Teks I Putu Adi Susanta, Ilustrasi Internet
Teknologi terus berkembang demikian juga dengan permainan anak-anak. Dulu kita masih sering jumpai sekumpulan anak bermain kelereng atau petak umpet di pinggir jalan atau tanah lapang sekitar rumah.
Tapi, kini permainan tersebut sudah sangat langka. Padahal permainan tersebut sarat dengan kebersamaan dan canda tawa khas anak-anak.
Coba saja berkeliling di areal perkotaan Denpasar. Misalnya, di perumahaan tempat tinggal saya, Perumnas Monang-maning di Denpasar Barat. Saya sangat jarang menemukan permainan ini.
Anak-anak di sini lebih suka bermain game elektronik seperti Playstation (PS), konsol permainan modern canggih. Apalagi beberapa tahun terakhir, peralatan ini booming dengan berbagai pernik pendukung dan rilisan terbaru, Playstation 3.
Salah satu pecandu PS adalah Ucup, begitu dia biasa dipanggil oleh teman-temannya. Minggu pagi lalu dia sudah asik menekan-nekan stik game putih kusam yang mungkin sudah beratus-ratus kali berpindah tangan.
Sudah sejam dia asik di depan televisi beradu kepandaian dengan program game komputer lawan mainnya dalam Winning Eleven PES (WE PES). Ucup terlihat piawai memainkan permainan sepak bola yang kondang di kalangan penyuka permainan (gamer) ini. Dia bahkan kerap menjuarai lomba-lomba tingkat lokal perumahan bahkan pernah se-Denpasar.
Siswa kelas 1 di salah satu SMU PGRI di Denpasar ini mengaku sudah bermain Playstation sejak kelas 4 SD. Awalnya hanya coba-coba, bareng dengan beberapa teman patungan sewa satu unit agar biaya sewa sejam tercukupi.
Kini, dia bisa betah berjam-jam di depan layar datar monitor TV 29 inchi andalan rental. “Cape, sih, nggak. Cuma, kadang-kadang mata lelah,” katanya.
Jam Ucup bermain PS bisa dibilang rutin. Pulang sekolah istirahat sebentar, makan minum, sorenya mulai pukul tiga sudah asik bermain hingga pukul lima kadang lebih. “Tenang, Om. Saya sudah diizinin orang tua, kok,” sergahnya cepat. Sepertinya dia tahu topik yang akan saya tanyakan sebelum saya mengutarakan.
Pukul delapan malam dia kembali lagi ke tempat ini. Baginya rental berukuran 2,5 x 5 meter persegi ini adalah rumah kedua. Sebagian teman bermainnya ada di tempat ini: konsol PS, TV layar datar ukuran gede, kaset WE PES, dan penunggu rental yang tiap saat ada untuknya.
Untuk urusan prestasi, Ucup berada di kategori menengah. Dia tidak pernah tinggal kelas, tidak pernah juga mendapat ranking kelas. Ranking teratas yang pernah dia peroleh adalah rangking 3 saat kelas 3 SD dulu. Waktu itu dia belum terkontaminasi PS.
Sejak mengenal PS prestasinya sedikit merosot. Rangking 10 besar tidak pernah diraihnya baik selepas SD, maupun saat SMP tetap sama. Dia tidak menampik jika dikatakan PS salah satu penyebab dia tidak pernah mendapat rangking kelas.
PS mungkin telah merampas waktu belajarnya yang berharga. Padahal waktu adalah barang mahal yang jika telah lewat kita tidak bisa kembali lagi untuk meraihnya.
Saat dikonfirmasi kepada pemilik rental apakah PS menyebabkan menurunnya prestasi belajar anak, sang pemilik hanya tersenyum datar. “Kami telah melarang anak sekolah yang menggunakan seragam untuk bermain di sini,” kata alumni Teknik Aritektur institut negeri terkenal di Surabaya ini.
Tidak bisa dipungkiri memang pedidikan terbesar yang diperoleh anak adalah lingkungan rumah. Sekolah hanya bertanggung jawab mulai pagi hingga siang hari saat berada di dalam kelas. Selebihnya adalah milik orang tua. Tugas orang tualah yang membangun fondasi anak agar siap di masyarakat kelak. Demikian penjelasan seorang pakar pendidikan yang saya baca di sebuah situs.
Tidak salah juga, sih, para pengusaha rental PS. Mereka hanya berusaha memperoleh penghidupan dari usaha permainan anak modern. Mungkin tugas pemerintah untuk menertibkan dan membuat peraturan bagaimana seorang anak tidak membuang waktu belajarnya yang berharga. Tujuannya agar masing-masing dapat hidup berdampingan dengan baik. [b]
Foto dari thebitbag.com.