Teks dan Foto Luh De Suriyani
Sejumlah lembaga pemerintahan di Bali masih kerepotan memberikan informasi pada warga karena prosedur pemberian informasi belum sistematis.
“Namun, sejumlah lembaga punya itikad baik terbuka pada pemberian informasi public namun belum punya standar layanan informasi,” ujar Agus Sumberdana, Koordinator Harian Sloka Institute yang mempresentasikan hasil uji public implementasi Undang-undang No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) di Denpasar, hari ini.
Uji publik ini dilakukan karena UU KIP telah diberlakukan sejak awal Mei ini di seluruh Indonesia. UU ini menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik.
“Belum ada badan publik yang mencatat permintaan informasi public,” tambah Agus. Uji public dilakukan pada sejumlah lembaga yang memberikan pelayanan dasar seperti kesehatan, lingkungan, dan pendidikan. Sekitar 50 informasi public dicari selama dua minggu.
Hasil uji publik ini dipresentasikan di Rembug Lintas Aktor Kesiapan Implementasi UU KIP di Bali. Dihadiri oleh anggota Komisi Informasi (KI) Pusat Abdul Rahman Ma’mun, drs I Wayan Nuranta, SH., perwakilan Biro Pemerintahan Provinsi Bali, dan Ni Luh Candrawati Sari, SH., MH, Kepala Bidang Informasi Dinas Perhubungan, Informasi, dan Komunikasi Bali, dan sejumlah LSM.
Abdul Rahman mengatakan saat ini, KI Pusat sudah menerima sengketa informasi yang diajukan Indonesia Corruption Watch (ICW) ke Departemen Pendidikan karena dinilai tak memberikan data soal pertanggungjawaban dana Bantuan Operasi Sekolah (BOS). “Saya lihat di Bali sudah ada upaya lembaga public memberikan informasi tapi prosedur pelayanannya belum siap,” katanya.
Sengketa informasi bisa dihindari jika standar pelayanan dan mekanisme pemberian informasi ini sudah jelas diumumkan. “Lembaga public juga sudah harus mengelompokkan mana yang bersifat umum dan mana yang rahasia. Ini agar tak membuat warga dan pejabat informasi kesulitan,” tambah Abdul Rahman.
Sementara menurut Candrawati, Gubernur Bali sudah melakukan koordinasi dan memerintahkan seluruh SKPD menyiapkan diri menghadapi UU KIP ini. “Tahun 2011 nanti, diharapkan mulai dipersiapkan Komisi Informasi Daerah Bali,” ujarnya.
Kebebasan atas informasi merupakan hak dasar masyarakat yang harus dipenuhi oleh negara. Dasar legitimasi ini telah tertuang dalam UUD 45 pasal 28 F(2), Deklarasi umum Hak Azasi Manusia (Pasal 19) serta kovenan internasional untuk masalah hak sipil dan politik (Pasal 19 Ayat 2). Oleh karena itu, kebutuhan akan UU yang mengatur akses publik terhadap informasi mutlak dibutuhkan di Indonesia.
Pengalaman beberapa negara yang telah memiliki UU kebebasan informasi (Freedom of Information Act) seperti Swedia, Finlandia, Jepang dan India menunjukkan bahwa jaminan akses atas informasi menciptakan partisipasi luas masyarakat dalam mendorong adanya transparansi dan akuntabilitas badan-badan publik dan peningkatan pelayan publik.
Namun kondisi keterbukaan sepertinya tidak akan serta merta terjadi meski pemberlakuan UU KIP telah melewati masa tenggang dua tahun. Beberapa indikatornya antara lain, pertama, Jumlah Komisi Informasi Daerah (KID) yang terbentuk baru dua dari 33 propinsi di Indonesia yaitu KID Jawa Tengah dan KID Jawa Timur. Kedua, minimnya kesiapan badan publik untuk melaksanakan UU KIP.
Abdul Rahman mengatakan KI akan membuat penilaian hasil transaparansi dan keterbukaan informasi di seluruh daerah di Indonesia. Karena transaparansi terbukti mampu meningkatkan perekonomian daerah karena investor mudah masuk. Misalnya dibuatnya
Perda Transparansi dan Partisipasi pada 2004 di Kabupaten Lebak, Banten.
Setelah Perda dijalankan, pada 2010 setelah enam tahun, APBD Lebak meningkat luar biasa 6-7 kali lipat. Yang mencengangkan juga investasi 368 milyar di 2004, lalu meningkat 1,87 triliun pada 2009. “Karena semua transaparan, kalau membangun semua prosedurnya jelas. Mudah diakses untuk tiap orang. Biaya ekonomi bisa diperkirakan. Kalau tak transparan tak diketahui,” ujar Rahman.
Comments 1