Barangkali hujan bulan Mei akan lebih tabah dari hujan bulan Juni.
Suara adzan baru saja berlalu. Nur Nurhayatun, istri Pan Delem atau ibu dari Wayan Marhaen dan Kadek Dianawati siap-siap berbuka. Di atas meja, aneka makanan telah tersaji. Ada sate lilit, lawar, hingga komoh.
Malam itu menjadi semakin spesial, karena pada pagi harinya Pan Delem dan Wayan Marhaen merayakan Galungan. Mereka duduk melingkar.
“Nasakom! Jaen saan… Mari kita makan!” Marhaen memulai kenduri. Ia bermaksud menyebut akronim nasi, sate, komoh sebagai Nasakom.
“Husshh. Berdoa dulu! Karena ibu sedang menjalankan ibadah puasa, maka ibu kalian yang akan memimpin doa kali ini,” Pan Delem mengingatkan.
Keluarga Pan Delem adalah replika kebhinekaan Indonesia yang raya. Marhaen, karena lahir sebagai laki-laki dari seorang ayah yang Bali, memutuskan untuk menjadi pengikut agama Bali. Ia enggan menyebut dirinya orang Hindu; sebab ketika bersekolah dari TK hingga perguruan tinggi, tak sekalipun dia bersentuhan atau dipersentuhkan dengan Weda. Ia mengikuti Das Kapital, tetapi juga selalu berusaha untuk mencari dan menemukan kearifan agama Bali.
Lagi pula, pikir Marhaen, tak banyak orang Bali yang betul-betul paham hakikat menjadi seorang Hindu. Setidaknya hal itu dirasakannya dari lingkungan sekitarnya. Bahkan, yang juga membuat Marhaen tak habis pikir, orang Bali tak pernah mau tahu makna berbagai ritual yang mereka lakukan hampir setiap hari itu. Kerena putus asa dan malas mencari; ditambah para pemukanya yang tidak dekat dengan umat, mereka kemudian menyederhanakannya dengan istilah nak mula keto — memang begitu adanya.
Sementara itu, anak kedua Pan Delem, Kadek Dianawati, kini kuliah di sebuah perguruan tinggi yang pendiri yayasannya adalah seorang imam Katolik. Kadek sudah terbiasa berinteraksi dengan orang dari berbagai latar keluarga. Bahkan, cowoknya kini seorang Katolik. Malam hari ketika hendak tidur, Kadek selalu menyempatkan diri membaca Bhagawadgita.
Dari ibunya, Kadek sering mendapat pengetahuan tentang iman dari perspektif Muslim. Sesekali ia juga menemukan kearifan dari tradisi Bali dari ayahnya, Pan Delem. Kini, sejak pacaran dengan seorang Katolik, Kadek pun mulai mengenal lagu-lagu gereja yang menyejukkan hati.
“Juni akan datang, tetapi Mei berlalu dengan sisa sesak di dada. Semoga sederet peristiwa di bulan Mei hanya riak kecil dari kebhinekaan kita. Meme (ibu) mengutuk serangkaian teror dan bom di Mako Brimob dan Surabaya beberapa waktu yang lalu! Bila hujan adalah personifikasi air mata, barangkali hujan bulan Mei akan lebih tabah dari hujan bulan Juni,” Nurhayatun membuka percakapan setelah kenduri selesai.
“Nanang rasa, kita sekeluarga tidak sepakat dengan kekerasan. Kita tidak ingin Indonesia terpecah belah; karena keluarga mungil kita adalah cerminan bahwa perbedaan itu niscaya dan bahkan bisa berdampingan!” Pan Delem menimpali.
“Kebhinekaan sudah final sejak negara ini berdiri! Asalkan, empat pilar kebangsaan ajeg, agar kita tidak dibayang-bayangi mimpi buruk perpecahan atau disintegrasi bangsa!” sahut Wayan Marhaen.
“Yang juga harus dituntaskan saat ini adalah cita-cita kemerdekaan yang disebut sebagai jembatan emas itu! Termasuk pula menuntaskan tuntutan Reformasi 98! Dua puluh tahun yang seharusnya membuat segenap bangsa semakin dewasa dalam berdemokrasi!” ujar Wayan Marhaen.
“Kadek sih nggak tahu Soeharto seperti apa, hingga Bli Marhaen sebegitu bencinya pada mantan mertua Prabowo itu. Kan, waktu 98, Kadek baru lahir. Hehehe,” Kadek Dianawati mulai nimbrung, kemudian meraih buah surudan di atas meja.
“Bli waktu itu juga baru enam tahun, Dek. Tetapi, tidak ikut merasakan tangan besi Harto karena masih kecil atau baru lahir, bukanlah sebuah alasan untuk tidak peduli dengan sejarah!” Marhaen menambahkan. “Bukan begitu, Nang?”
Pan Delem mendeham, mengangguk, lalu diperbaikinya kaca matanya yang bulat.
“Yaaa. Waktu itu Nanang masih jadi PNS, dipaksa ikut Golkar. Nanang dan teman-teman yang lainnya dikumpulin di balai banjar; ikut penataran P4; lalu diberi seragam kuning-kuning berlogo pohon beringin. Hahaha!” kenang Pan Delem.
“Agak risih memang mengingat masa-masa itu. Tetapi, seperti kata kakamu, Dek, reformasi harus dituntaskan!” Pan Delem melanjutkan.
“Sebentar, sebentar. Ini diskusi kok jadi melebar ke mana-mana? Tapi, memang sih kalau Meme pikir-pikir, ternyata bulan Mei tahun ini telah melalui banyak peristiwa, ya. Meme menyambut Bulan Ramadhan. Nanang dan Wayan juga baru saja merayakan Galungan. Umat Budha, bulan Mei ini, merayakan Waisak. Termasuk juga itu, peringatan 20 tahun reformasi bagi bangsa Indonesia! Wah, bulan yang istimewa,” Nurhayatun merespon.
“Bagi umat Katolik, Mei juga identik sebagai bulannya Bunda Maria, Me. The Month of Mary,” sahut Kadek.
“Ya, bulan Mei yang luar biasa sekaligus tak berarti apa-apa terutama dalam hal penegakan kasus pelanggaran HAM di masa lalu, termasuk penculikan aktivis dalam prahara Orde Baru,” kata Wayan Marhaen.
“Termasuk Tukul Arwana yang katanya diculik itu?”
“Wiji Thukul, bukan Tukul Arwana!”
“Ooo… hehehe. Siapa yang harus bertanggung jawab terhadap hilangnya anak orang, Bli?”
“Dalam laporannya, Komnas HAM menyebut Tim Mawar yang dibentuk Kopassus semasa Orde Baru adalah yang paling bertanggungjawab terkait kasus itu. Thukul hanya salah satu aktivis – yang juga seorang penyair – dari 13 aktivis lainnya yang belum kembali dan diduga sebagai korban penghilangan secara paksa! Keluarga korban menuntut penyelesaian kasus itu, melalui aksi diam dengan berdiri memegang payung hitam di depan Istana Kepresidenan setiap Kamis sejak 2007. Bayangkan, 11 tahun sudah mereka melakukan aksi itu, tetapi negara tidak pernah bersungguh-sungguh mengungkap kejahatan HAM di masa lalu!”
“Kalau punya niat baik, seharusnya Pak Jokowi sejak dulu bertemu dengan keluarga korban. Lalu, yang paling penting, segera menuntaskan kasus-kasus tersebut! Mumpung pemeran kuncinya masih hidup,” Pan Delem ikut menambahkan.
“Meme sudah merasa aman di era reformasi ini?” tanya Kadek Dianawati kepada Nurhayatun, ibunya.
“Aman-aman saja, toh, Dek. Sudah, jangan memancing-mancing. Meme lagi puasa. Diskusi soal negara itu berat, biar sama kakak dan bapakmu saja,” jawab Nurhayatun.
“Tapi bom dan terorisme lebih marak di era reformasi. Hahaha! Gimana, Bli, Nang?” Kadek Dianawati memantik.
“Ya, itu tantangan negara demokrasi. Memang banyak yang memandang bahwa pemerintahan otoriter seperti negara Orde Baru relatif lebih aman dan terkontrol. Tetapi, hak-hak prinsip manusia diabaikan. Orang tidak boleh berserikat, apalagi mengkritik atau tidak setuju dengan pemerintah. Kebebasan pers juga tidak ada. Mau Kadek kembali ke era itu?” Pan Delem berusaha menjawab.
“Perekonomian Indonesia, Kadek pernah baca, katanya terkuat di Asia Tenggara ketika era Orde Baru,” Kadek Dianawati kembali memancing.
“Pemenang Nobel ekonomi dari Bengala, namanya Amartya Sen, pernah menulis buku Development as Freedom. Sen mengkritik konsep pembangunan yang hanya diukur dari tujuan akhir negara dalam mencapai kesejahteraan. Tesis Sen sekaligus mengkritik mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, yang merumuskan konsep pembangunan dengan membatasi kebebasan sipil dan politik. Menurut Sen, pembangunan harus menempatkan manusia sebagai pusat pembangunan. Dan oleh sebab itu, kesejahteraan perlu beriringan dengan kebebasan berpendapat, berserikat, hingga berkeyakinan.”
“Ini, Dek” Pan Delem melanjutkan, “bukan bermaksud mengungkit-ungkit kesalahan penguasa Orde Baru. Reformasi yang kita raih dengan berdarah-darah dan pertaruhan nyawa adalah ongkos yang sangat mahal untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis. Bahwasannya hari ini masih terseok-seok dalam berdemokrasi, itu persoalan lain. Nanang hanya tidak mau mundur ke belakang dengan kemajuan ekonomi dan keamanan semu seperti era Orde Baru!”
“Telak, Nang! Haha. Bapan cang ne!” Wayan Marhaen menyahut.
“Ya, santai nae, Bli. Kadek tidak ikut arus yang pro, tidak ikut yang kontra. Apalagi sama Harto! Hahaha. Kalau kata si cagub, nasbedag katanya!” ujar Kadek berusaha mengikuti dialek salah seorang calon gubernur yang kontroversial itu sembari terpingkal-pingkal.
“Bisa gitu adikku, nok. Jangan sampai qe kena virus Orba, Dek!” canda Wayan Marhaen.
“Tenang, Bli. Selama ada Nanang dan qe yang selalu sewot, aku sujud. Hahaha.” [b]