Pulau Serangan saat ini ibarat nasi yang menjadi bubur.
Begitu kurang lebih pendapat warga di pulau kecil yang masuk Denpasar selatan ini tentang tempat tinggalnya. Mereka merujuk pada kondisi pulau yang terbengkalai akibat rencana prestisius bernama pariwisata tersebut.
Singkatnya begini. Pulau ini dulunya terpisah dari Bali daratan. Lalu megaproyek milik anak Soeharto mengubah luas pulau dari 112 hektar menjadi 491 hektar. Proyek pada tahun 1990-an awal itu mandek gara-gara krisis ekonomi politik 1997-1998.
Proyek mangkrak meninggalkan banyak masalah dan sedikit dampak positif. Nelayan kehilangan pekerjaan. Lingkungan pantai di sana rusak parah. Pulau kini terhubung oleh jembatan, sesuatu yang dulu susah didapatkan.
Salah satu warisan proyek tersebut adalah pantai di bagian selatan Serangan. Pantai ini menghadap ke arah Tanjung Benoa. Pasirnya putih. Airnya bening.
Sayangnya untuk masuk lokasi ini harus bayar. Ada penjaga proyek yang menarik tiket bagi setiap orang. Ya beginilah ketika tempat publik seperti pantai sudah dikuasai swasta.
Setelah lewat jalan berdebu dan bergelombang selama sekitar 5 menit dari pintu masuk, sampailah kita di pantai. Ada warung-warung sederhana milik warga.
Langit biru. Cuaca cerah. Angin sepoi-sepoi. Enak sekali.
Beberapa orang duduk berendam di air yang jernih. Sebagian lagi jalan-jalan menyusuri pasir. Ada pula yang hanya duduk berteduh di bawah pohon cemara laut.
Begitulah suasana pantai Serangan. Daripada cuma dibiarkan setelah direklamasi, bolehlah sekali-kali dipakai untuk tujuan jalan-jalan alias melali. [b]
Jadi tak ada nasi ayo kita nikmati buburnya
Kalau tidak salah kata e pak MMP, Serangan tidak mangkrak. Sedang dibiarkan dulu, supaya pohon-pohonnya nya semakin rindang. Kalau sudah rindang akan dibangun fasilitas pariwisata. “Yang bilang Serangan mangkrak, nggak pernah kesana” keto kone pernyataan pak MMP.