Teks dan Foto Anton Muhajir
Menjadi menantu orang Hindu Bali membuat saya juga harus bertoleransi pada upacara-upacara yang diadakan keluarga. Bukan hanya keluarga kecil seperti mertua atau saudara ipar tapi juga keluarga besar. Salah satu ciri khas Bali kan karena kuatnya ikatan di antara keluarga besar terutama saat upcara agama.
Saya tidak terlalu sering ikut upacara seperti pawiwahan (pernikahan), mepandes (potong gigi), atau odalan (perayaan enam bulanan pura keluarga atau desa). Biasanya sih alasannya karena sok sibuk atau karena memang agak malas juga. Bayangkan saja kalau odalan itu diadakan tiap enam bulan sekali di masing-masing keluarga. Kalau ada enam saudara yang mengadakan odalan, berarti bisa tiap bulan saya ikut upcara.
Kalau sudah mikir begini, saya baru bisa memahami kenapa sebagian teman Hindu merasa kegiatan upacara itu agak memberatkan bagi mereka. Lha kalau mereka punya puluhan keluarga berbeda yang melakukan odalan semua, bisa-bisa tiap minggu mereka harus ikut odalan. Hehe.. Itu baru odalan, belum lagi upacara-upacara lain yang seabrek-abrek jumlahnya.
Tapi saya toh sekali-kali harus setor wajah kalau ada upacara keluarga, entah keluarga dekat ataupun keluarga besar. Salah satunya Sabtu ini ketika ada odalan di kampung halaman mertua di Desa Pekarangan, Kecamatan Manggis, Karangasem, sekitar 70 km timur dari Denpasar.
Saya ikut odalan di kampung sekalian menebus rasa bersalah karena seminggu sebelumnya tidak ikut odalan di sanggah kakak ipar. Juga, seperti biasa, sebagai bagian untuk mengenal Hindu ataupun Bali lebih dekat.
Secara sederhana, odalan adalah peringatan enam bulanan sebuah pura keluarga ataupun pura desa. Bali menggunakan kalender bulan, seperti halnya Islam, bukan kalender matahari. Nah tiap enam bulan sekali kalender Bali inilah sebuah pura akan diperingati dengan upacara yang disebut odalan tersebut.
Kali ini pun saya ikut odalan tersebut. Saya biasa hanya milu-milu tuwung alias sekadar ikut sambil ngobrol dengan keluarga yang ada di sana. Obrolannya seputar adat atau ritual agama. Saya merasa bisa mengenal wajah Bali lebih dalam dengan cara-cara terlibat langsung begini. Sekalian menunjukkan bahwa meski berbeda keyakinan, karena saya muslim, saya tetap bisa ikut dalam ritual mereka.
Tapi odalan kali ini ternyata malah sebaliknya. Giliran saya yang harus memberikan khotbah ketika odalan. Hehe.. Sambil duduk di salah bale di samping pura menunggu kesiapan pemangku (pemimpin upacara), saya malah ditanya banyak tentang Islam, terutama soal haji. Salah satu pekak (kakek) dengan antusias bertanya tentang apa sih haji itu, bagaimana pelaksanaannya, dan seterusnya.
Pertanyaan itu berawal dari kabar bahwa ibu saya berencana berangkat haji tahun ini. Kabar ini disambut gembira keluarga di Bali, termasuk keluarga besar. Sebab menurut mereka orang yang sudah melaksanakan ibadah haji berarti secara spiritual sudah meningkat derajatnya dibanding yang belum naik haji.
“Kalau sudah naik haji itu berarti tidak boleh mengurusi dunia ya?” tanya kakek itu.
“Katanya orang tidak boleh naik haji kalau biayanya berhutang,” sahut yang lain.
“Apakah orang yang sudah naik haji berarti harus pakai kopiah putih?” pemedek (orang yang ikut bersembahyang) lain ikut bertanya.
Maka, dengan pengetahuan agama sak iprit seperti hitamnya kuku, saya menjelaskan apa yang saya tahu tentang haji. Misalnya bahwa orang yang sudah naik haji tidaklah seperti pemangku dalam kepercayaan Hindu yang tidak boleh lagi mengerjakan hal-hal tertentu yang dianggap lebih rendah.
Menurut kakek itu, orang yang sudah menjadi pemangku tidak boleh lagi misalnya makan daging hewan berkaki empat seperti babi atau sapi. Pemangku juga tidak boleh, misalnya, memandu orang yang sudah meninggal. Dia menganggap bahwa orang yang sudah naik haji juga begitu. Saya jawab tidak. Sebab, setahu saya, Islam tidak mengenal hierarki begitu hanya karena intensitas ibadahnya. Misalnya, secara ritual ataupun sosial orang yang sudah naik haji pada dasarnya sama saja dengan orang yang belum naik haji.
Di kampung halaman saya di Mencorek Lamongan Jawa Timur, misalnya, orang yang sudah naik haji tidaklah berarti otomatis akan jadi imam saat sholat jamaah di masjid. Kebetulan di desa saya itu baru ada tiga orang yang sudah naik haji. Satunya memang kiai di kampung. Dua yang lain suami istri yang bisa dikatakan paling kaya di desa kecil tersebut.
Pengertian haji, secara sederhana, adalah napak tilas. Sama dengan tirtayatra yang dilakukan orang Hindu Bali ke India. Haji sendiri adalah salah satu dari lima rukun (kewajiban) seorang muslim. Empat yang lain adalah syahadat yang mirip pernyataan terucap dengan pacar ketika baru jadian, sholat, puasa, dan membayar zakat. Meski demikian, haji hanya diwajibkan untuk mereka yang mampu secara psikis, fisik ataupun finansial.
Sepertinya finansial adalah hal terpenting. Karena itu, seperti ditanyakan salah satu keluarga, orang yang naik haji tidak boleh menggunakan biaya dari berhutang. Jadi ibadah haji itu lebih pada kemampuan orang secara materi dibanding orang yang secara spiritual atau keagamaan dianggap lebih tinggi. Jadi orang yang punya duit banyak lebih bisa naik haji dibanding orang yang punya ilmu agama lebih baik.
Selain itu, naik haji juga urusannya dengan Tuhan, bukan dengan manusia. Jadi tidak berarti setelah orang itu naik haji maka secara sosial atau spiritual dianggap lebih tinggi dibanding yang lain. Yang menilai ya yang di atas, bukan manusia. Ini sama saja dengan ibadah lain dalam Islam yang disebut dengan hablum minallah yaitu hubungan dengan Tuhan. Ibadah seperti sholat, puasa, dan haji adalah urusan masing-masing orang tersebut dengan Tuhan. Bukan untuk dipamerkan pada manusia lain.
Karena itu pula saya agak heran dengan orang yang kemudian mencantumkan tambahan kata “Haji” di depan namanya setelah dia selesai melaksanakan haji. Masak ibadah saja harus dipamer-pamerkan..
Haji tidaknya seseorang juga tidak harus ditunjukkan lewat pakaian, termasuk kopiah putih. Lha kalau cewek kan tidak mungkin pakai kopiah putih hanya karena sudah naik haji. Penggunaan kopiah putih ini lebih banyak karena budaya setempat, tidak ada hubungannya dengan sudah tidaknya seseorang naik haji.
Penjelasan ala kadarnya ini cukup membuat keluarga besar saya yang ikut odalan memiliki pengetahuan baru tentang Islam, khususnya soal haji. Senang rasanya bisa berdialog seperti ini sehingga satu sama lain akan saling memahami.
Masalahnya, saya sendiri juga agak takut memberikan banyak informasi. Pertama karena saya bukan tipe orang yang suka ngomong soal ritual-ritual agama apalagi pada penganut agama lain. Kedua, saya takut apa yang saya sampaikan juga tidak tepat karena ilmu agama yang sak iprit itu tadi.
Toh, bagi mereka itu sudah menyenangkan. “Seharusnya kita lebih banyak ngobrol seperti ini ya. Jadi satu sama lain akan lebih saling menghargai,” kata salah satu orang di bale itu. Yap. Saya benar-benar setuju. [b]
Artikel yang bagus, oleh anak muda yang perlu saya acungi jempol.. saya sering dalam situasi sama, Biang
Keimanan memang harus sll dijaga dan dipertahankan dimana saja kita berada…
“walau otak jerman tp hati tetap mekkah” by:Habibie (ex Presiden RI)
salut mas…perdalam pengatahuan Islam nya yaaa
terharu
Mantap postingannya…..
*sapa dulu donk… Bapaknya Blogger Bali…. hehehhe……
perlunya depag menyusun buku tentang pelaksanaan toleransi beragama di indonesia, yang disusun oleh semua tokoh agama, biar masyarakat dapat melaksanakan toleransi dengan baik dan benar, sehingga tidak miskonsepsi