Sanur memang kini bukan lagi desa nelayan. Ia telah menjelma jadi tempat pelesiran.
Desa di sisi timur Denpasar ini juga menjadi pelabuhan bagi orang-orang yang akan menyeberang ke Nusa Lembongan dan Nusa Gede, Klungkung. Lanskap Sanur adalah pelancong yang menyeruput sebutir kelapa hijau, tawar menawar pernik, para bule yang menikmati brunch-nya di restoran dan sepasang lain yang bersepeda di jalur pedestrian.
Di sana, sebuah kisah juga pernah dikemah. Kisah ini bisa dibawa di Museum Le Mayeur, Sanur. Dia sekaligus menceritakan tak hanya tentang perjalanan seni rupa tapi juga romantika perempuan Bali dan lelaki dari Eropa.
Awal tahun 1930-an, seorang pelukis Belgia dan perempuan Bali asal Kelandis Denpasar pernah tinggal. Mereka adalah Adrien Jean “Le Mayeur” de Merpres dan Ni Pollok. Tahun 1933 rumah itu dibangun dengan bambu dan alang-alang sebagai atapnya.
Sejak 28 Agustus 1957, Le Mayeur dan Ni Pollok menyerahkan rumah beserta isinya ke Pemerintah Republik Indonesia untuk dijadikan museum. Museum dikelola di bawah naungan Dinas Pendidikan Pemerintah Provinsi Bali. Tiket masuk dikenakan bagi pengunjung, tarifnya dipisahkan antara pengunjung asing dan lokal. Masing-masing pun dikenakan biaya berbeda; lokal dewasa Rp 5.000 dan anak-anak Rp 2.000.
Bila rumah miliki riwayat, maka ia bicara lewat tinggalan-tinggalannya yang tersisa. Area di sana tak seberapa luas, dengan dua wantilan dan 2 bangunan pameran yang berukuran sedang. Asri, cukup nyaman dan teduh.
Pewayangan
Bangunan utama sekaligus bekas rumah tinggal pasangan pelukis-model lukisan itu, adalah bangunan klasik dengan tembok batu berukir. Lantainya berubin merah. Jendela kayunya yang berwarna hitam berpadu warna merah juga berisi ukiran kisah pewayangan. Perkakas seperti meja, lemari, pintu, aling-aling pun berukir.
Ada 5 ruangan dalam bangunan itu. Beberapa di antaranya adalah studio sang pelukis, ruang baca, dan paling ujung adalah ruang tidur pasangan ini serta ruang hias dan ruang mandi Ni Pollok.
Benda-benda di kediaman ini merekam kenangan sang empunya. Misalnya, lukisan-lukisan karya Le Mayeur. Dilukis di atas bagor, anyaman kasar dari daun rumbia, perempuan adalah mayoritas objeknya. Dengan latar kebun bunga, atribut perempuan Bali dengan tengkulak dan busana kain setengah dada sedang beraktivitas. Sedangkan di bangunan lain, tersimpan beberapa koleksi seperti bokor, hiasan pakaian tari Ni Pollok dan lainnya.
Sosok Le Mayeur dan Ni Pollok diabadikan dalam patung yang terdapat diantara dua bangunan tadi. Beda usia di antara mereka 37 tahun. Le Mayeur meninggal di Belgia karena sakit pada 31 Mei 1958. Sedangkan Ni Pollok meninggal di Kelandis pada 21 Juli 1985. Kini mereka abadi dalam lukisan-lukisan yang dipajang di museum ini, nama dan sosoknya.
Di sisi kiri arah pintu masuk terdapat sebuah wantilan. Di sana Ni Pollok pernah mendirikan sebuah cafe bernama Cafe Bali Night pada tahun 1970. Awalnya dibangun sebagai tempat bagi pengunjung untuk berbincang dengan Ni Pollok sembari makan malam. Karena alasan persaingan ia akhirnya ditutup.
Sanur pernah menjadi bagian romansa Le Mayeur dan Ni Pollok. Keduanya telah menjelma berbeda, rumah tinggal yang menjadi museum dan desa nelayan yang menjadi tempat pelesiran. [b]