
“Masyarakat dan komunitas sering kali termarginalkan atas abstraksi ruang yang terjadi. Ruang sejauh ini haknya dikuasai oleh pemerintah dan juga swasta yang memiliki kepentingan lebih. Padahal, hak atas ruang juga milik masyarakat,” terang Wahyu mengutip buku The Production of Space (1974).
Dilabeli sebagai kota seni, Kota Gianyar ternyata tidak memiliki banyak ruang kreatif di dalamnya. Begitu banyak seniman yang berasal dari Gianyar, banyak pula sanggar seni yang basisnya di Gianyar, tapi bagaimana dengan ruang kreatif di Gianyar?
Wahyu Mahaputra dan Dio Oktariadi, penerima hibah liputan Anugerah Jurnalisme Warga asal Gianyar menuangkan aspirasinya tentang Anak Muda Bicara Kota-kota di Bali dalam sebuah tulisan berjudul Kota Seni Gianyar dan Minimnya Ruang Kolaborasi Kreatif. Merespons tulisan tersebut, BaleBengong mengadakan diskusi AJW pada 7 Juni 2025 di Zoom Meeting dan disiarkan secara langsung di kanal Youtube BaleBengong. Diskusi ini terbuka untuk umum dan dihadiri oleh beberapa pemangku kepentingan, yaitu I Wayan Sila dari Dinas Kebudayaan Kabupaten Gianyar dan I Komang Adiartha dari Kulidan Kitchen & Space.
Topik ini diangkat oleh Wahyu dan Dio karena adanya anggapan bahwa Pemerintah Kabupaten Gianyar seperti lelakut di sawah. “Dia diam melihat padinya menguning di sekitar sawahnya dan dicicipi oleh burung-burung,” ungkap Wahyu dalam pemaparannya. Sebagaimana yang dijelaskan Wahyu, pemerintah hanya diam melihat kekosongan ruang kolaborasi kreatif di Gianyar.
Tulisan minimnya ruang kolaborasi kreatif juga berangkat dari keresahan pribadi Wahyu, yaitu keresahan tidak ada ruang kreatif di masa depan untuk seni teater. Namun, setelah berbincang dengan beberapa pegiat seni, Wahyu menyadari bahwa ternyata bukan hanya ruang teater saja yang kurang. “Ternyata dari lingkup seni modern sendiri, dalam hal ini seni rupa, seni teater, musik itu yang ada sejauh ini adalah ruang-ruang yang bersifat eksklusif dan tidak mudah diakses oleh anak-anak muda,” ujar Wahyu.
Dalam temuan liputannya, julukan Gianyar sebagai ‘gumi seni’ dimulai dari kelompok seni Pita Maha dari tahun 1936 yang juga memulai aktivitas pariwisata di Gianyar. Dilanjutkan dengan program Bali siring atau Balinisasi oleh kolonial Belanda, sehingga Bali mengakar kuat dengan pariwisatanya.
Geliat seni yang semakin mengakar ini berpotensi menghilang jika pemerintah abai dengan kurangnya ruang seni yang ditujukan untuk publik. Wahyu dan Dio menemukan adanya ketimpangan antara jumlah ruang seni inisiatif oleh individu dan ketersediaan ruang publik untuk berkesenian. Ruang-ruang seni oleh individu atau swasta ada begitu banyak, sedangkan ruang oleh pemerintah hanya Balai Budaya Gianyar.
“Bukan berarti kita menuntut ruang itu harus ada dengan segera, bukan berarti kita menuntut ruang itu harus dibangun dengan megah, tapi dalam artian ada atau tidaknya itu yang masih kami pertanyakan,” ujar Wahyu. Ia menambahkan adanya ruang kreatif ini penting karena ketika ada ruang, masyarakat akan menggunakan ruang tersebut. Selain itu, antara kurator dan masyarakat akan saling beririsan, seni tidak menjadi sesuatu yang eksklusif, melainkan sesuatu yang inklusif.
Sementara, satu-satunya ruang seni kolaboratif di Gianyar, yaitu Balai Budaya Gianyar, tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk penampilan seni. Misalnya, tidak ada ruang ganti pemain, sehingga harus menyewa ruang lain di luar Bali Budaya. Selain itu, juga tidak tersedia monitor, lampu sorot, dan pengeras suara.
Sebagai salah satu pemilik ruang seni di Gianyar, I Komang Adiartha menjelaskan bahwa ruang atau media untuk seni di Gianyar memang perlu dikembangkan. Ia menyadari ruang seni milik pemerintah masih sangat sedikit, bahkan ada beberapa yang kosong. “Misalnya ada Museum Subak itu kan ada ruang museum di sana, tetapi akhirnya tidak ada karya di sana,” jelas Adiartha.
Adiartha juga mengkritik keberjalanan program-program pemerintah terkait seni. Selain itu, penting adanya lembaga kajian dan pengarsipan di bidang seni untuk mencatat geliat seni di Gianyar.
Lain halnya dengan pendapat Dinas Kebudayaan yang saat itu diwakili oleh I Wayan Sila. Ia menilai pernyataan pemanfaatan Balai Budaya yang sulit itu keliru. Sila menjelaskan bahwa siapa pun bisa menggunakan Balai Budaya dengan syarat bersurat ke pihak yang berwenang. “Bahkan pemerintah dalam pembangunan ruang untuk anak-anak muda, sekarang sudah dalam tahap pembebasan lahan lebih dari 20 hektare untuk membangun Pusat Kebudayaan Gianyar atau Art Center-nya Gianyar,” jelas Sila.
Menurutnya, pemerintah sudah melakukan banyak hal untuk anak muda dalam bidang seni, seperti bantuan sebesar Rp20 juta untuk sekaa teruna, ada pula rencana pameran workshop dan pementasan seni yang diwacanakan akhir tahun nanti. Selain itu, Sila juga mengoreksi bahwa geliat seni di Gianyar bukan berawal dari Pita Maha, melainkan dari Pekak Lembak dan Walter Spies. “Di mana tarian Ramayana yang pentas itu dikolaborasi dengan suara manusia seperti personifikasi tarian kera atau bunyi-bunyi kera yang sekarang kita nikmati,” ungkap Sila.
Saat ini, Dinas Kebudayaan Kabupaten Gianyar mencatat ada 300 komunitas seni yang sudah tercatat oleh pemerintah, di antaranya jumlah seni modern lebih banyak dibandingkan seni tradisional.
Merespons pernyataan Sila tentang banyaknya ruang yang sudah disediakan oleh pemerintah, Susanta Dwitanaya dari Gurat Institute mempertanyakan kondisi ruang publik di depan Pura Samuan Tiga, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh yang kondisinya seperti tidak terawat. Sila tidak secara langsung menyetujui bahwa ruang tersebut tidak terawat. Ia hanya menyebutkan bahwa ruang di depan Pura Samuan Tiga tersebut dikelola oleh Dinas Pariwisata dan mekanisme bisnisnya tidak seperti dulu lagi. Dulunya, tempat itu menjadi pementasan tarian seperti yang ada di Desa Batubulan, tetapi sekarang tidak ada lagi pementasan rutin.
Susanta sendiri melihat sebenarnya Gianyar punya potensi untuk mengembangkan ruang seni, seperti yang ada di depan Pura Samuan Tiga tersebut. Ada juga beberapa ruang kosong yang bisa dimanfaatkan di sana, seperti di Goa Gajah.
Terkait perkembangan ekosistem seni, Susanta menjelaskan kenapa geliat seni di Gianyar dimulai dari Pita Maha. “Karena memang secara pengertian bagaimana seni itu dibranding, bagaimana seni termodifikasi, kemudian menjadi dikenal lebih luas dan bukan hanya di Gianyar,” ungkap Susanta. Secara sosial historis, pada momen Pita Maha seni di Gianyar mulai dikenal luas.
Terkait dengan ruang seni di Gianyar, Susanta menjelaskan bahwa tidak cukup dengan adanya ruang fisik. “Tapi bagaimana ruang itu dihidupi oleh pelakunya dan tentu saja ada peran-peran pemerintah di situ lewat merancang rangkaian programnya dan bisa sebagai sebuah kolaboratif,” terangnya.
Ruang secara fisik memang ada, tetapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah ruang tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan para pelaku seni hari ini. Ruang seni ini juga bisa dikolaborasikan menjadi tempat kumpul anak muda, bukan hanya ruang yang bisa didatangi dengan surat menyurat secara resmi.
Selain itu, merespons adanya 300 organisasi yang terdaftar di Pemerintah Kabupaten Gianyar, Susanta menjelaskan bahwa perlu ada pendataan lebih lanjut. “Karena memang seniman atau data itu bukan berhenti sebagai data statistik yang harus ada, tapi bagaimana kondisinya, kemudian itu dianalisis,” ujar Susanta. Melalui pendataan dan analisis tersebut dapat dipetakan kondisi pelaku seni Gianyar.
Hubungan antara ruang dan seni nyatanya bukan sebatas ruang fisik. Fenomena yang terjadi di Gianyar adalah ruang fisik sudah ada, tetapi tidak sesuai dengan kebutuhan para pelaku seni, lantas menjadi ruang yang tidak terawat. Geliat seni di Gianyar membutuhkan respons yang serius, baik dari pemerintah maupun pihak berkepentingan, agar label ‘gumi seni’ bukan sekadar nama.
bento4d situs togel hongkongpools sangkarbet slot gacor