Selasa pekan lalu kantor FFTI penuh sesak oleh mahasiswa Hubungan Internasional, FISIP Unud.
Mereka “pindah tempat kuliah” sementara ke lantai 2 kantor Federasi Fair Trade Indonesia (FFTI), mengikuti Fair Trade Lunch, sebuah kegiatan rutin yang diadakan FFTI untuk memperkenalkan perdagangan berkeadilan (fair trade).
Acara diawali dengan pengantar globalisasi yang disampaikan Idin Fasisaka, dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Udayana (Unud). Idin memaparkan bahwa perkembangan dunia makin lama makin mencair di mana antara negara satu dengan lainnya hampir tidak ada batasan. Hal ini biasa disebut liquidity. Tiga konsep globalisasi yang ditekankan di sini adalah transnationality, globality dan gaseousness.
Globalisasi terjadi hampir di semua aspek kehidupan. Salah satunya adalah ekonomi, khususnya perdagangan. Isu yang hangat dibicarakan adalah bahwa praktik perdagangan bebas (free trade) selama ini memunculkan ketimpangan antara Negara kaya dan Negara miskin. Dari keprihatinan ketimpangan ekonomi tersebut, muncul gerakan fair trade yang mengutamakan dialog, keterbukaan dan saling menghormati antara konsumen dan produsen, mengutamakan hak-hak produsen di Negara berkembang.
Presentasi kemudian dilanjutkan dengan membahas fair trade dari pengertian, prinsip, dan praktiknya di tingkat lokal sampai global. Pematerinya Agung Alit, selaku Sekretaris Jenderal FFTI.
Menurut Gung Alit, fair trade harus dipahami dalam dua aspek, yaitu sebagai gerakan dan sebagai sebuah model bisnis. Dalam realisasinya, memadukan keduanya (sosial dan bisnis) tidak mudah dan merupakan tantangan tersendiri bagi para fair trader. Tapi komitmen untuk menghapus ‘unfairness’ dalam perdagangan menjadi motivasi utama dan mampu menyatukan gerakan fair trader di seluruh dunia melalui organisasi payung World Fair Trade Organization (WFTO).
Penjelasan teroritis dari Idin dan pemaparan praktis dari Gung Alit selaku praktisi fair trade ternyata mampu memancing rasa ingin tahu para mahasiswa. Banyak pertanyaan kritis muncul. Misalnya, “Bagaimana membuat fair trade menjadi tren sehingga bisa berjuang melawan kapitalis?”, “Bagaimana memaksimalkan produk lokal fair trade untuk menyaingi waralaba?”, “Apa prinsip fair trade yang paling sulit diterapkan?”, dan seterusnya.
Pertanyaan lain, misalnya, kenapa barang-barang fair trade relative lebih mahal, bagaimana upaya memasukkan fair trade dalam kebijakan, apakah fair trade berdampak pada China Asean free trade area, dan masih banyak lagi pertanyaan kritis mahasiswa.
Satu pembelajaran yang dipesankan Idin kepada mahasiswa HI setelah berdiskusi selama 2 jam adalah para mahasiswa perlu menumbuhkan culture of fairness, harus berani keluar dari zona nyaman dan mengkritisi unfairness yang terjadi.
Kami di FFTI, merasa senang sekali karena mahasiswa sangat antusias mengikuti acara ini. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul menjadi refleksi dan masukan bagi kami untuk lebih mensosialisasikan fair trade di kalangan yang lebih luas.
Kami berharap kerja sama FFTI dengan akademisi bisa terus berlanjut, sehingga fair trade bisa lebih dikenal di kalangan mahasiswa, dosen, dan stakeholder universitas lainnya, karena sejatinya Fair Trade bisa diterapkan di segala bidang, tidak terkecuali bidang pendidikan.