
Men Coblong terdiam dan marah besar membaca berita itu.
ATLET senam artistik dari Jawa Timur, Shalfa Avrila Siani, gagal masuk Skuat Merah Putih di SEA Games karena dugaan tidak perawan. Posisinya digantikan oleh pesenam lainnya, Yogi Novia Ramadhani.
Berita itu membuat Men Coblong marah. Sebagai perempuan dan pernah mengalami masa-masa “pecicilan”. Sebagai anak perempuan yang tumbuh dengan penuh kesadaran mencintai tubuh dan pertumbuhannya sebagai perempuan. Merasa paling cantik, merasa paling indah.
Kesadaran dan kebanggaan menjadi anak perempuan telah dipupuk ketika usia Men Coblong lima tahun. Guru Taman Kanak-Kanak (TK) selalu menjelaskan dengan tegas bahwa menjadi anak perempuan itu harus bangga, karena bisa bersolek dan tampil cantik jika menari.
Makanya pada masa itu, sekitar tahun 70-an, para orang tua terutama ibu-ibu yang memiliki anak perempuan biasanya selalu memasukkan anak-anak perempuannya kursus menari. Seolah menari adalah cara dan tempat satu-satunya untuk membuat anak perempuan benar-benar jadi anak perempuan seutuhnya, dalam arti cantik, luwes, anggun dan memiliki tubuh ideal bak seorang putri dari negeri dongeng.
Jarang sekali orang tua pada masa itu mengajukan pilihan untuk menekuni olah raga. Apalagi senam, olah raga yang benar-benar menuntut konsentrasi dan keseimbangan.
Tumbuh sebagai anak perempuan yang mandiri dan memiliki kesadaran mencintai tubuh tidak mudah, karena di luar tubuh perempuan ada beragam aturan-aturan sosial yang berat diikuti anak perempuan. Terlebih jika perempuan kecil sudah menjelma jadi gadis minimal sudah ditandai dengan tumbuhnya payudara dan menstruasi.
Menjelma menjadi seorang gadis bukan persoalan mudah, karena biasanya orang tua (baca: Ibu) — mulai mengajar doktrin, untuk waspada dengan lawan jenis (baca: Lelaki). Bisa dibayangkan alangkah sulitnya tumbuh dan besar sebagai anak perempuan.
Makanya Men Coblong merasa miris dengan kasus Shalfa, yang sudah masuk long list atau daftar atlet ke SEA Games, tetapi belum mendapatkan Surat Keputusan (SK) pengangkatan. Shalfa dan Yogi merupakan atlet cadangan. Mereka bisa menjadi tim inti andai ada atlet dengan urutan di atasnya mengalami cedera.
Shalfa menyadari dirinya mungkin melakukan kesalahan yang dianggap tindakan indisipliner sebagai seorang atlet. Namun, ia tidak terima jika harus dihukum, bahkan dikeluarkan dari tim dengan isu tidak lagi perawan. Pesenam putri asal Kota Kediri, Shalfa Avrila Siani, tak kuasa menahan tangis ketika mencurahkan isi hatinya.
Siswi kelas 12 SMU Kebomas Gresik ini bisa menerima jika sang pelatih menilainya indisipliner, karena pernah keluar malam. Namun, Shalfa Avrila Siani sangat keberatan bila pencoretan saat Pelatnas Senam di Gresik lalu, karena alasan keperawanan.
Pihak keluarga Shalfa langsung memeriksakan anaknya ke Rumah Sakit Bhayangkara Kediri. Hasil tes menyimpulkan selaput dara Shalfa masih utuh. “Namun, pelatih meragukan hasil itu. Katanya harus dites lagi di Rumah Sakit Petro,” katanya.
Sebagai Ibu, sebagai anak perempuan apa yang Anda bayangkan jika Anda mengalami kasus seperti Shalfa ini? Apakah cukup menangis?
Tugas kementerian Pemberdayaan Perempuan harusnya mulai menelisik kasus ini dengan tuntas. Marwah menjadi perempuan itu harus dijaga. Semoga ada jalan keluar dari beragam institusi perempuan untuk membongkar kasus ini sejelas-jelasnya. Kita tunggu. Tapi jangan kelamaan ya? [b]