Jarak mereka seperti bumi dan langit.
Gubuk tempat Kadek Sriati berjualan hanya berdinding gedek dan berlantai semen. Di gubuk itu, perempuan satu anak tersebut berjualan bersama ibunya. Barang dagangannya mie, kopi, rokok, dan aneka jajanan instan lain.
Tempat Kadek berjualan persis di pinggir Danau Batur, Kintamani, salah satu danau paling eksotis di Bali. Pemandangannya memang indah dengan danau, kabut, bukit melingkar, dan gunung Batur menjulang di sisi barat.
Gunug dan danau Batur masuk Kabupaten Bangli. Jaraknya sekitar 60 km, 2 jam perjalanan dengan mobil atau sepeda motor dari Denpasar.
Danau Batur termasuk salah satu daerah yang menarik turis, baik domestik maupun asing, ke Bali. Berdasarkan data Dinas Pariwisata Kabupaten Bangli, dari sekitar 2,5 juta turis ke Bali, 410.000 di antaranya berkunjung ke Kintamani, termasuk Batur.
Namun, banyaknya turis tak berpengaruh pada Sriati dan ibunya. Pembeli di warungnya tak banyak. Malah sebaliknya, sepi. Hal ini memengaruhi pendapatannya, per hari rata-rata Rp 50.000. Itu juga kalau beruntung. “Kalau lagi sepi ya bisa tidak dapat sama sekali,” katanya.
Akhir April lalu, ketika saya ngopi di warung mereka, tak ada satu pun pembeli lain di warung Kadek. “Kalau dulu di tempat lama bisa dapat sampai dua ratus ribu per hari. Karena ramai,” ujarnya.
Sriati baru dua bulan lalu memindahkan warungnya. Sebelumnya, dia berjualan di tempat berjarak sekitar 500 meter dari tempatnya jualan sekarang. Di tempat baru sekarang, warung Sriati persis di pinggir danau.
Bapak Sriati, Nyoman Narda, petang itu juga di warung tersebut. Menurut Narda sesekali air danau sampai masuk warung. “Dulunya warung kami di sana,” ujarnya sambil menunjuk ke arah sekitar 5 meter di depannya.
Sore itu, Narda duduk lesehan di warungnya sambil memperbaiki jaring. Sehari-hari, kakek berusia 67 tahun ini mencari ikan dari danau Batur. “Sekarang musim lagi tidak bagus. Ikan makin sedikit,” tambahnya.
Kian berkurangnya pendapatan Sriati dan ikan tangkapan Narda itu terasa amat ironis ketika melihat beberapa hotel dan resort di sekitar mereka. Sebagai tempat wisata, tentu saja Batur pun tempat di mana hotel dan penginapan bertebaran.
Salah satu resor di samping Sriati dan Nardi, misalnya, menjual kamar seharga sampai Rp 2,5 juta per malam. Resor ini, tentu saja, mewah. Tak cuma kamarnya tapi juga dilengkapi kolam renang plus dua bak besar untuk jacuzzi di halaman ataupun di kamar mandi.
TV layar datar ada di kamar dan ruang tamu. Di dalam kamar juga ada pendingin ruangan (AC). Padahal, suhu di sekitarnya sudah berkisar belasan derajat celcius.
Melihat air berlimpah di salah satu kamar resor ini, saya jadi ingat ketika berjalan di bukit-bukit yang mengelilingi kaldera Batur 2009 silam. Tak jarang saya bertemu warga dengan tampang belepotan mukanya. “Tak ada air untuk mandi,” kata mereka.
Kemewahan di resor dan hotel di Batur terasa mengiris hati ketika mengingat masih banyak warga Bali yang juga dalam kemiskinan. Cerita Sriati dan Narda hanya salah satu. Saya yakin masih banyak cerita lainnya.
Cerita lain, misalnya di sisi selatan Bali, pantai Ungasan, Kuta Selatan. Di balik bukit-bukit itu masih ada puluhan warga tinggal di gubuk reot sementara di atas mereka ada resor dan hotel eksklusif yang tarif per malamnya bisa sampai Rp 81 juta.
Lalu di Karangasem ada warga yang tiap hari harus berjuang mencari air bersih sementara di tempat lain ada yang membuang-buangnya untuk fasilitas pariwisata. Semua itu terasa amat pahit ketika tahu bahwa tarif menginap di sebuah vila di Bali bisa mencapai Rp 137 juta per malam!
Orang-orang miskin di Bali ini, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Bali, jumlahnya justru meningkat. Hingga September 2011 lalu jumlah orang miskin di Bali ini 183.000 dari sekitar 3,5 juta penduduk Bali atau sekitar 4,5 persen.
Tapi, standar kemiskinan di Bali ini amat kecil, Rp 240.543 per bulan. Artinya, orang dengan pengeluaran Rp 250.000 per bulan atau sekitar Rp 9.000 per hari itu sudah tak termasuk miskin. Hari gini uang Rp 10.000 belum tentu cukup buat makan sekali di Bali.
Tapi, ya begitulah. Di balik mewahnya hotel, bar, resor, dan vila di Bali, masih banyak warga yang hidupnya jauh dari standar layak. Mereka tetap hidup pas-pasan ketika turis menikmati pulaunya dalam kemewahan. [b]
Loh baru tahu ya? Dari dulu yang namanya pariwisata itu tidak pernah dinikmati oleh orang Bali keseluruhan. Memang ada sebagian orang Bali yang bekerja di pariwisata, namun masih sebatas room boy, cleaning servis dsb, dengan kata lain masih kelas “kacung”. Boss dan Big Boss tentu saja orang Bule.