih tetap hidup dan ramai, transaksi jual beli masih berlangsung.
Berkunjung ke Gedung Marya saja tidak cukup untuk mengenal sosok I Ketut Marya. Kami pun berjalan ke arah utara dari Gedung Marya untuk mengunjungi kediaman keluarga I Ketut Marya. Siang itu kami disambut oleh cucu Marya, yaitu I Nyoman Sudarma. Sudarma memperlihatkan kami jejak-jejak peninggalan Marya, yaitu buku biografi tentang Marya, album foto perjalanan Marya ketika menari, dan majalah yang membahas tentang Marya.

Marya bisa dikatakan ‘seniman by nature’ karena bukan seseorang yang secara khusus mengenyam pendidikan seni. Ketika tahun 1920-an, gamelan gong kebyar baru dimulai di Singaraja. Sudarma bercerita saat itu Marya berprofesi sebagai penari yang kerap keliling Bali. “Karena dianggap pintar (menari), disuruhlah Mario (oleh pemimpin Gong Kebyar), bisa nggak nariin mengikuti Gong Kebyar ini. Spontanitas Mario nari,” ungkap Sudarma menceritakan awal mula tari Kebyar Duduk diciptakan dengan liukan badan Marya.
Tari Kebyar Duduk sendiri merupakan salah satu tari Bali yang susah dipelajari. Pasalnya, tarian ini bukan hanya mengandalkan gerakan tangan, tetapi juga membutuhkan kekuatan kaki. Dalam perjalanannya, Marya tidak hanya menari keliling Bali, ia juga sering menari di luar negeri dan di wilayah lain Indonesia. Bahkan orang-orang terkenal dari luar negeri pun belajar menari dengan Marya, salah satunya adalah Ketut Tantri.
Sudarma juga menjelaskan karakter Marya sangat disukai orang-orang di sekitarnya karena lucu dan supel. Ia juga kerap menghibur orang-orang di pasar dengan tariannya. Mendengarkan cerita Sudarma sembari memperhatikan foto Marya bisa membuat kami membayangkan karakter Marya yang lucu. Selain itu, gaya Marya di foto juga tampak nyentrik, terlihat dari fotonya yang menggunakan atasan kemeja berdasi dengan bawahan kain.
Puas mendengar kisah Marya dari cucunya, kami pun menempuh perjalanan kembali menuju Puri Kaleran yang berlokasi di belakang rumah Marya. Kami hanya memandang Puri Kaleran dari halaman luar karena Puri Kaleran berkaitan erat dengan perjalanan Marya. Dalam karirnya sebagai penari, Marya kerap menari dan tinggal di Puri Kaleran, bisa dikatakan ia adalah kesayangan Puri Kaleran pada masa itu.

Lelah berjalan dan perut sudah keroncongan, kami pun menuju Warung Asri Jambe untuk menikmati lawar klungah khas Tabanan. Lawar klungah berwarna putih dengan bahan dasar kelapa yang masih sangat muda dan batok kelapa yang masih lunak. Batok kelapa dicincang dan dicampur dengan bumbu lawar. Lawar ini cocok untuk vegetarian karena tidak menggunakan campuran daging.
Kami memesan nasi lauk ayam seharga Rp22.000. Dalam satu porsi sudah terdapat lawar klungah, sayur urab, sate, kerupuk, ayam, dan kuah ayam. Ada juga pilihan menu vegetarian dengan harga Rp10.000. Ketika melihat menu, ada satu pilihan minuman yang menarik perhatian, yaitu es laklak.
Awalnya kami mengira yang digunakan adalah laklak hijau, tetapi ternyata yang disajikan adalah laklak putih. Es laklak ternyata hanya es campur ditambah laklak. Meski begitu, rasanya tetap enak dan menyegarkan. Namun, saya merekomendasikan es ini untuk dibagi saja dengan teman-teman karena porsinya banyak.
Setelah menikmati kuliner khas Tabanan, kami menghilangkan rasa kantuk dengan menikmati kopi Aboe Thalib di Jl. Gajah Mada. Kedai kopi ini ada dua di Tabanan, tetapi kami mengunjungi yang di Kota Singasana. Kedai Aboe Thalib sudah berdiri sejak 1940 dan kerap menjadi tempat bersantai para saudagar pada masanya.
Kedai kopi ini tidak pernah sepi, ada saja yang keluar masuk. Bukan hanya ramai anak muda, bahkan orang tua pun ramai ngopi di sana. Harga secangkir kopi sangat murah, kopi khasnya adalah kopi saring dengan harga Rp6.000 untuk kopi hangat, sedangkan Rp8.000 untuk yang dingin. Selain kopi saring, Aboe Thalib juga menyajikan kopi susu, minuman kunyit, jahe, teh, dan lainnya. Di dekat kasir juga ada snack, kue, keripik, dan gorengan.
Biji kopi yang digunakan di Aboe Thalib adalah kopi robusta asli Tabanan. Berbeda dengan kedai kopi lainnya yang menggunakan arabica. Aboe Thalib memiliki bangunan tiga lantai. Sayangnya, tidak ada ruangan khusus untuk yang tidak merokok, sehingga duduk di mana pun akan tetap terkena asap rokok.
Di kedai tersebut kami bertemu dengan warga lokal Tabanan, Made Argawa, seorang mantan jurnalis. Argawa bercerita banyak tentang permasalahan di Kota Singasana. Ia menjelaskan tata ruang Kota Singasana tidak banyak berubah sejak zaman kolonial. Hal ini juga yang menyebabkan tidak ada lahan khusus parkir di Kota Singasana, sehingga setengah badan jalan di berbagai wilayah kerap digunakan sebagai tempat parkir. Argawa juga bercerita kebanyakan anak muda di ibukota kabupaten tersebut memilih bekerja di Denpasar atau Badung karena lokasinya dekat.

Meski merasa perut sudah penuh, kami tetap menuju es waneng, mencicipi kuliner legendaris di Kota Singasana. Harganya murah, hanya Rp2.000 per gelas. Ada pula roti seharga Rp1.000. Es waneng adalah es kopyor yang berbahan utama santan dan kacang hijau. Rasanya lebih nikmat ketika dicocol dengan roti.
Setelah puas mencicipi berbagai kuliner, kami pindah menyisiri Pasar Kodok. Pasar Kodok merupakan sentra penjualan pakaian bekas terbesar di Bali dan perintis sejak 2001. Jauh sebelum tren thrifting melejit, Pasar Kodok sudah ramai dikunjungi masyarakat, sudah seperti kampung khusus dan kendaraan roda empat dan dua berdesakan mengelilingi pasar. Bukan hanya pakaian, pasar ini juga menjual selimut, sepatu, selendang, dan topi.

Ada banyak blok di pasar ini. Setelah pasar sejenis tersebar di desa-desa, pasar ini lebih sepi, tak ada kenaraan menumpuk. Sayangnya, ketika kami berkunjung ke sana banyak pedagang yang masih tutup karena masih mudik. Pasar Kodok buka setiap hari dari jam 11.00 WITA hingga 17.00 WITA.
Saya sempat berbincang dengan pedagang di Pasar Kodok. Menurut penuturannya, saat ini pakaian bekas naik harga karena pajak di imigrasi yang juga naik. Satu karung besar berisi pakaian dibeli dengan harga Rp400 juta. Harga pakaian di Pasar Kodok mulai dari Rp35.000 untuk kemeja dan kaos, sedangkan bawahan rok dan celana panjang dimulai dengan harga Rp65.000.
Memilih pakaian di Pasar Kodok mesti teliti agar menemukan barang yang berkualitas dengan brand besar. Waktu satu jam tidak cukup untuk menyusuri Pasar Kodok, perlu waktu berjam-jam untuk mendapatkan ‘harta karun’ di pasar tersebut.
Perjalanan Melali ke Kota Singasana hari itu kami akhiri di Pasar Kodok. Tepat pukul 14.30 WITA kami kembali ke Kota Denpasar. Melali terakhir akan berlabuh ke ibukota Kabupaten Klungkung, yaitu Kota Semarapura. Jangan lupa daftar ya!
tokohpmurah.com vanujacoffee.com sangkarbet sangkarbet chrishondrosfilm.com sangkarbet