
“Bisa jadi, pekerja itu bekerja 8 jam, tapi dia tidak bisa beli apa yang dia bikin,” ucap penulis artikel A Day in My Life, 140.000 untuk Segelas Keringat Pekerja Harian.
Penulis: Nunuk
Ida Ayu Gde Pradnyawidari Dharmika dan Fatima Gita Elhasni memulai perjalanan menulis mereka dengan merefleksi banyak hal. Mulai dari keresahan melihat cita-cita anak muda Bali yang mayoritas adalah menjadi pekerja pariwisata. Harga makanan di restoran daerah pariwisata yang mahal. Bertemu dan berdiskusi dengan pekerja harian atau daily worker tentang upah mereka dan statusnya. Sampai karena alasan mereka adalah anak muda yang juga seorang pekerja.
Keduanya membahas semuanya melalui dua rangkaian siaran langsung di Instagram @Balebengong, media yang juga menerbitkan tulisan mereka berjudul A Day in My Life, 140.000 untuk Segelas Keringat Pekerja Harian. Tulisan ini adalah hasil liputan mendalam Anugerah Jurnalisme Warga (AJW) 2025 dengan tema “Anak Muda Bicara Kota-kota di Bali”. Keduanya merupakan tim yang meliput di daerah Mangupura, Badung, salah satu wilayah yang menjadi pusat pariwisata di Bali. Kuta, Nusa Dua, Jimbaran, dan Uluwatu, merupakan tempat-tempat yang menjadi daya tarik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Keduanya membuka diskusi di Instagram dengan beberapa pertanyaan kritis. Pertama, adakah masa depan untuk anak muda di Bali untuk berkarir di dunia pariwisata? Apa saja tantangan yang dihadapi anak-anak muda di Bali dalam dunia pariwisata khususnya bagi pekerja harian? Apa saja sebenarnya hak-hak pekerja khususnya pekerja harian?
Narasumber pertama yang mereka wawancara adalah anak-anak jalanan yang juga komunitas yang biasa mereka ajak belajar. Mayoritas mengatakan cita-cita mereka adalah menjadi pekerja di sektor pariwisata, pelayan restoran, tukang tato, tukang pijat, karyawan hotel, driver untuk bule-bule dan lain-lain yang berhubungan dengan penopang industri pariwisata. Mendengar jawaban anak-anak jalanan tersebut, Pradnyawidari kemudian lebih tertarik lagi untuk melihat lebih dalam bagaimana dan seberapa menjanjikan pekerjaan ini sehingga begitu banyak anak muda yang tertarik bekerja di dunia pariwisata.
“Sebagai seorang yang tidak bekerja di dunia pariwisata, saya penasaran untuk cari tau soal itu,” terang Pradnyawidari di live Instagram pada Rabu, 18 Juni 2025 lalu.
Pradnyawidari melihat ragamnya pekerja harian ini menjadi cerita tersendiri. Misalnya ada yang termotivasi kerja di industri priwisata karena melihat salah satu keluarganya sukses selama bekerja di industri pariwisata. Pulang ke Bali dan membangun rumah, terlihat sukses. Merefleksi hal itu Pradnyawidari mengatakan bahwa ternyata keputusan bekerja di dunia ini tidak semata-mata kemauan dari diri sendiri saja, tetapi ada faktor lain. Misalnya pengalaman-pengalaman dari orang terdekat, orang tua, keluarga lainnya, senior, yang terlihat ‘sukses’ di industri pariwisata, sehingga bisa mendobrak ekonomi keluarga.
Hal menarik lain yang mereka temui adalah soal ada anak muda yang tetap memilih jurusan pariwisata di tengah Covid-19 lalu. Anak muda tersebut tetap optimis dengan masa depan pariwisata, meskipun pada saat itu Indonesia sedang dilanda Covid-19 dan pariwisata lumpuh total. Temuan itu semakin membuat keduanya penasaran dengan dunia satu ini.
Perjalanan merefleksi hal itu disambut dengan aksi 300 pekerja mandiri di Pusat Pemerintahan (Puspem) Badung yang dilakukan oleh Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) regional Bali. Keduanya kemudian mewawancarai beberapa pekerja yang ikut aksi dan mendapati kenyataan pahit lain dibalik kata ‘sukses’ dunia pariwisata ini.
Badung, salah satu daerah yang kaya, hotelnya banyak, pembangunanya masif kata Pradnyawidari, ternyata banyak pekerjanya yang mengalami ketidakadilan. Tidak diberikan jaminan kesehatan, upah tidak layak, bahkan tidak diberikan kejelasan soal status pekerjanya meski sudah bertahun-tahun bekerja.
“Sebagai seorang yang hanya melihat dari luar, kaget ketika tahu kalau bayaran harian mereka dibawah Rp.100.000,” ungkap Fatima.
Mendengar situasi pekerja harian ini, keduanya kemudian mewawancarai salah seorang dosen yang juga merupakan mantan pekerja di industri pariwisata selama bertahun-tahun sebelum akhirnya menjadi dosen. Tri Mandala menjadi narasumber kunci dalam liputan mereka. Ia merupakan pengajar di Institut Pariwisata Internasional Bali.
Keduanya kemudian kembali berdiskusi di live Instagram terkait bagaimana peran institut pendidikan melihat pekerja harian di industri pariwisata. Khususnya situasi anak-anak muda yang masih berstatus mahasiswa yang kemudian sudah bekerja sebagai pekerja harian dan anak-anak muda fresh graduate yang juga banyak bekerja sebagai pekerja harian.
Menurut Tri Mandala, kampus sudah melakukan upaya mitigasi, seperti mengecek tempat kerja mahasiswa-mahasiswanya, apa saja yang akan didapatkan oleh calon pekerja harian ini, serta hak-hak mereka ketika menjadi pekerja harian. Bahkan kampus juga menjadi ruang aman kalau ada laporan pelecehan seksual di tempat kerja. Namun lagi-lagi menurut Tri Mandala, setiap perusahaan memiliki manajemen yang berbeda dalam memperlakukan pekerjanya.
Meskipun begitu, menurut Tri Mandala masih banyak juga pekerja yang tidak memahami hak-hak mereka, tidak membaca kontrak ketika diberikan, juga tidak mempertanyakan status mereka ketika dirasa sudah lama bekerja dengan status pekerja harian di sebuah perusahaan.
“Isu soal anak muda ini penting untuk dibahas karena apakah anak muda ini sudah paham dengan haknya, hak yang layak, statusnya kerja, berarti ada kontrak yang jelas, hak-haknya apa, kalau kita tidak konsen disitu, bisa jadi seharusnya hak yang kita dapatkan kita tidak dapatkan. Ketika hak itu tidak dipenuhi berarti akan terjadi eksploitasi,” sambung Fatima ketika Tri Mandala menjelaskan soal tantangan pekerja harian.
Kalau merujuk pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan perubahannya melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law serta turunannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021, menjelaskan soal status pekerja harian hingga menjadi pekerja tetap dalam sebuah perusahaan.
Definisi Pekerja Harian adalah pekerja yang bekerja tidak tetap, hanya apabila diperlukan oleh pemberi kerja, biasanya untuk pekerjaan harian atau tidak terus-menerus. Syaratnya, bekerja tidak lebih dari 21 hari dalam satu bulan bekerja dan apabila bekerja secara terus-menerus lebih dari 21 hari selama 3 bulan berturut-turut, maka statusnya wajib diubah menjadi pekerja tetap dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Ini diatur dalam pasal 10 dan pasal 11.
Lalu, definisi Pekerja Kontrak dalam aturan ini adalah pekerja yang dipekerjakan untuk pekerjaan tertentu, sifatnya sementara atau musiman berdasarkan waktu atau penyelesaian suatu pekerjaan. Syaratnya, bekerja maksimal selama 5 tahun termasuk pembaharuan dan perpanjangan kontrak. Jika melebihi jangka waktu atau jenis pekerjaan tidak sesuai, maka status pekerja otomatis menjadi PKWTT. Catatan lain, pekerja kontrak tidak boleh diberi masa percobaan. Itu hanya berlaku untuk pekerja tetap.
Jika perusahaan melanggar aturan tentang status dan hubungan kerja, seperti memperlakukan pekerja harian atau kontrak terus menerus tanpa mengubah statusnya menjadi pekerja tetap atau PKWTT. Maka sebagaimana aturan ini, perusahaan akan mendapat sanksi administratif. Salah satunya adalah pembekuan kegiatan usaha.
Apalagi menurut Fatima, pola-pola relasi pekerja yang eksploitatif itu sering berulang. Waktu bekerja biasanya dimulai dari jam 6 pagi sampai jam 12 malam, tetapi tidak ada uang lembur dan hanya dibayar uang makan. Hal ini kemudian menurut mereka penting untuk pekerja berserikat agar mereka bisa teredukasi dan paham mengenai hak-hak mereka sebagai seorang pekerja harian.
Pradnyawidari menyambung dengan mengatakan kalau bukan kita yang berani mempertanyakan hak kita sebagai pekerja, siapa lagi. “Baik dari pihak perusahaan maupun dari kita juga harus mengupayakan yang terbaik,” jelas Pradnyawidari.
Di akhir perbincangan, apresiasi diberikan oleh Tri Mandala terhadap tulisan keduanya. Bagus katanya. Bagus karena isinya yang sangat update dengan situasi saat ini. Bisa jadi bacaan bagi pekerja juga. Ia berharap dan berpesan kepada anak-anak muda yang bekerja sebagai pekerja harian untuk tetap menerapkan prinsip kejujuran ketika bekerja.
“Sebagai seorang yang pernah lama menjadi pekerja di sektor pariwisata, bahwa apapun yang ingin kalian dapatkan itu memang harus ada prosesnya, seberapa jagonya kalian kalau attitude kalian nol, kalian bukan siapa-siapa,” ujar Tri Mandala.
Tulisan A Day in My Life, 140.000 untuk Segelas Keringat Pekerja Harian dapat diakses di sini.
Siaran langsung diskusi Tim Mangupura dapat diakses di sini.
sangkarbet kampungbet






![[Matan Ai] Bali dan Pembusukan Pembangunan](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2025/01/KOLOM-MATAN-AI-oleh-I-Ngurah-Suryawan-by-Gus-Dark1-75x75.jpg)



