Bagaimana bisa tetap menghasilkan duit dengan cara diam di rumah?
Bencana yang kita alami hari-hari ini tidak hanya bencana kesehatan dalam bentuk pandemi Covid-19. Namun, terjadi juga bencana ekonomi akibat terhentinya kegiatan mencari nafkah bagi kebanyakan orang.
Khususnya bagi masyarakat Bali, bencana ekonomi ini tentu sangat terasa. Ekonomi pariwisata berhenti berdetak akibat putusnya arus masuk turis dari mancanegara maupun domestik. Anak muda Bali yang sebagian besar mencari nafkah di sektor pariwisata pun menemukan dirinya tiba-tiba menjadi pengangguran.
Saya belum punya data kuantitatif menyeluruh untuk bencana ekonomi ini. Namun, dari berita Detik, sampai 7 April kemarin tercatat untuk wilayah Bali 19.124 pegawai telah dirumahkan dan 480 orang mengalami pemutusan hubungan kerja.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menambah beban pikiran Anda, para pembaca. Sebaliknya, saya bermaksud berbagi catatan awal dari penelitian Sasmita Research Lab tempat saya bergiat yang mungkin bisa menumbuhkan harapan bagi anak muda yang sedang bingung mau kerja apa.
The New Freelancers
Pertanyaan terbesar sekarang tentu saja bagaimana bisa tetap menghasilkan duit dengan cara diam saja di rumah, atau work from home. Sasmita Research Lab kebetulan sedang mengerjakan riset kecil, dengan hibah receh juga, yang meneliti anak muda dan tipe-tipe pekerjaan baru di era ekonomi digital.
Kami menemukan ada sekelompok anak muda yang mampu mengambil kesempatan dari tersedianya pekerjaan tidak tetap kecil-kecilan (gig) yang ditawarkan di Internet. Secara umum kita menyebut transaksi barang dan jasa yang sifatnya tidak tetap dan kecil-kecilan ini gig economy. Para pekerja lepas di gig economy yang kami teliti ini kerap kali disebut sebagai the new freelancer.
Sebagai contoh konkret, semisal ada pekerjaan membuatkan slide presentasi power-point untuk sebuah perusahaan yang berani membayar sampai $20 per slide presentasi. Pekerjaan ini bisa dikerjakan dari rumah oleh salah seorang responden kami yang fasih menggunakan Microsoft Power Point dan juga berbagai software manipulasi visual lainnya.
Seorang responden lain mengerjakan proyek-proyek animasi dan menggambar desain untuk klien Eropa. Skill yang ia miliki adalah kemampuan menggambar dan menggunakan piranti lunak menggambar di komputer. Besaran proyek yang ia kerjakan dapat mencapai ribuan dolar yang ia kerjakan dalam jangka waktu beberapa bulan.
Para anak muda responden kami ini menawarkan jasanya di situs seperti 99design dan fiverr. Di situs fiverr anak muda bisa menawarkan berbagai jasa seperti desain, fotografi, sampai terjemahan. Awalnya mereka ikut berkompetisi menjajakan jasa.
Lambat laun, mereka mulai mempunyai klien tetap yang mempercayakan banyak gig dan memberi mereka pemasukan yang relatif tetap.
Merunut data yang disediakan oleh Boston Consulting Group (BCG), industri yang menyerap jasa dari para pekerja lepas ekonomi digital ini dapat dibagi menjadi sektor keterampilan (skill) tinggi dan sektor keterampilan rendah. Sektor keterampilan tinggi adalah sektor yang biasanya dapat dikerjakan dari rumah. Misalnya, penyediaan jasa membuat software, desain, dan lain-lain. Sementara sektor keterampilan rendah merujuk pada pekerjaan seperti berbagi kendaraan dan jasa pengantaran barang.
Sebagaimana kita sadari, sektor keterampilan rendah ikut terpukul dengan adanya pembatasan mobilitas sosial akhir-akhir ini. Berita baiknya, sektor keterampilan tinggi juga tidak kalah menyerap tenaga kerja dibandingkan dengan sektor keterampilan rendah. Sektor keterampilan tinggi menyerap sekitar 32 persen dari tenaga kerja di ekonomi digital.
Sumber: diolah dari Wallenstein et al (2019), The New Freelancers: Tapping Talent in the Gig Economy, Boston Consulting Group Henderson Institute.
Tantangannya bagi anak muda sekarang, tentu saja, adalah mendapatkan keahlian keterampilan tinggi seperti desain, coding, dan lain sebagainya agar dapat bekerja dari rumah saja. Yang menarik, keterampilan para responden kami ini tidak selalu didapatkan lewat pendidikan formal. Dua responden yang menjadi contoh di atas pendidikan formalnya adalah D3 Pariwisata dan sarjana sastra.
Lalu dari mana mereka mendapatkan skill menggunakan piranti lunak untuk menggambar dan membuat desain? Ternyata dari lingkungan pertemanan dan tersedianya piranti lunak gratis yang bertebaran di Internet maupun rental persewaan piranti lunak. Intinya, para responden kami yang bekerja di ekonomi digital ini sebagian besar otodidak.
Hemat saya, di sini letak keunggulan komparatif anak muda kita. Keterampilan menggunakan piranti lunak disain semacam Corell, Photoshop, Power Point dan sebagainya termasuk keterampilan mahal di negara-negara maju. Sebabnya tentu saja adalah modal awal, initial investment, bagi mereka yang ingin belajar software tersebut sudah cukup mahal karena diharuskan membeli atau berlangganan.
Namun, di Indonesia keterampilan ini relatif mudah dipelajari secara otodidak akibat bertebarannya tempat persewaan software murah meriah di seputaran dekade 2000an di Yogyakarta dan juga di kota-kota besar lainnya.
Kemampuan Bercita-Cita
Tentu saja sedikit cerita saya ini tidak akan dengan serta merta menyelesaikan masalah kaum muda yang sedang kesulitan pekerjaan. Namun, saya harap cerita ini bisa menumbuhkan cita-cita kaum muda. Menurut pengalaman seorang antropolog India yang meneliti kemiskinan di perkotaan, kemampuan untuk bercita-cita ini penting dalam usaha mengentaskan kemiskinan.
Pengalaman mendengarkan cerita positif tentang pekerjaan yang memberi penghasilan layak bisa melecut semangat anak muda. Istilah Bali-nya, jengah. Kalau anak muda tempat lain bisa, di Bali tentu juga bisa. Daftar cita-cita mereka pun bisa bertambah dan tidak terbatas hanya pada keinginan untuk bekerja di sektor formal industri jasa.
Idealnya selain bekerja di sektor formal industri jasa, para anak muda juga menjadi pekerja lepas di ekonomi digital. Dua pekerjaan ini sifatnya dapat saling melengkapi.
Kembali merujuk data dari laporan BCG di atas, sebagian besar pekerja di industri digital ini mempunyai pekerjaan utama lainnya. Untuk kasus Indonesia, hanya 3 persen dari responden survei yang menyatakan bahwa bekerja di ekonomi digital ini adalah pekerjaan utama. Sebagian besar, sekitar 23 persen, menyatakan bahwa ini adalah pekerjaan sambilan.
Menariknya, walaupun ia bukan pekerjaan utama, justru pekerjaan sambilan di gig economy ini memberi lebih banyak pemasukan bagi para responden. Fenomena ini terjadi di ekonomi negara-negara seperti China, India, Brazil, dan juga, Indonesia.
Ke depan, semoga anak muda Bali makin banyak yang mencari nafkah di arena ekonomi digital atau gig economy ini. Segera setelah pandemi ini berlalu. Semoga! [b]