Oleh Lily Darmayanti, Desimawaty Natalia Hutabarat
Laju pembangunan pariwisata di Bali semakin pesat. Menurut data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, jumlah wisatawan mancanegara yang datang langsung ke Bali pada bulan April 2024 tercatat sebanyak 503.194 kunjungan, naik 7,24 persen dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat sebanyak 469.227 kunjungan, peningkatan ini tentu membutuhkan ruang fasilitas prasarana yang memadai dan mendukung kenyamanan wisatawan. Namun, tidak semua fasilitas tersebut dibangun sesuai dengan kebutuhan kelompok difabel.
Guna membuktikannya, kami menelusuri beberapa titik pariwisata dan melihat seberapa pesat pembangunan di wilayah itu serta menjawab “apakah Bali ramah difabel?”, terutama untuk akses pejalan kaki dan transportasi publik.
Kesan pertama tidak menggoda. Halte Gor Ngurah Rai yang terlalu tinggi, licin, dan tidak bisa diakses pengguna kursi roda atau difabel netra. Bisa juga sulit bagi ibu hamil.
Tidak berselang lama, kami mendengar suara ibu yang memarahi anaknya. Anak tersebut menjadikan jalur untuk naik ke halte sebagai perosotan.
“De meplalian ditu, ulung nyanan (Jangan main perosotan disitu, jatuh nanti),” teriak si ibu.
Benar saja, anak tersebut terjatuh. Ibu tersebut kembali mengatakan “Ube orahin, ulung kan, belig ditu! (Kan sudah ibu bilang, jatuh kan, itu licin!)”, kata si ibu dengan nada khawatir bercampur marah.
Masifnya pembangunan pariwisata, bahkan di lokasi objek wisata tidak menjamin tersedianya fasilitas publik ramah difabel dan kelompok rentan lain. “Di tengah trotoar itu ada lubang. Kita pernah jatuh ke lubang. Jadi untuk trotoar sendiri sih, kalau saya pribadi sih kurang nyaman, gitu,” tutur Gus Dwi. Gus Dwi adalah seorang tuna netra asal Busungbiu yang telah lama bekerja di kota Denpasar.
Penulis bertemu dengan Gus Dwi bersama dua temannya, yakni Willy dan Gede Winaya pada Rabu, 22 Mei 2024. “Tidak ada tempat duduk, tanda ini, artinya di sini diam (bus akan berhenti). Apa lagi kan tunanetra kan supirnya enggak tahulah. Orang numpang, kadang-kadang jauh berdirinya [dari tanda yang sudah disediakan],” keluh Gede Winaya. Ia adalah ketua Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Provinsi Bali.
Keterangan dari Gus Dwi dan Gede Winaya dirasakan pula oleh kelompok difabel lainnya. Transportasi publik mengklaim sudah menyesuaikan dengan kebutuhan difabel, tetapi minimnya perawatan menyebabkan beberapa fasilitas khusus difabel mengalami kerusakan. Halte dan trotoar banyak yang tidak sesuai standar kelayakan, bahkan mengancam keselamatan difabel sebagai pengguna.
Transportasi Publik belum Menjawab Kebutuhan
Transportasi publik pernah menjadi pilihan utama bagi masyarakat Bali. Mengutip artikel dari Bali Post News yang diterbitkan pada 26 Desember 2023, dijelaskan bahwa masyarakat Bali pada tahun 1980-1990an lebih banyak menggunakan transportasi publik.
Namun, seiring waktu masyarakat beralih menggunakan kendaraan pribadi. Banyak alasan yang mendasari menurunnya minat masyarakat menggunakan transportasi publik. Misalnya dipermudahnya izin kepemilikan kendaraan, matinya sejumlah rute tranportasi publik, kurangnya dukungan pada supir, dan lainnya. Salah satu jenis kendaraan pribadi yang mengalami peningkatan signifikan adalah sepeda motor. Menurut data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, tahun 2022 tercatat jumlah kendaraan sebesar 4.079.617. Setahun setelahnya, pada tahun 2023 terjadi peningkatan sebesar 223.649 kendaraan sepeda motor. Jumlah ini melebihi jumlah penduduk.
“Lebih irit kalau pakai kendaraan pribadi. Harga kendaraan sekarang udah murah. Pajak kalau mati bisa ditunda untuk perpanjang,” kata Nyoman, pengendara kendaraan pribadi yang setiap hari melakukan perjalanan Denpasar-Ubud untuk bekerja. Peningkatan kendaraan pribadi justru menambah kemacetan di Bali.
Meningkatnya jumlah kendaraan pribadi tidak disertai dengan peningkatan keamanan berlalu lintas. Menurut Kepolisian Daerah Bali telah terjadi peningkatan kecelakaan lalu lintas sepanjang tahun 2023. Tercatat laka lantas dengan kategori kejadian sebanyak 7.467 dan meninggal dunia 274 jiwa. PT Jasa Raharja juga mencatat hingga bulan Desember tahun 2023, penyerahan santunan yang diberikan sebesar 71,57 miliar dengan total korban sebanyak 10.267 orang.
(sumber: Kepolisian Daerah Bali)
Upaya pemerintah dalam mengurangi kemacetan dan mengurangi kecelakan adalah dengan menyediakan dan menghimbau masyarakat menggunakan transportasi publik. Namun, masyarakat kurang berminat menggunakan transportasi publik. Transportasi dianggap tidak mengakomodir mobilitas masyarakat, misalnya waktu keberangkatan dan kedatangan yang sering mengalami keterlambatan dan terbatasnya jangkauan wilayah.
“Bus kadang telat datangnya, saya beberapa kali naik dan menunggu 5-15 menit. Kalau menggunakan bus bisa terlambat,” ungkap Darma. Darma menggunakan transportasi publik hanya ketika sedang ingin pergi ke Jimbaran untuk jalan-jalan.
Di Bali, transportasi publik baru ditemukan di daerah perkotaan dan titik-titik yang banyak dikunjungi wisatawan. Meskipun demikian, tidak semua daerah wisata dilalui. Beberapa di antaranya Damri tujuan Denpasar dan berakhir di Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa, Bangli. Trans Sarbagita melewati beberapa rute, di antaranya GOR Ngurah Rai Denpasar-GWK (Koridor 1) dan Batu Bulan-ITDC-Sentral Kuta (Koridor 2). Trans Dewata dengan beberapa koridornya sebagai berikut; Sentral Kuta-Terminal Persiapan Tabanan (Koridor 1), GOR Ngurah Rai-Bandara Ngurah Rai (Koridor 2), Terminal Ubung-Pantai Matahari Terbit (Koridor 3), Terminal Ubung-Monkey Forest (Koridor 4), dan Sentral Kuta-Terminal Ubung (Koridor 5).
“Kalau Trans Metro Dewata dan Trans Sarbagita saat ini hanya beroperasi di daerah perkotaan. Jadi Denpasar, sebagian Badung, Sebagian Gianyar dan sebagian Tabanan,” urai I Kadek Mudarta, Kepala Bidang Keterpaduan Modal Dinas Perhubungan Provinsi Bali. Keluhan lainnya disebabkan karena minimnya perawatan dan perhatian pemerintah terhadap kelayakan transportasi publik.
Dalam penelusuran yang dilakukan, ditemukan bahwa bus di salah satu unit bus Damri mengalami kerusakan pada beberapa bagian. Terlihat bahwa pintu tidak tertutup sempurna. Di sisi lain, beberapa kursi terlihat patah dan basah akibat dari kebocoran AC. Bus Damri tujuan Bangli juga lebih panas dibandingkan Sarbagita dan Trans Dewata, hal ini terjadi karena AC di dalam bus tidak lagi bekerja optimal.
Gambar di sebelah kiri menunjukkan pintu tidak dapat tertutup rapat; gambar di sebelah kanan memperlihatkan sisi kursi yang patah di salah satu unit bus Damri tujuan Bangli.
Kerusakan pada fasilitas transportasi publik juga terjadi pada bus Sarbagita tujuan Denpasar-GWK. AC bus mengalami kebocoran dan membasahi kursi penumpang. Beberapa sudut bus tampak terlihat kotor, keadaan ini berpotensi mengganggu kenyamanan penumpang.
Selain dari segi kenyamanan yang masih minim, keamanan halte juga perlu ditingkatkan. Beberapa halte tidak dilengkapi dengan penerangan yang baik. Banyak halte kotor, tidak terawat. Atap halte di sekitar kawasan Pantai Sanur bahkan telah jebol.
Penunjang utama transportasi publik adalah keberadaan halte. Halte di sekitaran Sanur dan Nusa Dua tidak layak. Besi penyokong sudah keropos, bahkan lantai yang karatan telah menimbulkan lubang baru dekat dengan tangga. Keadaan ini membahayakan pengguna jalan, terlebih difabel.
Kondisi tersebut juga terjadi di halte Jimbaran dan Denpasar. Banyak halte yang lantainya curam, beberapa di antaranya tidak dilengkapi dengan pegangan. Padahal pegangan menjadi alat bantu bagi difabel. “Emang bagus, tapi aksesnya itu belum. Yang kesulitan itu kan yang pakai kursi roda itu sebenarnya. Kalau kita tunanetra masih bisa,” kata Gede Winaya.
Bahan yang dipergunakan untuk lantai halte berbeda-beda. Di Sanur, pondasi dan lantai halte menggunakan besi. Padahal besi dapat menjadi licin apabila hujan turun, sebaliknya saat kering akan susah dinaiki. Penulis juga menemukan kondisi pondasi telah rapuh dan miring. Di trotoar menuju halte bahkan terdapat lubang galian tanpa papan peringatan.
Pengguna halte menunggu di badan jalan. Foto: Lily Damayanti
Inilah kondisi beberapa titik halte yang perlu pembenahan dengan amat segera, begitu pula dengan fasilitas bus yang perlu dengan sangat dalam memperhatikan kenyamanan untuk disabilitas, ibu hamil, anak-anak. Jika keadaannya seperti ini, apakah Bali sudah memprioritaskan difabel dalam merencanakan fasilitas publik?
Kondisi Ideal Trotoar dan Pelandaian yang Diharapkan
Berdasarkan pedoman perencanaan teknis fasilitas pejalan kaki yang dikeluarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), lebar efektif lajur pejalan kaki sesuai kebutuhan satu orang adalah 60 cm dengan lebar ruang gerak tambahan 15 cm untuk bergerak tanpa membawa barang bawaan sehingga kebutuhan total lajur untuk dua orang entah itu bergandengan atau berpapasan tanpa bersinggungan sekurang-kurangan 150 cm.
Selain ukuran lebar trotoar, jalur landai dan lajur pemandu untuk difabel juga memiliki persyaratan khusus sehingga akan memudahkan mereka sebagai pengguna jalan. Persyaratan jalan yang landai dirancang memiliki pegangan tangan setidaknya untuk satu sisi dan disarankan kedua sisi, pegangan tersebut dibuat dengan ketinggian 0,8 meter yang diukur dari permukaan tanah serta panjangnya harus melebihi anak tangga terakhir, tanpa melupakan penerangan yang cukup memadai.
Lajur pemandu bagi pejalan kaki yang berkebutuhan khusus seperti tuna netra dan yang terganggu penglihatannya tentu membutuhkan ubin kubah sebagai peringatan serta ubin garis sebagai pengarah. Ubin pengarah berupa garis lurus dan harus memiliki ruang kosong 600 mm pada kiri-kanan, sedangkan ubin peringatan ditempatkan pada ujung pedestrian untuk menghubungkan jalan dan bangunan dengan lebar minimal 600 mm.
“Dalam mendorong aksesibilitas dan inklusivitas di fasilitas trotoar, tidak cukup hanya melihat hal-hal ini sebagai checklist. Setiap kelompok difabel memiliki kebutuhan dan pengalaman yang khusus sehingga akomodasi dan fitur yang diperlukan juga perlu disesuaikan,” jelas Melani Alvianti, perancang kota dari Kota Kita.
Oleh karena itu, penting juga dalam pengembangan fasilitas trotoar di kota untuk melibatkan komunitas dan organisasi difabel dalam keseluruhan prosesnya mulai dari perencanaan, perancangan, pelaksanaan, dan pengawasan. “Jika akses trotoar di Bali dapat didorong untuk lebih ramah difabel, salah satunya dengan mengadopsi prinsip desain universal (universal design), fasilitas tersebut dapat bermanfaat kepada orang-orang dengan beragam kemampuan, tidak hanya disabilitas namun juga anak-anak, perempuan, dan lansia,” tutur Melani.
Di tempat wisata pun demikian. Di sepanjang Pantai Matahari Terbit yang semulanya tidak rata, berlubang bahkan tidak adanya jalur pemandu untuk mendukung kebutuhan difabel menjadi trotoar yang ideal, nyaman, ramah dan aman bagi difabel, ibu hamil dan anak-anak.
sumber: Perencanaan teknis fasilitas pejalan kaki, Kementerian PUPR
Inilah konsep ideal yang digambarkan dan direncanakan oleh Kementerian PUPR untuk menciptakan ruas jalan dan akses trotoar ramah difabel yang mengutamakan jalur pemandu, ramp yang tidak curam, material jalan yang tidak licin, ketinggian trotoar hingga penerangan jalan. Namun sayangnya, kondisi di lapangan masih memprihatinkan.
“Trotoarnya sangat memprihatinkan karena selain banyak lubang, ada juga dipakai tempat parkir, kadang-kadang berjualan. Jadi kita sulit lewat di trotoarnya. Sempat pernah juga kita jatuh gitu di lubang di tengah trotoar. Lebih enak di bawah (badan jalan),” cerita Gus Dwi, difabel netra
Dewasa ini, trotoar mulai beralih fungsi yang awalnya dimanfaatkan oleh para pejalan kaki untuk berjalan kaki malah menjadi tempat berjualan seperti contoh di Ubud. Kurangnya lahan trotoar akibat alih fungsi ini tentu menjadi kesulitan bagi pejalan kaki sehingga mau tidak mau mereka memilih menggunakan ruas jalan dan berdekatan dengan kendaraan yang berlalu-lalang.
“Kalau untuk di daerah Ubud kami memang ada kesulitan, di situ banyak sekali toko yang memang aksesnya langsung ke jalan, space sempit,” tutur Puspa Dewi, Kepala Bidang Bina Marga (15/5).
Alih fungsi trotoar, Ubud, foto: Lily Darmayanti
Selain keberadaan trotoar mulai beralih fungsi, kelayakan trotoar juga makin membahayakan seperti tidak rata, berlubang, dan belum memprioritaskan difabel. Tak hanya Ubud, juga Pantai Matahari Terbit dan sentral parkir Kuta.
Gambar sebelah kiri kondisi trotoar di Sentral Parkir Kuta dan gambar sebelah kanan kondisi trotoar di Pantai Matahari Terbit, Lily Darmayanti
“Belum lagi tingginya, enggak semua pakai turunan gitu ya. Belum lagi rusak-rusak. Terutama yang sering saya lalui dari Teuku Umar sampai Diponegoro, Sudirman. Parah itu,” keluh Willy, difabel netra. Padahal teman-teman difabel senang berjalan-jalan entah itu untuk bekerja ataupun berjumpa dengan kawan-kawannya. Kebiasaan ini tentu membutuhkan trotoar sebagai akses untuk berjalan kaki.
Kendala PUPR Menangani Kelayakan Trotoar
“Selain anggaran kami juga terkendala terkait rumija (ruang milik jalan) terkadang ada pelanggaran dari masyarakat. Ada yang dipakai untuk jalan masuk sehingga ketika kami akan membangun fasilitas pejalan kaki akan menimbulkan konflik,” tutur Puspa Dewi
Maksudanya trotoar sebagai jalan bagi pengendara bermotor atau parkir mobil. Sementara itu, jalan juga seharusnya memiliki fasilitas yang mendukung kepentingan pejalan kaki seperti trotoar, jembatan penyebrangan, zebra cross dan lainnya.
Menurut PP No 34 Tahun 2006 tentang jalan. Jalan memiliki bagian-bagian yang diberi nama ruang manfaat jalan (rumaja), ruang milik jalan (rumija) dan ruang pengawasan jalan (ruwasja). Pemotongan ruas trotoar untuk jalan masuk pekarangan rumah masyarakat atau lahan parkir biasa terjadi dengan ketinggian yang sulit dijangkau oleh difabel pengguna kursi roda.
Terjadi pemotongan trotoar dan ukuran trotoar tidak sesuai. Foto: Lily Darmayanti
“Fasilitas trotoar yang kurang ramah difabel akan berdampak langsung pada keselamatan dan penghidupan komunitas difabel. Contohnya, teman difabel akan semakin jarang keluar dengan berjalan kaki, mereka akan semakin kehilangan sense orientasi arah jalan dan kehilangan hak mereka sebagai pengguna ruang publik (pejalan kaki), ungkap Melani Alvianti, perancang kota dari Kota Kita. Selain itu, mereka akan semakin mengandalkan kendaraan (taksi atau ojek online) karena lebih nyaman berkendara, sehingga akan membuat Bali semakin macet.
Masalah alih fungsi oleh pedagang atau pengendara, menurut sejumlah difabel netra, harusnya ditertibkan, bukan dibiarkan. “Satpol PP harus bergerak menghabiskan yang jualan, yang parkir motor di trotoar, supaya kelihatan trotoar itu bersih, bagi penyandang disabilitas jalan jadi gampang. Di mana ada kotoran jelek, harus cepat ditangani,” harap Gus Dwi.
Memahami Kebutuhan Difabel
Willy, laki-laki asli Buleleng ini kesehariannya sering berjalan dari arah tempat perkumpulan teman-teman difabel hingga ke arah Teuku Umar dan Diponegoro dengan tujuan bekerja. Selain berjalan, beliau juga mempunyai kebiasaan menggunakan transportasi publik yakni Trans Metro Dewata. Sejak kecil ia sudah menetap di Denpasar dan bercerita bahwa untuk mengetahui keberadaan halte di sepanjang perjalanan hanya mengandalkan suara yang bus saat berhenti.
Memilih berjalan di badan jalan membuatnya seolah lebih aman tanpa harus bersentuhan dengan motor yang parkir sembarangan ataupun orang yang berjualan. “Kritikan saya, kesadaran teman-teman di luar sana. Masyarakat diluar sana harusnya mengerti fungsi trotoar itu apa ya? Kan untuk kenyamanan pejalan kaki, bukan untuk parkir atau jualan,” keluhnya. Selain trotoar beralih fungsi, keberadaan trotoar yang belum layak seperti berlubang dan tidak rata juga menjadi kesulitannya.
Dengan hobi bernyanyi dan suara yang indah, ia pun mencari nafkah dari satu lokasi ke lokasi lain untuk menghibur para pengguna jalan. “Meskipun saya tidak bisa melihat, tapi jika orang-orang mengajak saya mengobrol dan mendengarkan suara saya, saya sudah senang,” ia bersemangat. Willy mengaku sebelumnya mengenyam pendidikan di salah satu universitas di Bali tapi memilih tidak melanjutkan. “Tidak semua kampus di Bali menerima difabel,” tukasnya.
Mengingat banyaknya kesulitan yang dihadapi oleh teman-teman difabel, perlu adanya pembenahan kawasan pejalan kaki dan halte yang inklusif. “Untuk contoh di Indonesia, ada beberapa daerah di Jakarta yang mulai mendorong pengembangan fasilitas trotoar yang lebih ramah difabel, contohnya di kawasan MRT bundaran HI menerapkan ketinggian trotoar yang tidak terlalu tinggi, menyediakan beberapa ramp dan jalur pemandu, namun hal ini belum dilakukan secara masif dan terintegrasi,” terang Melania Alvianti
Kami mencoba untuk simulasi pembenahan kawasan pejalan kaki di daerah Sudirman yang sering dilalui oleh teman-teman difabel terkhusus difabel netra.
Simulasi yang dilakukan tim peliput
Pembenahan kawasan pejalan kaki dan halte yang inklusif belum terlihat. Meniadakan keberadaan mereka pada layanan publik.
situs mahjong