Berikan COVID-19 waktu tiga bulan, maka tatanan global benar-benar diruntuhkan.
Tiga bulan saja. Cukup 3 bulan saja, entah terbuat dari apa COVID -19 ini. Negara Adidaya babak belur, negara kedua hancur lebur, negara yang konon berkembang terkubur. Sudahlah, jangan berikan COVID-19 panggung lagi, beliau sudah terlalu terkenal.
Toh, di luar sana sudah banyak orang bersuara. Tenaga kesehatan yang lebih jadi talenan ketimbang garda terdepan. Ekonom yang bersimbah darah demi pertumbuhan ekonomi 5 persen. Politikus yang entah apa urgensinya pun menjadi garda terdepan dalam membual, eh bahkan drummer pun harus berkonspirasi untuk buka suara. Satu benang merah dari kehadiran oknum tersebut adalah media massa, golomngan paling sibuk di COVID-19 ini.
Sementara mereka yang ada di televisi tersebut sedang bersaing, mayoritas manusia sedang berjuang di rumahnya, entah untuk apa, demi apa. Pemerintah akhirnya memaksa rakyatnya untuk tetap tinggal di rumah, keluar rumah hanya saat urgent atau khilaf.
Ada yang bilang COVID-19 ini sungguh berbahaya menyebabkan kematian luar biasa. Besoknya ada yang bilang sinar matahari cukup untuk membunuh beliau. Terus begitu setiap hari sampai akhirnya teori konspirasi yang berbicara. Lalu, yang di rumah dapat apa?
COVID-19 tidak hanya memberangus tatanan ekonomi. Tatanan sosial masyarakat pun menjadi samar karena penyakit ini. Ada golongan masyarakat yang mendadak baik, tergerak hatinya untuk membantu sementara di bagian lain berubah buas menolak tetangganya yang baru terindikasi COVID-19 untuk tinggal berdampingan. Aneh kan? Ya itu manusia namanya.
COVID-19 berhasil mengeluarkan sifat asli manusia. Ketika manusia yang lapar disuruh tinggal di rumah, setiap hari didikte oleh media yang kecentilan maka kebodohanlah yang akan tercipta.
Akhir Mei, malam takbiran sekelompok warga ingin merayakan hari kemenangannya khilaf, kemudian melupakan protokol. Bukan hanya protokol kesehatan yang diabaikan, tapi toleransi dipertaruhkan di sini.
Kemudian si mayoritas memberontak menuntut keadilan, karena sekian banyak prosesi keagamaannya sudah diabaikannya. Kemudian kasus-kasus lama diungkit kembali. Yang lebih menyeramkan dari COVID-19 bukanlah penyakitnya tapi dampak sosiologinya. Salah, ya semuanya salah. Termasuk pemerintah yang abai, yang selalu politis, yang selalu action tanpa output yang jelas. “Mau dibawa kemana hubungan kita, Pak?” kalau kata armada. Dan media selalu menyiapkan arena megah untuk hal-hal ini.
Terlalu banyak aksi heroik di luar sana yang mengundang decak kagum, tapi bagi saya orang yang tidak terprovokasi media adalah penyelamat bangsa ini dari terjangan COVID-19.
Apa itu COVID-19? Tanyakan detailnya pada ahli kesehatan. Bagi saya yang tukang rongsokan ini COVID-19 adalah penyakit yang bisa menyebabkan kematian entah bagaimana caranya. COVID-19 datang dari Cina, sudahlah, tak perlu mengorek teori konspirasi. COVID-19 adalah penyakit yang dapat tertular karena sentuhan dan tetek bengeknya. Sudah, itu saja yang bisa saya yang tukang rongsok ini simpulkan tentang COVID-19.
Mentah, bodoh, murahan? Ya terserah. Pakai masker, jaga jarak, tidak ke keramaian, cuci tangan sampai meteran PDAM jebol, itu saja yang bisa saya lakukan. Bahkan di gudang seluas 4 are pun saya sendiri, gudang depan dan samping saya seluas masing-masing 4 are pun hanya dihuni 2 orang maksimal di tiap hunian. Sungguh penerapan social distancing yang luar biasa. Masih beraktivitas, masih menghasilkan walaupun sedikit, dan masih hidup syukurnya.
Jokowi bersabda untuk berdamai dengan COVID-19. Memang COVID-19 pernah ngajakin berantem, Pak? Menuju puncak adalah sebuah perjuangan, kembali ke titik nol adalah sikap mental seorang pemenang. COVID-19 berhasil mengembalikan manusia pada esensinya.
COVID-19 bagaikan momok yang merenggut privilege manusia sebagai makhluk yang konon paling berakal. Menyamaratakan manusia bukan berdasar strata sosial, tetapi karena rasa senasib sepenanggungan menghindar dari sapaan COVID-19. COVID-19 dengan segala karakteristiknya bukanlah musuh manusia.
No more mall, no more party. The end ia near? Nope.
COVID-19 membuat tetangga saya yang pengusaha UMKM kembali menimbang benang dan menjadikannya layang-layang. COVID-19 meracuni pikiran teman saya yang notaris untuk bergumul bersama teflon dan wajan demi roti bakar dengan trademarknya. Sawah, kebun, tebas, telabah sungai kembali menjadi primadona untuk mendapatkan hiburan.
Rumah benar-benar menjadi rumah bukan sekadar bangunan tanpa pertukaran senyum. Saatnya bapak-bapak bergumul mesra bersama buah hatinya. Dan COVID-19 menyadarkan manusia Bali tentang landasan tattwa sebuah upacara. Upacara keagamaan sebagai bentuk rasa syukur, untuk dirinya, keluarganya semata, bukan konsumsi tetangga. Bukankah ini keajaiban dunia nomer kesekian?
Menurut KBBI spiritual adalah berhubungan dengan atau bersifat kejiawaan (rohani, batin). Sementara menurut almarhum Gus Dur “guru spiritual saya adalah realitas, dan guru realitas saya adalah spiritualitas”. Spiritual yang saya bahas di sini tidak berafiliasi sedikit pun dengan agama manapun. Alih-alih bencana, COVID-19 adalah realita yang benar-benar terjadi. COVID-19 mengobati sedikit amnesia manusia terhadap esensinya sebagai manusia itu sendiri. Sebagai pembelajaran bahwasannya kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang akan terjadi besok.
Ya, oke. Realistis mengatakan bahwa COVID-19 benar-benar membuat kita harus mengencangkan ikat pinggang. Tapi sampai hari ini saya belum mendengar orang meninggal karena tidak bisa makan. Manusia yang kembali menemukan esensinya dengan ikhlas akan membantu sesamanya. Roda ekonomi berjalan sangat lambat, dunia bisa bangkrut. Ya mungkin benar begitu besarnya tingkat kebutuhan kita, atau mungkin yang benar adalah tingkat keinginan kita yang menyamarkan apa kebutuhan kita sesungguhnya. Percayalah, manusia adalah makhluk paling konsumtif di jagat raya alam semesta galaksi Bima sakti.
Tentu saja tidak ada yang berharap COVID-19 meneror bumi bertahun-tahun. Terlalu banyak orang pintar di luar sana yang sanggup membuat vaksin COVID-19. Ketika new normal itu benar terjadi, perlu bertahun-tahun lagi bagi roda ekonomi untuk berputar lagi sampai puncaknya. Anggap saja tiga tahun, sementara COVID-19 meluluhlantakkan kita selama tiga bulan. Kalaupun mau perang dengan COVID-19, sungguh bukan musuh yang sepadan. Layaknya di SPBU, kita memulai dari nol lagi ya manusia, untuk perkara ekonomi. Di mata koin yang berbeda, seharusnya kita sudah menjadi manusia yang lebih bijaksana setelah COVID-19 ini. Dalam segala hal, termasuk motif masker.
Tampang saya mungkin kurang agamis ketika berbicara spiritual. Tapi spiritual lebih besar dari sekedar agama. Bagaimana manusia mengingat kembali siapa dirinya, dimana dia berdiri, dengan siapa dia hidup, untuk apa hidup. Seharusnya COVID-19 saja cukup untuk mengembalikan esensi tersebut.
Teruntuk tenaga medis, kalian bukan garda terdepan, kalian adalah talenan. Teruntuk yang dirumahkan, kalian luar biasa karena tidak anarkis. Teruntuk yang diam di rumah tanpa arah, kalian istimewa karena saya yakin banyak hal berfaedah yang kalian lakukan di rumah selain tiktok.
Teruntuk yang masih, mau, harus, terpaksa bekerja kalian cetar membahana karena dunia ini masih hidup berkat kalian yang mengesampingkan resiko terpapar COVID-19. Berdoa COVID-19 ini bukan seperti durian yang datang musiman, sekali ini saja kau tengok kami disini. Mari sambut spiritualitas orde paling baru present by COVID-19. Oh ya, teruntuk media massa, kalian sembrono. [b]