Tulisan oleh I Putu Wahyu Mahaputra. Video oleh I Made Dio Oktariadi — Gianyar

“Nak uli Gianyar, art gen bon ne.”
Orang dari Gianyar, dari baunya saja sudah seni. Sekiranya itulah celetukan yang sering kali dilontarkan kepada orang-orang Gianyar jika sedang bertandang ke daerah lain. Meskipun tidak semua orang Gianyar adalah seniman. Entah dari mana asalnya julukan gumi seni, gudang seni, kota seni¸ dan julukan lain, asal berisikan kata “seni” rasanya pas dipasangkan dengan Kabupaten Gianyar.
Gianyar adalah sebuah kabupaten yang terletak di tengah Pulau Bali yang dingin di ujung utara, dan mulai sedikit urban di bagian tengah. Dengan luas 368 Km2, Kabupaten Gianyar terbagi atas tujuh kecamatan, yakni Blahbatuh, Sukawati, Gianyar, Tegallalang, Tampaksiring, Ubud, dan Payangan. Masing-masing kecamatan tersebut pun tak terlepas dari kata “seni” di bidangnya masing-masing. Misalnya, Blahbatuh terkenal dengan para perajin gamelan dan keris. Sukawati, dengan barong dan perak. Ubud sebagai avantgarde kesenian modern di Gianyar, dan kecamatan lainnya yang juga memiliki geliat keseniannya masing-masing. Barangkali, dengan berbagai potensi seni dan industri seni yang begitu progresif menjadikan Gianyar sebagai penyandang julukan tersebut. Namun, sebagai penyandang status “Gumi Seni” tersebut, Gianyar masih menyimpan paradoks antara seni dan ruang, ruang kreatif. Jika arja, wayang, topeng sudah memiliki ruang pentas di pura atau pada saat upacara keagamaan. Lantas, di manakah anak-anak bisa pentas teater modern? Atau sekadar bertemu dan berdiskusi atas karya mereka.
Tulisan ini akan berusaha menyikap tabir geliat seni modern di Gianyar, kondisi ruang kreatif yang ada di Gianyar, dan pertanyaan seputar pentingkah ruang itu ada, apa, dan bagaimana?
Apakah pemerintah akan seperti lelakut yang diam melihat padi-padinya yang menguning dicicipi burung-burung dalam melihat kekosongan ruang kolaborasi kreatif di “Gumi Seni” ini?
Ruang itu Apa?
Mengenai ruang, ada sebuah pernyataan penting dari Henry Lefebvre, seorang sosiolog asal Perancis dalam bukunya The Production of Space (1974) yang mengusung pendekatan fenomenologi radikal untuk memahami ruang secara lebih humanis. Buku ini menyoroti bagaimana hak atas ruang, baik milik individu maupun komunitas yang sering terpinggirkan akibat proses abstraksi ruang yang dilakukan oleh kapitalisme dalam berbagai manifestasinya, serta dominasi pengetahuan teknokratis, terutama yang berasal dari negara atau pemerintah.
Dalam pendekatannya, Lefebvre membagi ruang menjadi 3 bentuk atau dikenal sebagai tritunggal ruang, yakni sebagai berikut.
Pertama, praktik ruang. Ruang ini bersifat material dan dihidupi oleh seluruh anggota masyarakat dan terdiri atas dunia luar: modal, informasi, pekerja. Di dalamnya dapat dilakukan aktivitas perceiving, rutinitas, reproduksis relasi sosial.
Kedua, representasi ruang. Bagi Lefebvre, ruang ini adalah ruang para ilmuwan, perencana, teknokrat, dan insinyur sosial. Mereka menciptakan pengetahuan, tanda, kode, ideologi, rencana, dan ruang abstrak seperti bank, pasar, dll.
Ketiga, ruang representasional. Ruang yang direpresentasikan ini adalah ruang yang didominasi (oleh representasi ruang), yang dihidupi secara subjektif. Ruang ini dihuni penghuni dan pengguna yang mengalami ruang secara pasif dan diisi kehidupan sosial, budaya, imaji, simbol, memori. Sementara itu, aktivitas yang terjadi di dalamnya adalah kehidupan dan aktivitas.
Dalam pengertian yang lebih sederhana, ruang adalah sesuatu yang di dalam dirinya sendiri memiliki sifat membentuk. Ia selalu bergerak dan berubah dari waktu ke waktu. Berbagai aspek hadir untuk terlibat dalam proses bagaimana ruang dihadirkan dalam masyarakat.
Untuk melihat kegentingan akan kebutuhan ruang dalam berkesenian, perlu kiranya kita menengok ke belakang, ke embrio geliat seni modern di Gianyar.
Geliat Seni Modern di Gianyar
Perkembangan seni di Gianyar sudah berkembang sejak zaman yang tak tercatat. Terlebih seni tradisi, seakan menari sudah menjadi kewajiban dan mengakar dalam-dalam. Bagai keping koin yang memiliki dua sisi, seni modern juga cukup merebak dan menggeliat di sela-sela seni tradisi yang sudah mengakar kuat, misalnya di kantong-kantong desa seni, seperti Batuan, Sukawati, Tampaksiring, Ubud, dan daerah lainnya. Geliat seni modern di Gianyar yang mulai tercatat pergerakannya dari era perkumpulan Pita Maha, perkumpulan para pelukis Bali yang didirikan pada 29 Januari 1936 oleh Tjokorda Gde Agung sukawati, I Gusti Nyoman Lempad, dan dua orang luar negeri, Walter Spies (Jerman) dan Rudolf Bonnet (Belanda), disusul dengan kehadiran Arie Smith pelukis asal Belanda yang mengembangkan daerah Panestanan tahun 1956, dan Don Antonio Blanco yang begitu masyur namanya.
Kehadiran perkumpulan Pita Maha tahun 1936, tak hanya sebagai wadah berkumpulnya seniman-seniman lukis di Ubud, namun juga sebuah tonggak awal kesenian modern di Gianyar bahkan Bali. Sebut saja Walter Spies, selain menjadi pelukis, ia merupakan pencipta tari kecak (teater) bersama I Wayan Limbak dari Bedulu. Dalam artian luas, Pita Maha tak hanya perkumpulan pelukis, tapi juga sebagai kata pengantar untuk bab-bab kesenian modern di Gianyar.
Selain itu, aktivitas pariwisata yang selama ini diagung-agungkan Bali, justru berkembang dan ditopang oleh aktivitas seni, seni modern. Ditambah dengan adanya wacana Balinisasi atau Baliseering, sebuah upaya orientalis Belanda pada akhir 1920-an dengan asumsi menjaga keutuhan budaya dan tradisi Bali melalui sastra, seni, dan agama.
Dengan rokoknya yang masih menyala, Made Susanta Dwitanaya, pendiri Gurat Institute mengungkapkan bahwa justru aktivitas pariwisata itu ditopang oleh seni rupa.
“Aktivitas tourisme di Gianyar (khususnya Ubud), justru dimulai dari seni rupa,” ujarnya.
Berdasarkan kepingan sejarah tersebut, tampak sedari dulu kesenian modern yang berkembang di Gianyar justru dikantongi oleh asing, dikuatkan oleh orang luar Gianyar, luar Bali, luar negeri.
Syahdan hari ini, perkembangan seni modern di Gianyar mungkin tak sekental tradisi yang sudah adiluhung. Seperti petani duren yang hanya bisa panen setahun sekali, keberadaan seni modern walaupun sedikit, tetapi ada dan tetap diperlukan sebagai alternatif kesenian yang lain.
Seni modern tersebut terdiri atas seni teater, seni rupa, dan seni musik yang cukup bergeliat di Kabupaten Gianyar. Kelompok-kelompok seni teater misalnya, Teater Genta Malini, Jungut Sari Teater, dan Teater Abirama Citta dengan basis di sekolah-sekolah. Hailsun, Bersimbah Darah, Double – U, Beat the Bastards, Ganha Bali, Bona Alit, Bali Musik Etnic (BME) di seni musik. Berikut juga nama-nama di seni rupa, seperti I Kadek Gangga Ari Krisna (j3smoon), Wayan Damar, Dedep0t, dan juga perupa-perupa yang terhimpun dalam Gurat Institute, serta tentunya perupa muda lain yang sering berkarya baik secara pribadi maupun secara kolektif. Keberadaan mereka mengindikasikan bahwa seni modern di Gianyar itu ada dan sedang berkembang.
Dingin memeluk pagi, kami berangkat ke Gianyar sembari keluar dari ruang kuliah di Singaraja, menyambangi salah satu tokoh seni pedalangan yang juga bergerak di bidang teater, dan seni pertunjukan yang lainnya. I Made Sidia, pendiri Sanggar Paripurna, sanggar yang sudah tak asing lagi bagi masyarakat Bali sampai masyarakat internasional. Sebagai pelaku sekaligus pengamat seni, baik tradisi maupun modern, I Made Sidia mengungkapkan hal yang sama, bahwa perkembangan seni modern di Gianyar berjalan meskipun tidak pesat, dibandingkan daerah lain seperti Denpasar, Kuta, Nusa Dua, dan Seminyak.
“Perkembangan Seni Modern di Gianyar ada, tapi tidak sebanyak yang ada di daerah kantong-kantong pariwisata,” ungkap I Made Sidia, pendiri Sanggar Paripurna itu.
Kendati tidak pesat, pria yang baru saja menyelesaikan proyek teater lingkungan dalam ujian penciptaan seni program doktor ISI Bali itu menyatakan bahwa kehadiran seni modern itu perlu, selama seni modern tersebut menopang seni tradisi.

Dalam sebuah sore, kami melanjutkan penggalian informasi perihal geliat seni modern di Gianyar melalui sudut pandang praktisinya langsung. Ada Gung Adnyasuari (Gung Ary) dari Teater Genta Malini, Agus dari Jungut Sari Teater, dan Anggi dari Teater Abirama Citta.
Di depan layar, di dalam sebuah wawancara daring Gung Ary memberi gambaran seputar geliat Teater Genta Malini sejauh ini, yang mana kelompoknya sering pentas sebagai pengisi acara di sekolah, di kegiatan pemerintah, dan beberapa kali keluar kota.
“Pengisi acara di lomba bulan bahasa bali, dan beberapa kali di luar sekolah,” ucapnya dengan lembut.

Kami juga mendapat cerita dari Agus, Jungut Sari Teater. Di antara rindangnya pepohonan di SMAN 1 Sukawati, ada kelompok teater yang berprestasi, berturut-turut Jungut Sari Teater memenangkan perlombaan di bidang drama modern, monolog, operet, pantoret, sampai ajang-ajang nasional seperti FLS2N.
“Beberapa lomba yang pernah kami ikuti, seperti Operet This Week yang lumayan pernah mendapat juara 1, best actor, dan beberapa kategori lainnya. Selanjutnya, FLS2N monolog pernah meraih juara 3 di tahun 2023, juara 2 di tahun 2024, sampai melaju ke nasional. Ada juga, drama modern di Bulan Bahasa Bali, pernah juga mengikuti Festival Seni Bali Jani,” ucapnya sambil menghitung jari, menghitung prestasi.
Begitu pun di sisi seni rupa, seorang street artist yang memiliki nama artist J3smoon alias I Kadek Gangga Ari Krisna yang baru saja menyelesaikan pamerannya di Uma Seminyak, menyatakan bahwa seniman muda khususnya street art dari Gianyar amatlah banyak, namun memang bergaulnya di daerah-daerah urban seperti Denpasar, karena merasa lebih diterima.
“Kebanyakan di Denpasar, tapi justru orang-orang yang di Denpasar itu ya orang-orang Gianyar,” ungkapnya dalam wawancara daring.
Meskipun euforia kesenian modern tidak semeriah seni tradisi, Gianyar seharusnya tidak juga mengenyampingkan keberadaan seni modern ini, dan membiarkannya berbiak sendiri. Jangan sampai, ketika sudah tersohor dan membawa harum nama Gianyar, di sana negara baru hadir untuk mendulang pengakuan.
Anomali Kekosongan Ruang Kreatif di Gianyar
Namun, dalam label “Gumi Seni”, Kabupaten Gianyar tampak masih meninggalkan ironi dalam “seni” itu sendiri. Dalam arti yang lebih luas, berkesenian ialah proses pengekspresian jiwa, ide, gagasan, serta kreativitas, dan untuk mengungkapkannya perlu sebuah media berupa ruang. Ruang tersebut tidak hanya tempat pentas, namun juga tempat penciptaan, tempat bertukar gagasan, maupun mengkritik gagasan itu sendiri. Sehingga dari ruang tersebut akan menciptakan sebuah ekosistem dalam berkesenian, yang selanjutnya akan disebut ruang kreatif.
Mari kita lihat persebaran ruang-ruang semacam itu di Gianyar, melalui peta berikut.
Ruang kreatif yang ada di Gianyar mayoritas dikelola oleh swasta (tanda biru), ruang-ruang tersebut biasanya digunakan oleh seniman muda untuk pameran dari seni rupa, dan pementasan oleh komunitas atau sanggar teater sekolah. Sementara itu, satu-satunya ruang publik yang dikelola oleh pemerintah Kabupaten Gianyar, sampai saat ini yang masih digunakan untuk kegiatan berkesenian adalah Balai Budaya Gianyar (tanda merah) yang terletak di Alun-alun Gianyar.
Sebagai satu-satunya tempat yang ada di Gianyar, Balai Budaya juga tampak sulit dijangkau bagi anak muda. Selain harus melewati birokrasi yang lumayan lama, kelompok atau komunitas seni juga harus siap berebut panggung dengan kegiatan seremonial pemerintah.
Gung Ary, ketua Teater Genta Malini, SMAN 1 Gianyar mengatakan telah menghabiskan puluhan juta untuk melaksanakan satu malam pementasan di Balai Budaya. Tak berhenti sampai disana, bahkan mereka harus menyewa penginapan kecil yang ada tepat di belakang Balai Budaya untuk ruang ganti para penampil.
“Kita harus memutar otak untuk ruang pemainnya, agar tidak dari sekolah mereka berias, akhirnya kami sewa penginapan yang ada di belakang Balai Budaya. Kalau panggung, memang cukup luas untuk pentas drama, tapi ruangan-ruangannya banyak tidak bisa digunakan, akses jalannya juga susah,” ujarnya sambil malu dan takut-takut.
Berbeda dengan Teater Genta Malini yang lebih dekat dengan Balai Budaya, Jungut Sari Teater yang terletak di Kecamatan Sukawati membuat kegiatan yang merespons keterbatasan ruang pentas dengan tajuk “Nyari Panggung”. Kegiatan tersebut merupakan wadah pelatihan dasar teater bagi anggota baru Jungut Sari Teater.
“Nyari panggung ini adalah latihan dasar bagi kelas sepuluh, secara praktik, mereka langsung pentas, dan kebetulan kegiatan ini terakhir diadakan di GOR sekolah,” ucap Agus, ketua Jungut Sari Teater.
Selain birokrasi yang harus mengikuti sistematis kepemerintahan dan sebagai satu-satunya ruang pentas pemerintah di Gianyar, Balai Budaya juga kian hari kian tampak tak terawat: gapura yang dirambati tumbuhan liar, lantai yang copot, toilet yang kerannya macet, serta bagian bawah yang disulap menjadi gedung perkantoran. Selain itu, jika Anda akan menggunakan tempat tersebut untuk pementasan, maka siapkanlah bujet untuk memesan tempat duduk dan lampu tambahan jika diperlukan. Hal yang bertolak belakang dengan ruang-ruang representatif inisiatif yang dikelola oleh swasta, dalam urusan panggung.




Pentingkah Ruang di Era Modern?
Perlahan mega yang mendung membawa gerimis, hari kian siang, kami bertolak ke sebuah kedai kopi sekaligus art space di daerah Guwang, Sukawati untuk bertemu Bapak I Komang Adiartha, pendiri Kulidan Kitchen & Space. Bau tanah selepas hujan yang membasahi rumputan di Kulidan itu, membawa kami dalam sebuah pertanyaan. Apakah ruang fisik masih penting untuk dibuat?

Kulidan Kitchen & Space adalah sebuah ruang kreatif yang didedikasikan untuk seniman muda dalam menyosialisasikan karyanya kepada publik. Ruang yang sudah beroperasi sejak 14 Maret 2017 ini terbentuk secara inisiatif atas dasar sedikitnya ruang untuk seniman muda.
Di antara etalase pameran yang baru saja dikemasi, dan sedikit kerutan di dahi, I Komang Adiartha menegaskan, bahwa dalam konteks kabupaten dan pemerintah, ruang itu tetap penting sebagai representasi peradaban, sebagai perkembangan kreativitas warga, dan cerminan tonggak kemajuan sebuah wilayah.
“Pemerintah penting mempunyai art space. Lebih jauh, keberadaan art space itu akan mencerminkan peradaban sebuah bangsa, kabupaten. Sehingga, tonggak-tonggak kemajuan, atau pun perkembangan kreativitas warga lokalnya akan tercermin dari ruang tersebut,” ujarnya.

Tak cukup hanya ruang namun juga program untuk memberdayakan ruang itu kedepannya. Kehidupan iklim seni modern di Gianyar justru digerakkan oleh swasta, oleh ruang-ruang inisiatif individu maupun kelompok.
“Selain ruang, masalahnya juga di program. Kalau dibandingkan dengan kabupaten lain, perkembangan creative space di Gianyar itu digerakan oleh swasta. Seperti, museum, art shop, coffee shop,” ujar pria ramah itu.
Narasi itu semakin diperkuat juga oleh pernyataan pembina Jungut Sari Teater, Kadek Wahyu Ardi Putra.
“Sebagai kota seni, yang lebih banyak ruang kreatif hanya di sanggar-sanggar, komunitas. Menurut saya, ruang publik itu sangat penting untuk pendidikan dan pelatihan, selain itu di dalamnya bisa ada pertemuan (diskusi), dan proses penciptaan kreatif,” ucapnya sambil membenarkan posisi kacamatanya yang sedikit turun.
Sore-sore, selepas kuliah di Singaraja, saya bertolak ke Jl. Hyang Sangsi, Batubulan untuk bercakap dengan pendiri Gurat Institute, Made Susanta Dwitanaya.
“Kalau dalam konteks peran dan kehadiran pemerintah, kita sebagai pelaku seni pasti selalu menuntut negara hadir dalam pengembangan seni dan budaya, dan disamping itu yang penting adalah sumber daya yang mengelolanya,” tegasnya sambil mengentaskan abu rokok ke dalam asbak.

Saya menjadi tersadarkan, bahwa ruang bukan hanya hal fisik, namun juga batin. Selain beton, batu bata, dan peralatan canggih yang ada di dalamnya, ada juga manusia yang harus hidup di sana, ada interaksi, ada pikiran, ada kehidupan.
Kembali pada konsep yang ditawarkan Lefbvre di awal, bahwa belakangan ini ruang sedang diperebutkan, muncul abstraksi atas kekuasaan ruang, dan seringkali individu atau komunitas yang menjadi kaum terpinggirkan dari haknya atas kota, atas ruang.
Ruang bukanlah semata-mata suatu medium di mana segala aktivitas manusia terjadi sementara ruang itu sendiri tidak berubah. Manusia membentuk ruang dalam aspeknya yang beragam dan sebaliknya ruang juga mempengaruhi pemikiran manusia yang kemudian membentuk kebiasaan yang pada gilirannya dapat berubah menjadi budaya.
Pada akhirnya, ruang kolaborasi kreatif ini tidak hanya untuk pentas teater atau pameran seni rupa. Tapi untuk semua kesenian, seni modern maupun tradisi. Untuk ruang diskusi, bercerita, dan berbagi. Bagaimanapun juga negara (pemerintah) mau tidak mau harus terlibat dalam perkembangan iklim kesenian, bukan hanya untuk menjalankan mandat undang-undang pemajuan kebudayaan, tapi untuk peradaban kesenian Gianyar.