Lima belas adalah angka keramat bagi para budayawan, akademisi, pengamat, media, dan pengambil kebijakan di Bali.
Sejak awal 1970-an ketinggian bangunan baru di Bali dibatasi maksimal 15 meter, atau 4 lantai, atau “tidak lebih tinggi daripada pohon kelapa”. Aturan berdasarkan rekomendasi dari lembaga konsultan dari Perancis, SCETO. Hanya Hotel Grand Bali Beach di Sanur punya 10 lantai. Hotel ini dibangun mulai tahun 1966.
Kebijakan ini masih bertahan hingga sekarang. Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW) Bali 2009-20291 masih mempertahankan pembatasan 15 meter ini. Pasal 95, ayat 2, butir b Perda ini menyatakan ketinggian bangunan di atas permukaan bumi dibatasi maksimum 15 (lima belas) meter. Aturan ini tak berlaku untuk bangunan umum dan bangunan khusus yang memerlukan persyaratan ketinggian lebih dari 15 meter. Misalnya, menara pemancar, tiang listrik tegangan tinggi, mercusuar, menara-menara bangunan keagamaan, dan bangunan-bangunan untuk keselamatan penerbangan.
Butir ini pula yang menjadi salah satu yang dibahas dengan sengit dalam perdebatan di berbagai media mengenai rencana revisi Perda RTRW. Isu terpanas lainnya adalah mengenai luas dan aturan pemanfaatan sempadan kawasan suci pura dan pantai.
Pihak pro-pembatasan 15 meter berasalan kuat. Menurut mereka pembatasan masih tetap relevan untuk menjaga ciri khas Bali dan pelaksanaan Tri Hita Karana. Aturan ini pun selaras dengan konsep pariwisata budaya Bali.
Pihak pro-revisi beralasan pembatasan akan berakibat buruk terhadap lahan pertanian Bali yang kian sempit. Pertumbuhan penduduk Bali yang relatif cepat menuntut perluasan wilayah pemukiman.
Kedua belah pihak memiliki argumen kuat. Keduanya sama-sama memiliki keinginan memajukan Bali tanpa mengorbankan nilai-nilai estetika Bali.
Konsep pembatasan tinggi bangunan bukanlah fenomena unik yang hanya terjadi di Bali. Greenwich Village Historic District di New York menerapkan pembatasan tinggi bangunan maksimal 12 lantai. Pusat kota Paris pun menerapkan batas maksimal 83 feet (25 meter). Kedua kota tersebut masih menerapkannya hingga sekarang.
Tidak kalah dengan kota-kota di negara maju, kota Mumbai di India pun menerapkan batasan tinggi bangunan, lebih ekstrim lagi, 1.3 lantai. Artinya, sejak 1991, tidak ada lagi bangunan baru dengan tinggi 2 lantai atau lebih di Mumbai.
Semua pembatasan tersebut didasari semangat konservasi bangunan-bangunan atau lanskap kota yang bernilai sejarah. Semangat ini kurang lebih sama dengan semangat masyarakat Bali sejak tahun 1970-an.
Kebijakan pembatasan tinggi bangunan umumnya memiliki beberapa konsekuensi negatif. Pertama, lonjakan harga tanah karena terbatasnya lahan pemukiman. Gejala mahalnya harga tanah sudah dapat dirasakan di Bali. Pada tahun 2011 saja, rata-rata kenaikan harga tanah kaveling mencapai 34 persen dalam setahun, dengan ekspektasi kenaikan harga tidak kurang dari 20 persen sepanjang 2012.
Harga tanah di kawasan Sanur sudah mencapai lebih dari Rp 300 juta per are (100 meter persegi). Harga ini naik lebih dari 30 persen per tahun selama lima tahun terakhir. Nilai ini setara dengan harga tanah di perumahan elit Jakarta seperti Bintaro atau Bumi Serpong Damai.
Tingginya harga tanah, tanpa disertai peningkatan pendapatan setara rata-rata masyarakat Bali, merupakan salah satu faktor maraknya penjualan tanah terhadap “investor” dari luar Bali. Para investor ini, kebanyakan berbekal pendapatan dari booming harga komoditas batubara dan kelapa sawit. Mereka menyasar Bali sebagai alternatif investasi properti potensial di luar Jakarta.
Mahalnya harga tanah dan arus urbanisasi dari luar kota Denpasar maupun dari luar Bali juga diprediksi akan menyebabkan timbulnya daerah kumuh (slum). Hal ini karena perumahan memadai sudah tidak terjangkau lagi harganya. Menurut Bali Post, itik pemukiman kumuh di Denpasar sudah menyebar di 70 lokasi.
Konsekuensi lain selain tingginya harga tanah adalah naiknya kepadatan lalu lintas. Pembatasan tinggi bangunan menyebabkan pembangunan lebih bersifat ke samping (horisontal) dan tidak ke atas (vertikal). Kota menjadi lebih luas. Setiap orang menjadi butuh kendaraan untuk pergi bekerja ataupun melakukan aktivitas lain. Pembangunan sarana transportasi massal pun lebih sulit dan mahal karena persebaran daerah pemukiman penduduk dan perkantoran.
Masyarakat pun cenderung memilih kendaraan pribadi daripada kendaraan umum. Transportasi publik tidak memiliki rute langsung dari daerah pemukimannya ke area tempat kerjanya. Kemacetan lalu lintas pun tak terhindarkan. Kenaikan jumlah kendaraan rata-rata 6 persen per tahun sejak 2005, sedangkan panjang jalan hanya tumbuh rata-rata 2,2 persen per tahun.
Masalah pembatasan tinggi bangunan sebaiknya tidak dilihat sebagai sebuah isu dikotomis. Angka “15” pun bukan angka sakral. Angka ini instrumen yang bisa dimanfaatkan untuk mencapai sasaran.. Apakah Bali bisa mempertahankan pariwisata budaya dan Tri Hita Karana saat kota Denpasar dan Kuta dikepung daerah kumuh dan kemacetan?
Saat ini pun, aturan pembatasan tinggi bangunan 15 meter tidak dapat mencegah bertebarannya rumah-toko (ruko) dan model bangunan yang tidak berciri khas Bali sama sekali.
Beberapa alternatif jalan tengah sudah diajukan berbagai pihak. Misalnya pemberian izin bangunan tinggi untuk bangunan publik seperti kantor pemerintah, rumah sakit, dan sekolah. Ada juga yang mengusulkan pemberian izin khusus untuk daerah-daerah tertentu seperti daerah bisnis di Jalan Gatot Subroto.
Apa pun usulan yang akhirnya diterima dan dimasukkan dalam Perda RTRW, jika memang aturan 15 meter ini akan direvisi, maka ada dua hal yang perlu dipastikan: aturan main yang lebih spesifik dan transparansi.
Pertama-tama perlu dibuat satu tata aturan khusus untuk bangunan lebih dari 4 lantai, kalau di luar negeri disebut building code. Aturan ini memastikan setiap gedung tinggi yang dibangun harus memerhatikan aspek keselamatan, aspek keserasian dengan lingkungan sekitar, aspek estetika, dan aspek integrasi dengan budaya Bali. Perda No 5 Tahun 2005 tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung, yang saat ini lebih banyak mengatur tentang corak penampilan arsitektur Bali, perlu disempurnakan dan diperinci.
Kita juga harus memastikan bahwa setiap proposal bangunan lebih dari 4 lantai harus melewati proses dengar pendapat publik dan. Proposal pun harus dinilai komisi khusus yang menangani bidang tata ruang. Proposal ini juga harus bisa diunduh dan dikomentari semua orang melalui Internet. Dengan proses ini, tidak sembarangan gedung tinggi bisa dibangun hanya dengan modal finansial kuat saja.
Di beberapa kota di luar negeri, detail dari rencana pembangunan gedung bisa diunduh dari website kota tersebut. Sebagai contoh adalah website Florida Building, di mana kita bisa mengunduh project plan dari gedung mana pun di Florida.
Liputan demi liputan di media mengenai revisi RTRW merupakan bukti bahwa masyarakat Bali sangat peduli tata ruang pulaunya. Rencana tata ruang memang akan berdampak kepada tidak hanya generasi sekarang, tapi juga generasi anak dan cucu kita. Mereka yang akan mewarisi pulau ini.
Dengan kebijakan dari para pemimpin dan wakil rakyat, serta transparansi dan aturan main yang jelas, mudah-mudahan tidak ada lagi kekhawatiran dari masyarakat akan hilangnya ciri khas Bali. Kesemrawutan serta kemacetan total pun bisa dihindarkan. [b]
Terlalu kaku pada aturan tinggi bangunan memang dilematis bagi pulau kecil seperti bali ini. Kalau tak boleh tinggi, berarti harus meluas. Tanah pun jadi korban padahal dia makin menyempit.
Pembangunan tol pun demikian. IMO, kalo tol diperbolehkan, mungkin lahan di sekitar jalan masih bisa berfungsi sbg sawah. Tapi coba kalau seperti di By Pass IB Mantra. Cepat sekali lahan2 sawah itu jadi ruko.
Ya, ini logika orang awam. Tak tahu ya bagi mereka yang lebih ngerti.
Semestinya pihak berwenang di Pulau dewata tercinta ini juga memperhatikan aturan pembangunan baru di kiri kanan jalan, yang memang bisa dibilang ironi, dilain pihak dibutuhkan tetapi juga dianggap menyempitkan lahan persawahan yang sebenarnya merupakan salah satu keindahan Pulau Bali.
Yup, saya tidak takut. Lebih baik bangunan modern dengan arsitektur yang bagus daripada slum.