Selasa (6/10) pagi saya langsung mendapatkan kabar begitu mengejutkan sampai mata saya melotot.
Ehh, enggak juga sih hehe. Anggap saja itu ungkapan saking kagetnya saya. Berita apa itu? Coba kalian tebak. Tepat sekali! Senin malam, tepatnya 5 Oktober 2020 pada malam hari wakil rakyat kita yang terhormat kompak mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Tentu ini memantik pro kontra di tengah masyarakat, dan paling dominan adalah kontra.
Gelombang penolakan begitu deras datang dari kelompok buruh dan mahasiswa. Wajar saja karena klaster yang sangat disoroti dalam Omnibuslaw UU Cipta Kerja ini adalah klaster Ketenagakerjaan.
Gelombang penolakan yang begitu deras nampaknya sulit lagi dibendung oleh pihak yang menolak. Tepat Kamis (8/10) ratusan ribu demonstran tumpah ruah ke jalanan di berbagai pusat pemerintahan yang tersebar di seluruh Indonesia. Tujuannya hanya satu, jegal Omnibus sampai gagal. Tak sedikit aksi berujung pada kekacauan (chaos) sehingga rusaknya berbagai fasilitas publik di berbagai daerah.
Kekacauan ini menjadi sorotan publik. Banyak pula masyarakat melayangkan kecaman dan hujatan kepada para demonstran. Main turun ke jalan aja, udah baca belum draftnya? Kaum intelektual kok anarkis! Bukannya belajar yang bener malah bikin rusuh, dasar gak guna! Itu beberapa hujatan yang berhasil saya rekam dalam pikiran saya.
Sebagai salah satu bagian dari barisan yang menolak Omnibuslaw ini tentu hujatan seperti itu berhasil membuat saya tersenyum. Kok senyum? Ya karena itulah tulisan ini lahir dan bisa kalian baca saat ini.
Hanya ada di negeri tercinta, Indonesia
Dalam tulisan ini saya tidak mau masuk ke dalam substansi dari isi UU Ciptaker yang sudah disahkan beberapa waktu lalu. Namun, menurut saya, ada beberapa hal yang menjadi dasar pihak buruh dan mahasiswa menolak UU Ciptaker ini. Kira-kira apa saja itu? Disclaimer dulu, kalian boleh setuju boleh juga tidak.
Pertama, menurut saya cukup janggal rasanya sebuah Undang-Undang yang begitu gemuk selesai sampai tahap ini dalam kurun waktu kurang dalam setahun. Masih ingatkah kalian bahwa wacana Undang-Undang Sapu Jagat (Omnibus Law) ini baru muncul saat Joko Widodo memberikan pidatonya sesaat setelah dilantik dalam Sidang Istimewa MPR 20 Oktober 2019. Coba kalian bayangkan, RUU yang terdiri dari 15 Bab, 11 klaster, dan hampir 1000 halaman ini hanya dibahas kurang dari setahun saja. Coba bandingkan dengan RUU lain seperti Perlindungan Kekerasan Seksual (PKS) yang sudah sejak tahun 2016 masuk RUU Prolegnas, tapi sampai detik ini belum juga disahkan. Bahkan sampai didepak dari RUU Prolegnas Prioritas Tahun 2020.
Bagaimana menurut kalian?
Kedua, menurut saya proses penyusunan Omnibus Law UU Ciptaker ini sangat terburu-buru, tak ada asas transparansi dalam penyusunannya. Kenapa terburu-buru? Pengesahan yang dilakukan harusnya pada penutupan masa sidang pertama 8 Oktober 2020 tiba-tiba dimajukan menjadi 5 Oktober 2020, entah apa alasannya. Pada saat proses pengesahan pun, banyak anggota DPR yang belum memegang draft RUU.
Kenapa tak ada transparansi? Tadi sudah sempat saya singgung sedikit, anggota DPR pun tidak mengetahui atau memiliki draft RUU-nya, apalagi masyarakat umum. Tentu saja ini patut dipertanyakan!
Ketiga, perubahan jumlah halaman pada setiap tahapan membuat kebingungan di tengah masyarakat yang ingin mencari kebenaran. Sebelum disahkan jumlah halaman yang tersebar di masyarakat versi 1.052 halaman, ada juga versi 905 halaman, selanjutnya versi 812 halaman, bahkan saat draft diserahkan ke pemerintah kembali terjadi perubahan menjadi 1.035 halaman. Dan kini beredar bahwa setelah berada di tangan pemerintah, jumlah halaman kembali berubah menjadi 1.187 halaman dengan dalih perubahan format.
Tolonglah, saya kira orang-orang yang berada di lembaga eksekutif maupun legislatif adalah orang-orang yang cerdas. Rasa-rasanya tak mungkin format berubah berulang-ulang. Apalagi format penulisan naskah UU sudah tertera juga dalam UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Apakah setiap tahapan memiliki perbedaan format? Entahlah.
Keempat, mungkin ini adalah hal yang paling fatal. Munculnya beberapa perubahan yang terjadi setelah draft RUU telah disahkan menjadi UU. Hal ini diungkap oleh jurnalis senior yang juga salah satu jurnalis favorit saya yakni, Najwa Shihab. Bahkan pihak Baleg DPR pun tak memungkiri adanya perubahan dalam draft.
Pertanyaannya, apakah perubahan substansi masih bisa dilakukan setelah draft sudah diketok palu menjadi UU? Jangankan perubahan substansi, perubahan tanda baca seperti (.) atau (,) tidak boleh dilakukan jika tak disepakati oleh peserta sidang. Tentu hal ini juga patut kita pertanyakan.
Kelima, dan ini mungkin jadi poin akhir yang akan saya bahas. Poin ini soal sosialisasi Omnibus Law UU Cipta Kerja yang dilakukan. Pasca disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja ini, pihak legislatif maupun eksekutif begitu gencar mensosialisasikan “keuntungan” Omnibus Law ini, baik melalui media sosial atau media massa. Banyak menteri hilir mudik hadir di acara televisi untuk memberikan klarifikasi dan mencoba memengaruhi khalayak ramai bahwa apa yang beredar di masyarakat sebelumnya adalah hoax. Dan apa yang disebarkan oleh pemerintah adalah yang paling benar.
Agak aneh memang ketika pejabat publik berstatement jika berbeda dari apa yang disampaikan pemerintah adalah hoax. Judgment seperti ini tentu menciderai semangat demokrasi di tengah masyarakat Indonesia yang tentu menghargai perbedaan pendapat. Pertanyaannya kemudian, kenapa baru gencar melakukan sosialisasi setelah Omnibus Law berhasil disahkan? Kemarin-kemarin kemana saja?
Aneh bukan? Ya, menurut saya sih aneh saja.
Jadi itu beberapa gambaran mengapa Omnibus Law UU Cipta Kerja ditolak oleh buruh dan juga mahasiswa di seluruh Indonesia. Belum bicara soal substansi, dari segi penyusunannya saja banyak hal yang mesti dicurigai bersama dan patut untuk dipertanyakan. Menurut saya lagi, sangatlah wajar ketika masyarakat menaruh curiga. Apalagi tindakan represif aparat kepada para demonstran dan jurnalis menandakan bahwa di Indonesia terjadi keadaan darurat demokrasi. Karena begitu banyak hal yang harus saya, anda dan kita semua pertimbangkan sebelum menyampaikan pendapat. Memastikan, statement yang kita keluarkan aman atau tidak.
Saya ingin mengutip pernyataan dari Zainal Arifin Mochtar, ahli tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) bahwa seharusnya peran pemerintah di situasi seperti ini adalah menjadi Helper. Pemerintah harus membantu memberikan begitu banyak pertanyaan masyarakat soal Omnibus Law ini, meladeni masyarakat berdialog soal ini. Bukan malah menjadi Stopper yang membungkam segala bentuk kritik yang tertuang dalam bentuk aksi demonstrasi, menangkap orang-orang dengan dalih menjadi provokator. Jika seperti ini bukannya menghadirkan rasa aman di tengah masyarakat, pemerintah lebih berhasil menghadirkan ketakutan di tengah kondisi pandemi seperti sekarang ini.
Kali ini Indonesia sedang mengalami dua krisis hebat yakni, krisis kesehatan dan krisis ekonomi. Jangan sampai Indonesia menambah krisis yang lebih parah yakni, krisis kepercayaan. [b]