Oleh Swastinah Atmodjo
Paruman (musyawarah) Majelis Madya Desa Pakraman Denpasar memutuskan untuk meniadakan pembuatan ogoh-ogoh baik dalam skala kecil maupun besar, pada perayaan Nyepi Tahun Baru Caka 1931, 26 Maret mendatang.
Ketua Majelis Madya Desa Pekraman Denpasar I Made Karim, beberapa waktu lalu mengatakan, paruman sudah dilaksanakan akhir Januari lalu di Peguyangan Kangin, Denpasar Utara. Intinya, kata dia, para bendesa pakraman yang merupakan pimpinan desa pakraman menyepakati ditiadakannya ogoh-ogoh untuk menjaga ketertiban pelaksanaan tapa brata penyepian yang waktunya berimpitan dengan pesta demokrasi.
“Bukannya kami membatasi kreativitas anak muda untuk membuat ogoh-ogoh. Tapi ini demi kepentingan yang lebih besar, utamanya untuk mengeliminir kemungkinan pelanggaran ketertiban masyarakat yang menyebabkan terganggungnya esensi perayaan Nyepi,” urai Karim, yang ditemui di Kantor Walikota Denpasar.
Diakui bahwa pada malam pengerupukan seringkali terjadi aksi mabuk-mabukan. Pihaknya mengkhawatirkan dampak negative itu akan meluas, terlebih semakin dekatnya dengan hari pemilihan, 9 April.
Sudah dipastikan, kata dia, “Nuansa politik akan kian memanas dengan semakin dekatnya waktu pemilihan. Jangan sampai, perayaan keagamaan nantinya justru ternodai oleh persoalan politik.”
Dijelaskan Karim, pada setiap perayaan Nyepi, umat Hindu di Bali selama 24 jam dianjurkan melaksanakan tapa brata penyepian yang mana tidak diperkenankan bepergian (amati lelungan), bekerja (amati karya), dan tanpa menyalakan lampu (amati geni). Pada malam menjelang pelaksanaan Nyepi atau yang disebut Pengerupukan, biasanya dilakukan upacara Tawur Kesanga, dilanjutkan dengan pawai dan pembakaran ogoh-ogoh (patung raksasa) sebagai perlambang keburukan atau kejahatan.
Menurut Karim, selama ini antar sekaa teruna (organisasi kepemudaan di tiap banjar) di Denpasar seolah berlomba mengkreasi ogoh-ogoh, baik dari sisi wujud, bahan, hingga ukuran. “Ini merupakan ajang kreasi yang tak ternilai dan spontan dari masyarakat. Termasuk biaya, yang rata-rata menghabiskan jutaan rupiah untuk setiap ogoh-ogoh, juga terkumpul secara swadaya.”
Selain itu, lanjut Karim momen pawai ogoh-ogoh selalu menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan. Katanya, “Untuk itu kami mohon maaf, bila tahun ini di Denpasar meniadakan momen berkesan tersebut.”
Selebihnya Karim berujar, untuk pelaksanaan pengerupukan di masing-masing rumah tangga tetap berlangsung seperti biasa, menyesuaikan adat dan kebiasaan desa pakeraman setempat.
Bila nantinya ditemukan sekelompok warga tetap membuat ogoh-ogoh, dikatakan Karim menjadi tanggung jawab Bendesa adat setempat untuk menindaknya. Toh, pihaknya juga sudah melakukan sosialisasi hasil paruman kepada seluruh sekaa teruma melalui para kelian banjar.
Menindaklanjuti hal itu, kata Kabag Humas dan Protokol Kota Denpasar I Made Erwin Suryadarma, walikota sangat mendukung. Bahkan, Pemkot juga sudah membuat surat edaran berisi hasil paruman tersebut ke seluruh Kepala Desa dan Lurah se-Denpasar. [b]
Pasti ada aja ogoh-ogoh, ndak mungkin dihilangin cuma dengan paruman desa pakraman…
gimana kalau galungan juga nggak boleh mepatung/motong babi karena bagi sebagian kalangan makan daging babi adalah haram….ada-ada saja. ini namanya politik sudah menjajah ranah adat dan tradisi
ado-ado gen, ogoh-ogoh to kan sube tradisi, gara-gara pemilu masak rela ditiadakan????
len gara-gara to ditiadakan yang sengterimo…..!di lampong tetep ado ogoh-ogoh!!!
jani kembali pada niat kita, mungkiun dengan tidak menerima uang/sumbangan dari caleg yang berlebihan sudah dapat dikatakan tidak menyalah artikan tradisi kita.
adah ne… k*l*t san berfikir…
kata kiasannya seperti ini.. “membunuh tikus dengan membakar lumbung-nya”…
yang salah bukan ogoh-ogohnya.. tapi oknumnya…
“tolong para politikus di desa-desa yang ndeso ndeso, sudahlah jangan menjerumuskan budaya bali ke dalam keterpurukan kepunahan. ulah kamu-kamu ini yang bikin ogoh-ogoh menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan”
memang sempat di desa saya ada kasus seperti itu.. ceritanya begini:
oleh salah seorang wakil rakyat itu, seorang pemuda disuruh untuk ikut mengusung ogoh-ogoh di salah satu sisi ‘sanan’ ogoh-ogoh (kayu usungan), pemuda itu diberi perintah agar ketika arak-arakan ogoh-ogoh itu sampai di depan rumah rivalnya agar ogoh-ogoh itu digoyangkan biar rusuh….. (ini ni yang bikin gedg basang)…
wuih.. bingung….. kemerosotan moral… Budaya dikalahkan Politik….
Berhubung Nyepi tanpa ogoh-ogoh, saya ramaikan dengan satu buah Puisi.
NYEPI SUNSET KUTA
Jajar garis pantai : gedung-gedung mati
Pasir mati – semua manusia lenyap
Ombak besar pecah hampa suara
Matahari nyelup merayap diam-diam
Kuta terhisap ke maharuang mahasenyap
Perut hening menelan utuh… leburlah hai
Dalam kesatuan Jagat Raya … leburlah
Esok dicipta kembali…. Puahh…..
http://www.anandadimitri.blogspot.com
Berhubung Nyepi tanpa ogoh-ogoh, saya ramaikan dengan satu buah Puisi yang sepi.
NYEPI SUNSET KUTA
Jajar garis pantai : gedung-gedung mati
Pasir mati – semua manusia lenyap
Ombak besar pecah hampa suara
Matahari nyelup merayap diam-diam
Kuta terhisap ke maharuang mahasenyap
Perut hening menelan utuh… leburlah hai
Dalam kesatuan Jagat Raya … leburlah
Esok dicipta kembali…. Puahh…..
http://www.anandadimitri.blogspot.com
yah demikianlah adanya saat ini. coba kita nikmati saja.
POLITIK TOO PEMBODOHAN.. malu-maluin, masak politik dicampur adukkan dengan adat..
klo emang orangnya ga bener, meskipun dilarang pasti tetep ada konflik.
buktinya pawai ogoh2 di KUTA yng dikemas dalam sebuah perlombaan berjalan lancar tanpa konflik..mohon dicontoh..
intinya perbaiki moral individunya, jangan menyalahkan BUDAYA & TRADISI brow….
Kalau kita meng”agama”kan tradisi, maka kita tidak akan dapat melaksanakan nilai-nilai agama(moral)dengan baik, yang benar adalah kita harus mentradisikan agama.
ad” saja! Ogoh ogoh kn udh tradisi