
Ketika mendengar kata Bangli, apa yang pertama kali terlintas di pikiranmu? Rumah Sakit Jiwa? Atau Kintamani?
Yap, memang benar dua tempat tersebut berada di Kabupaten Bangli. Kabupaten Bangli menjadi satu-satunya kabupaten di Bali yang memiliki Rumah Sakit Jiwa. Begitu pula Kintamani, baru-baru ini ramai dikunjungi wisatawan yang ingin nge-chill minum kopi sambil menikmati pemandangan gunung.
Terlepas dari dua tempat itu, apa lagi yang kamu ketahui tentang Kabupaten Bangli, terutama ibukota kabupatennya, yaitu Kota Bangli?
Kota Bangli biasanya hanya menjadi tempat lewat, jarang menjadi tempat berkunjung. Maka dari itu, kali ini Melali berkelana ke Kota Bangli. Melali ke Kota Bangli menjadi program Melali pertama dengan tujuan ibukota kabupaten dalam rangkaian acara Anugerah Jurnalisme Warga (AJW) 2025. Melali kali ini lebih banyak menjajaki tempat bersejarah di tengah-tengah kota.
Jarak dari Kota Denpasar menuju ke Kota Bangli ditempuh dalam waktu kurang dari satu jam. Pura Langgar atau Pura Dalem Jawa di Desa Bunutin menjadi tempat persinggahan pertama. Lokasinya berada di dalam gang kecil, tapi muat dilintasi satu mobil.

- Pura Dalem Jawa (Pura Langgar)
Pemandangan kolam mengelilingi pura langsung menyambut kami begitu tiba. Sekilas seperti pura pada umumnya, tapi begitu masuk ke dalam ada bangunan bagian tengah yang menarik perhatian. Secara keseluruhan, area Pura Langgar memiliki empat Pura, yaitu Pura Penataran Agung Puri Bunutin di sisi utara, Pura Pejenengan di sisi timur, Pura Kahyangan Tiga Pura Dalem untuk Puri Bunutin di sisi selatan, dan Pura Langgar di tengah.
Dalam Agama Islam, langgar merupakan masjid kecil tempat mengaji atau salat. Makna kata ini memiliki kaitan erat dengan sejarah berdirinya Pura Langgar. Ida I Dewa Ketut Raka, Penglingsir Pura Langgar mengajak kami berkeliling sembari menceritakan sejarah pura tersebut.
Secara singkat, Pura Langgar didirikan atas wahyu Tuhan ketika I Dewa Mas Bunutin melakukan semadi untuk kesembuhan kakaknya, I Dewa Mas Berambangan. “Om, Om, Om, aku dewanya Islam. Aku Tuhan Allah-Mu. Dengarkan sabdaku ini, buatkan aku langgar persimpangan Betara ke Kawitanmu, Dalem Brambangan,” ungkap Raka ketika menjelaskan alasan dibuatnya Pura Langgar. Langgar menjadi persimpangan untuk mengayat Ida Betara Leluhur yang ada di Banyuwangi, Ida Dalem Sri Juru.

Secara visual, Pura Langgar memiliki ukiran-ukiran khas Bali selayaknya pura pada umumnya. Namun, yang berbeda dan menarik adalah pintu yang terdapat di empat sudut pura. Bentuknya sederhana, terbuat dari kayu, seperti pintu di masjid. Raka menyebutkan ia tidak tahu menahu alasan pemilihan pintu tersebut.
Di masa kini, Pura Langgar hanya menjadi tempat sembahyang masyarakat Hindu sekitar. Biasanya piodalan dilaksanakan pada Umanis Galungan dan upakara yang digunakan hanya ayam dan bebek, tanpa babi.
Di belakang pura ternyata terdapat tempat wudhu, yaitu tempat menyucikan diri sebelum salat. Tempat itu menjadi pertanda bahwa dulunya Pura Langgar tidak hanya menjadi tempat ibadah Agama Hindu, tetapi juga umat Islam. Menurut penuturan Raka, saat ini umat Islam yang ingin beribadah di Pura Langgar hanya diperbolehkan di luar area pura, disediakan semacam balai di sisi barat pura.

2. Pasar Rakyat (Pasar Kidul)
Berkeliling pura dalam waktu kurang lebih satu jam membuat pikiran terasa penuh. Mengistirahatkan pikiran sejenak, kami bergeser ke Pasar Kidul yang berjarak sepuluh menit dengan kendaraan.
Kami tiba pukul 11.00 WITA, tetapi pasar masih hidup dengan penjual dan pembeli. Kehidupan pasar yang jarang ditemui di tengah hari. Pasar rakyat Kota Bangli ini berbeda dengan pasar di ibukota kabupaten pada umumnya. Tata ruang dan arsitekturnya dipertahankan sedemikian rupa, tidak dimodifikasi menjadi pasar modern.

3. Puri Den Pasar
Puas melihat aktivitas dan tata ruang pasar, kami menyebrang ke utara menuju Puri Den Pasar. Seperti namanya, ‘den’ berarti utara, yaitu Puri di sisi utara pasar. Konsep ini berkaitan dengan Catus Patha, konsep tata ruang ketika puri berkuasa di Bali. Dalam menjalankan fungsinya, puri mengamati kegiatan ekonomi di daerah kekuasaannya, maka beberapa puri di Bangli lokasinya kerap berdampingan dengan pasar, seperti Puri Den Pasar di Kota Bangli.
Kedatangan kami disambut oleh Jung Joni, salah satu penghuni puri. Masuk ke area puri kami disambut piringan biru yang tertempel di dinding. Menurut penuturan pemandu kami saat itu, piringan tersebut menjadi penanda kelas sosial pada zaman dulu. Piringan ini banyak ditemui di daerah Tabanan.

Kami diarahkan Jung Joni untuk duduk di sebuah balai yang berisi lukisan China di dinding. Sangat terlihat usia tua lukisan yang belum tersentuh dan dimodifikasi. Jung Joni menjelaskan bahwa lukisan tersebut dibuat dari bahan alami ketika China berkunjung ke Bali. “Di sini kan ada raja dumun (dulu). Terus ada yang (datang) dari China tahun 1800-an itu ke Bali, dikasihlah tempat di Kintamani. Untuk balas jasa, dibuatinlah bangunan ini,” ungkap Jung Joni.
Gambar paling atas terlihat orang-orang dengan pakaian dinasti Ming. Kemudian di bawahnya diisi ornamen-ornamen khas China, seperti teratai, angsa, nanas, singa, dan ornamen lainnya.

Di sebelah balai tersebut ada balai lain lagi yang menjadi museum kecil, tempat menyimpan benda-benda bersejarah. Di luar tampak lukisan dan foto para tetua Puri Den Pasar. Hal yang menarik adalah profesi tetua Puri Den Pasar maupun penerus puri saat ini lebih banyak berprofesi sebagai akademisi, bukan sebagai politisi. Ini menjadi menarik karena berbeda dari puri di daerah lain yang menduduki jabatan politik.

Masuk ke museum kecil langsung disambut dengan silsilah Maha Gotra Tirta Harum atau sembilan generasi dari Sang Angga Tirtha. Menoleh ke belakang ada baju raja dan penghuni puri. Di sebelahnya ada sesuatu yang mirip dengan lencana. Selain itu, gambar para tetua puri pun memenuhi sisi kanan dan kiri.

4. Warung Nasi Kajeng
Setelah puas mengenal sejarah puri, kami memutuskan beristirahat di Warung Nasi Kajeng. Warung ini berada di dalam rumah dan menggunakan balai rumah sebagai tempat makan. Kami dapat melihat dengan jelas proses pembuatan sate dan nasi yang masih menggunakan alat tradisional. Para pembeli atau pelanggan langsung mendatangi dapur tradisional tempat pedagang melayani. Asap dari tungku kayu memenuhi dapur kecil ini.
Satu porsi nasi biasa dijual dengan harga Rp35.000, tanpa sate. Namun, cita rasa sate tidak bisa dilewati. Ada dua sate yang berbeda, yaitu sate lilit dan sate tusuk. Disebut sate empol atau sate kebek. Bahannya daging babi. Sate tusuknya berisi jeroan dan lemak yang lembut dimakan. Sambal satenya pun berwarna hitam, bukan kecap, terasa lezat ketika dijadikan cocolan sate.
Ada dua jenis menu di nasi campur legenda kota Bangli berusia 45 tahun ini. Nasi babi terdiri dari set menu sayur, urutan, daging, dan keripik babi. Jika tidak makan babi, ada menu ayam juga yang tak kalah enak. Isinya sayur daun ketela yang gurih dengan bumbu genep khas Bali, ayam betutu, keripik kulit ayam, dan lainnya. Dinamakan Warung Kajeng karena dulu hanya buka 3 kali seminggu (pasah, beteng, kajeng) mengikuti hari buka pasar, Lokasinya pun dekat pasar rakyat atau pasar Kidul. Kini buka setiap hari, mulai jam 11 siang. Kalau masih ada papan bertuliskan tutup tergantung, artinya belum buka.
Sayangnya yang dikhawatirkan malah datang, yaitu hujan beserta angin kencang. Rencana pun berubah. Awalnya kami akan pergi ke Alun-alun Kota Bangli, tetapi karena cuaca tidak mendukung, kami memutuskan pergi ke Nugi, tempat gaul muda-mudi Kota Bangli.

5. Cafe Nugi
Tidak banyak cafe di Kota Bangli. Dari penuturan Bayu, salah satu pemilik Nugi, hanya ada beberapa cafe di Kota Bangli yang masih bertahan. Nugi baru berdiri empat bulan dengan mimpi menjadikan cafe tersebut skena kreatif seperti acara musik anak muda Bangli. Pasalnya, Kota Bangli tidak memiliki ruang untuk mengadakan acara musik.
Nugi didirikan oleh Bayu bersama lima rekan nongkrongnya yang memiliki keresahan sama. “Kita pengen kasih ruang buat teman-teman untuk bisa pakai ruang ini untuk digunakan sebagai tempat mengekspresikan diri,” ujar Bayu. Ia bercerita juga tantangan menggeliatkan kota kabupaten karena makin banyak anak muda bekerja di kapal pesiar atau merantau ke kota lain. Kami juga ngobrol soal kebijakan kota,salah satunya pelayanan komplain 24 jam yang menurutnya cukup bisa diandalkan lewat WA atau akun FB.
Melali hari itu kami tutup dengan segelas kopi dari Nugi yang menyegarkan otak. Alun-alun Kota Bangli pun hanya kami kelilingi dengan kendaraan karena angin yang cukup kencang. Melali ibukota kabupaten tidak sampai di sini, BaleBengong akan kembali dengan dua Melali lainnya sebagai bagian side event Anugerah Jurnalisme Warga (AJW) 2025 dengan tema Anak Muda Bicara Kota-kota di Bali. Jangan ketinggalan ya!
vanujacoffee.com kampungbet










![[Matan Ai] Bali dan Pembusukan Pembangunan](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2025/01/KOLOM-MATAN-AI-oleh-I-Ngurah-Suryawan-by-Gus-Dark1-120x86.jpg)