• Beranda
  • Pemasangan Iklan
  • Kontak
  • Bagi Beritamu!
  • Tentang Kami
Monday, May 12, 2025
  • Login
BaleBengong.id
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
BaleBengong
No Result
View All Result
Home Kabar Baru

Melali ke Kota Semarapura, Melongok Kerajinan Songket, Endek, dan Kekayaan Sejarahnya

I Gusti Ayu Septiari by I Gusti Ayu Septiari
26 April 2025
in Kabar Baru, Travel
0 0
0
Berfoto di Catus Patha Kota Semarapura

Setelah Melali ke Kota Bangli dan Kota Singasana, tibalah saatnya pergi ke bagian timur Pulau Bali, yaitu Kota Semarapura. Melali kali ini layak dinantikan. Ibukota Kabupaten Klungkung ini terbilang kecil, tapi setiap sudutnya menyimpan banyak cerita dan sejarah.

Berbeda dari kota lain, kali ini kami memulainya di siang hari. Perjalanan dari Denpasar ke Kota Semarapura menempuh waktu kurang lebih 50 menit. Tujuan pertama adalah Pertenunan Astiti yang berlokasi di Desa Gelgel. Tenun merupakan kerajinan tekstil yang dapat ditemukan di Bali. Tenun memiliki beragam jenis, tapi yang paling dikenal di Kabupaten Klungkung adalah tenun songket dan endek.

Desa Gelgel di Kabupaten Klungkung menjadi sentra kerajinan songket dan endek. Tak jarang banyak orang-orang terkenal mengunjungi desa ini untuk melihat proses pembuatan kain tersebut.

Pertenunan Astiti sudah berdiri sejak tahun 1986. Hampir 40 tahun berdiri, Pertenunan Astiti masih konsisten menghasilkan produk endek dan songket dari alat tradisional. Lokasi pertenunan berada di dalam gang kecil. Bangunannya pun tidak terlalu besar seperti pabrik tekstil pada umumnya. 

Nyoman Sudira selaku pemilik Pertenunan Astiti menyambut kedatangan kami dengan hangat. Ia mengajak kami berkeliling menengok proses pembuatan endek dan songket dari awal. Lokasi pertama adalah pewarnaan kain endek. Di sana tampak beberapa mahasiswa magang sedang menggambar pola di atas benang. 

Nyoman Sudira menjelaskan proses pembuatan endek dan songket

Salah satu mahasiswa magang, Ayu, yang saat itu ikut memandu kami menunjukkan benang-benang yang digunakan, yaitu benang lusi dan benang pakan. Kami juga diberikan kesempatan untuk ikut mewarnai benang. Pewarnaannya menggunakan arah horizontal agar warna dapat masuk ke benang.

Setelah melihat proses pewarnaan, kami diajak melihat proses penenunan menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Ada dua penenun yang saat itu bekerja dan dua-duanya sudah berusia tua. Ketika berbincang dengan salah satu penenun, ia menjelaskan proses penenunan endek memakan waktu sebulan. Kadang juga bisa memakan waktu sebulan lebih karena terpotong hari raya. 

Beribincang dengan salah satu penenun

Penenun yang ada saat itu memang hanya dua orang, tapi ternyata ada beberapa penenun yang menenun di rumahnya. “Kalau ada mesin dan ruangan, bisa (nenun) dari rumah,” jelas salah satu penenun. Ketika memperhatikan proses penenunan kain endek, saya melihat tangan, mata, dan kaki penenun bekerja secara bersamaan. Tangan menggeser kayu pada ATBM untuk menyatukan untaian benang pada kain, kaki menekan kayu untuk menggerakan gulungan benang, sedangkan mata harus cepat melihat kain agar tidak kusut.

Selain penenun endek, kami juga menemui penenun songket satu-satunya di Pertenunan Astiti. Penenun tersebut bernama Wayan Keprig, tapi oleh pekerja di sana lebih sering dipanggil Ninik. Umurnya 89 tahun, lebih tua dari usia Pertenunan Astiti. Ninik sudah menenun sejak usianya masih remaja. Kelihaiannya dalam menenun songket bisa dilihat dari gerak tangannya ketika memasukkan untaian benang.

Wayan Keprig tengah menenun songket

Saat itu Ninik tengah menenun kain untuk udeng. Harga jual kain tersebut adalah Rp2 juta, sedangkan kain ukuran kamen biasanya mencapai Rp10 juta per kain. Jika dilihat dari proses pembuatannya, harga tersebut setimbal dengan usaha yang dikerahkan. Pasalnya, pembuatan songket membutuhkan ingatan yang tajam, ketekunan, dan pinggang yang kuat karena selama prosesnya terdapat kayu yang mengapit pinggang.

Mendengar cerita Sudira dan beberapa pekerja di Pertenunan Astiti membuat kami betah, tapi sayangnya kami tak bisa berlama-lama. Perjalanan pun berlanjut ke Puri Agung Klungkung. Sebelumnya, Puri Klungkung berdiri megah seluas lima hektare. Tjokorda Gedhe Agung Samara Wisesa, generasi penerus ke-13 Puri Agung Klungkung menjelaskan dulunya lahan Puri mencapai area Pasar Galiran. 

Sejak Belanda masuk, area Puri pun diratakan. Lahan yang sebelumnya tempat Puri berdiri dialihfungsikan menjadi kantor pemerintahan Belanda. Puri Agung Klungkung yang saat ini berdiri di depan Lapangan Puputan Klungkung adalah sisa Perang Puputan Klungkung.

Puri Agung Klungkung tampak depan

Puri Agung Klungkung juga dikenal dengan jejak toleransinya. Hubungan Puri dengan Kampung Muslim Gelgel dimulai pada zaman Dalem Waturenggong. Ketika Raden Patah menguasai Majapahit, ia mengirim salah satu utusannya ke Bali dengan tujuan memerintahkan Bali tunduk kepada Demak. Dalem Waturenggong yang saat itu berkuasa mengatakan bahwa ia akan tunduk kepada Demak dengan syarat utusan tersebut harus memotong bulu kaki Dalem Waturenggong.

“Sebenarnya ada dua makna. Satu, secara nggak langsung dia artinya bersimpuh, artinya kan sudah tunduk. Dan kedua, ketika itu para utusan itu banyak, sekitar 50 orang dan nggak ada yang bisa motong bulu kakinya,” jelas Samara. Utusan tersebut akhirnya diminta kembali dan menyampaikan bahwa Raja Bali tidak akan tunduk. Namun, utusan tersebut tidak berani pulang. Pasalnya, mereka akan dibunuh karena tidak bisa membuat Bali tunduk.

Utusan tersebut memohon perlindungan dan akhirnya diberikan tempat di Gelgel. “Itu di sana mereka sudah bersumpah untuk mengabdi kepada raja,” imbuhnya. Relasi yang terbentuk hingga saat ini adalah sisa dari sejarah tersebut. Maka setiap umat Islam di Gelgel melaksanakan sesuatu, mereka akan meminta izin ke Puri Agung Klungkung.

Menengok bangunan Puri Agung Klungkung di sudut kanan dan kirinya penuh foto dan lukisan. Langit-langit bangunannya menjulang tinggi, begitu pula tiang bangunan berwarna putih yang memperlihatkan goresan sejarah Puri Agung Klungkung. Ketika kami berkunjung, atap bangunan Puri ada yang jebol dan memerlukan perawatan.

Berfoto bersama di Puri Agung Klungkung

Dalam perjalanan sejarahnya, Puri Agung Klungkung mengalami masa kelamnya pada tahun 1965. “Ketika zaman itu kita juga kayak diberangus, tidak dibolehkan menjalankan kewajiban adatnya,” ungkap Samara. Pemerintah pada saat itu memang memberikan kekuasaan bupati pada Puri, tapi malah menjadi rebutan di keluarga.

Peristiwa tersebut membuat Puri Agung Klungkung lebih mengarah kepada kekuasaan politik. Samara menyebut hal ini yang ingin dikikis saat ini. “Sekarang ini kita lagi menata sebenarnya untuk mengembalikan tatanan Balinya (di Puri Agung Klungkung),” ujar Samara.

Setelah puas mendengar sejarah Puri Agung Klungkung, kami berjalan menuju Kertha Gosa. Lokasinya tidak jauh dari Puri. Areanya pun sebenarnya masih termasuk area Puri. Dengan membayar Rp25.000, pengunjung dapat berkeliling Kertha Gosa dan Monumen Perjuangan Ida Dewa Agung Jambe yang ada di depannya. Loket tiket berada di sebelah Monumen Perjuangan. Tiket hanya diperuntukkan masyarakat luar Klungkung, sedangkan masyarakat asal Klungkung dapat memasuki area tersebut tanpa membayar.

Area pertama yang kami masuki adalah Bale Kambang yang dikelilingi kolam ikan. Atap-atap Bale Kambang berlukiskan Wayang Kamasan yang mengisahkan Ramayana. Di zaman sekarang, Bale Kambang kerap menjadi latar foto untuk prewedding. Di pojok Kertha Gosa berdiri Balai Pengadilan yang menjadi tempat berlangsungnya sidang raja-raja di Bali. Di atap Balai Pengadilan terlukis pewayangan Mahabharata yang usianya sudah cukup tua.

Menengok Bale Kambang di Kertha Gosa

Di area Kertha Gosa juga terdapat museum, tapi sayangnya museum tersebut tutup saat kami tiba. Kami pun menyebrang dari Kertha Gosa menuju Monumen Perjuangan Ida Dewa Agung Jambe. Di dalam monumen terdapat diorama yang mengisahkan kehidupan masyarakat Klungkung dari masa ke masa. Di tengah ruangan berdiri patung raja untuk mengenang masa kejayaan Ida I Dewa Agung Jambe II. 

Osila, warga lokal Klungkung yang saat itu menjadi pemandu mengatakan biasanya diorama tersebut dilengkapi suara yang menceritakan tiap masa pemerintahan. Sayangnya, saat itu sepertinya speaker di museum tidak berfungsi dengan baik. Saat kami berkunjung pun tidak ada pemandu dari pengelola yang menjelaskan karena pemandu hanya tersedia sampai pukul 17.00 WITA. Meski saat itu kami sebenarnya telah berkeliling dan membayar tiket sebelum pukul 17.00 WITA, tapi tidak juga didampingi pemandu.

Lelah berkeliling, perut pun sudah keroncongan berteriak ingin diisi. Kami menuju Pasar Senggol Klungkung. Lokasinya tak jauh dari Kertha Gosa. Kami tiba sekitar pukul 17.30 WITA. Pasar tersebut sudah ramai oleh pedagang dan pembeli. Berbagai macam makanan dapat ditemukan di pasar ini, mulai dari makanan khas Klungkung hingga makanan kekinian. 

Mie koples, makanan khas Klungkung

Beberapa dari kami mencicipi hidangan khas Klungkung, yaitu mie koples dan serombotan. Mie koples merupakan bihun diguyur bumbu kacang yang pedas, sedangkan serombotan adalah campuran sayur dilengkapi parutan kelapa, sambal, kacang, dan bumbu lainnya. Selain itu, ada juga yang menikmati hidangan lain, seperti sate kambing, jaje Bali, babi guling, dan lainnya.

Sedikit berbeda dengan Melali lainnya, hari itu kami pulang agak malam. Tujuannya untuk melihat kehidupan malam Pasar Senggol Klungkung. Lelah menyelimuti perjalanan pulang kami. Melali ke Kota Semarapura yang penuh sejarah menutup program Melali dari BaleBengong ke tiga ibukota kabupaten di Bali. Sampai jumpa di Melali lainnya!

tokohpmurah.com vanujacoffee.com sangkarbet sangkarbet chrishondrosfilm.com sangkarbet
Tags: Kertha GosaMelali AJWMelali ke kotaMelali ke Kota SemarapuraPuri Agung Klungkungsongket
Liputan Mendalam BaleBengong.ID
I Gusti Ayu Septiari

I Gusti Ayu Septiari

Berkutat menjadi jurnalis muda di pers mahasiswa selama masa kuliah. Berkelana dua tahun di Semarang hingga memutuskan untuk kembali pulang ke Bali.

Related Posts

Jelajah Maestro Ketut Marya dan Kuliner Legendaris Kota Singasana

Jelajah Maestro Ketut Marya dan Kuliner Legendaris Kota Singasana

22 April 2025
Melali ke Kota Bangli: Jejak Toleransi, Tata Ruang, sampai Skena Anak Muda

Melali ke Kota Bangli: Jejak Toleransi, Tata Ruang, sampai Skena Anak Muda

25 March 2025
Next Post
Duta Budaya atau Duta Kapitalisme? Mengkritik Beauty Pageant di Bali di Tengah Overtourism

Duta Budaya atau Duta Kapitalisme? Mengkritik Beauty Pageant di Bali di Tengah Overtourism

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Temukan Kami

Kelas Literasi BaleBengong
Melali Melali Melali
Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu?

Kabar Terbaru

matan AI

Intelektual Blangko

11 May 2025
Merawat Kreativitas dan Kebebasan Berpikir Anak Muda Melalui Muruk dan Nutur

Merawat Kreativitas dan Kebebasan Berpikir Anak Muda Melalui Muruk dan Nutur

10 May 2025
Jangan Panik, Lakukan Ini Ketika Terjadi Pemadaman Listrik

Jangan Panik, Lakukan Ini Ketika Terjadi Pemadaman Listrik

9 May 2025
KB Krama Bali Bebankan Perempuan Secara Fisik dan Mental

KB Krama Bali Bebankan Perempuan Secara Fisik dan Mental

9 May 2025
BaleBengong

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia

Informasi Tambahan

  • Iklan
  • Peringatan
  • Kontributor
  • Bagi Beritamu!
  • Tanya Jawab
  • Panduan Logo

Temukan Kami

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia