Dari sekitar 3,5 juta jiwa penduduk Bali, barangkali hanya segelintir yang peduli posisi Bali saat ini.
Bali, sebuah pulau yang begitu kesohor ke seluruh belahan dunia, lantaran menjadi tujuan pelancongan utama dunia. Bali, yang juga sebuah pulau kecil dengan sumber daya alam terbatas, namun sarat beban. Menjadi destinasi wisata, menjadi kebanggaan Indonesia. Segala puja-puji dilekatkan kepada Bali. Namun layaknya sebuah sanjungan, selalu ada ancaman yang diam-diam menunggu di tikungan jalan.
Dan, sekali lagi hanya segelintir barangkali masyarakat Bali sadar akan hal ini. Bagian terbesarnya terlena dengan segala puja-puji, atau sibuk mendagangkan Bali.
Sebagian besar masyarakat Bali percaya bahwa pulau Bali dengan segala adat istiadat, budaya yang dimilikinya tak akan berubah. Akan tetap ajeg. Selamanya. Untuk kelestarian Bali ini, syarat utama adalah masyarakat Bali, khususnya pemeluk Hindu Bali, harus senantiasa setia dengan tradisi yang dijalankannya. Bila masyarakat Bali tetap taat menjalankan tradisi warisan para leluhurnya, maka niscaya Bali akan selamat mengarungi gegap-gempita perubahan zaman.
Pandangan demikian begitu kuatnya mencengkeram dalam memori kolektif manusia Bali. Yang muncul kemudian adalah sikap membabi-buta dan fanatik berlebihan terhadap tradisi yang dianut. Masyarakat Bali, sadar atau tidak sadar, lalu merumuskan standar-standar yang harus diikuti siapapun yang merasa diri sebagai manusia Bali.
Kalau mau bermukim di sebuah wilayah desa adat, dia harus ikut mebanjar atau medesa adat. Kalau mau diterima lingkungan harus ikut menyumbang uang untuk pembuatan ogoh-ogoh. Kalau ada upacara di pinggir jalan raya para pemakai jalan harus rela perjalanannya terganggu karena sebagian jalan ditutup, dan seterusnya. Sadar atau tidak sadar, masyarakat Bali tengah berproses pada pola ‘pemaksaan’ standar yang dimiliki agar dipatuhi orang lain (other, liyan).
Pada titik inilah kita tengah menyaksikan sikap manusia Bali yang kerap paradoks. Pada satu sisi orang Bali begitu girang mengundang orang luar (baca turis) untuk datang berkunjung ke Bali. Tanah-tanah begitu gampang beralih tangan dalam proses jual-beli lahan. Desa-desa adat terkesan berlomba-lomba mempersilakan orang-orang asing membuat villa dan bermukim di desanya.
Pada sisi berseberangan, institusi kelembagaan masyarakat Bali terasa belum meyiapkan sistem memadai dalam memperlakukan para pendatang globalisasi tersebut. Orang Bali tidak siap bersaing secara sehat dengan para migran yang datang dengan strategi tempur lebih canggih.
Dahsyat
Sebelum bertanding orang Bali sesungguhnya telah kalah. Sistem yang masih dianut ibarat rantai yang menyandera ruang gerak manusia Bali dalam memasuki kerasnya persaingan dunia modern. Seorang kawan yang kerap bicara kritis dan sekaligus prihatin perihal nasib Bali ke depan punya ilustrasi bagus soal kekalahan sebelum bertanding orang Bali ini. Sebutlah namanya Sunar.
Dalam amatan Sunar kekalahan pertama orang Bali adalah dalam hal waktu. Waktu orang Bali seperempatnya telah dicurahkan untuk urusan adat, tradisi, dan upacara. Sebutlah semacam gotong royong persiapan upacara, pernikahan, kematian, dan seterusnya. Sementara orang luar di Bali memiliki waktu relatif lebih leluasa. Mereka tidak wajib ikut mebanjar adat, tidak diganggu suara kulkul manakala ada warga yang meninggal, tak harus buru-buru menutup warung usahanya ketika ada hari raya Galungan. Skor sementara 3:4!
Kedua, dalam hal pengeluaran dana. Orang Bali menghabiskan uang yang diperolehnya untuk berbagai hal. Sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan pokok (makanan, pakaian, rumah, biaya pendidikan, kesehatan). Uang juga dihabiskan untuk biaya sosial, seperti biaya upacara, biaya kado saat kundangan ke kerabat yang menggelar upacara, sumbangan wajib ke desa adat ketika ada odalan/upacara di pura.
Anggaplah seperempat penghasilan orang Bali dihabiskan untuk keperluan sosial. Jadi skor sekarang berubah 2:4 (atau 1:2)! Skor 1:2 ini berlaku bila Orang Bali disandingkan dengan pendatang non-Bali, seperti Jawa, Padang, Sulawesi, dan sebagainya. Artinya kalau orang Bali dan non-Bali membuka usaha dengan modal sama Rp 10 juta. Peluang keberhasilannya dua kali pada orang non-Bali!
Bagaimana bila Orang Bali disandingkan dengan bule yang berusaha di Bali? Kondisinya akan lebih mengenaskan Kawan? Seperti Nang Lecir melawan Golliath!
Baiklah hitung-hitungan skor 1:2 tadi kita lanjutkan. Orang asing (Bule) yang berusaha atau bekerja di Bali menggunakan mata uang dollar USA yang kita ketahui kursnya berada pada kisaran Rp 9.000. Artinya bila orang Bali bermodalkan Rp 9.000.000 untuk buka usaha, di mata orang asing itu hanya bernilai 1.000. Skornya berarti 1:18.000!!
Berarti bila ada orang asing berusaha di Bali, kemampuannya 18.000 kali kemampuan Orang Bali. Dahsyat, kawan!
Manusia Bali harus berhadapan dengan raksasa bisnis yang kemampuannya super power. Bagaimana si orang Bali bisa menang. Analisis sederhana ini belum memperhitungkan faktor kemajuan pengetahuan bisnis si orang asing, penguasaan informasi, dan kekuatan jaringan global mereka. Bila itu dikalkulasi bisa jadi kita terhenyak dan sesak napas.
Dalam kondisi seperti ini bagaimana kita hendak berbicara soal kemampuan masyarakat Bali bersaing dalam perdagangan bebas? Tak aneh bila kemudian beredar luas di kalangan orang Bali anekdot berikut ini. “Orang Madura jualan sate lalu membeli tanah di Bali, sementara orang Bali menjual tanah untuk membeli sate orang Madura.” Hah!!
Cerita ini tentu tak hendak menjadikan orang Bali berubah pesimis. Apalagi goyah dan menyerah sebelum bersaing merebut peluang. Manusia Bali dituntut berani berubah. Mengubah cara pandang dalam melihat tradisi yang telah dilakoni turun-temurun. Mengambil hal-hal baik dari tradisi, dan membuang unsur-unsur yang menghambat menuju kemajuan.
Manusia Bali dituntut bijak melangkah ke depan, agar bisa tetap eksis tidak digilas oleh modernisasi. [b]
(Tulisan ini salah-satu tulisan dalam buku Pandora BALI, yang diterbitkan JogjaMedia Utama. Buku dalam proses cetak)
Kritis dan over pesimis!
tapi kami sebagai orang bali cinta dan bangga menjadi orang bali dengan begitu banyaknya adat dan tradisi…
serta gotong royong yg masih lekat…
untuk masalah usaha/ wirausaha banyak org bali yg sukses ber wirausaha walaupun masih erat memegang teguh tradisi masyarakat bali…
terima kasih
kalau org bali taat dengan adat istiadat, org bali akan terhambat utk maju dan berusaha, kalau org bali tidak taat dengan adat istiadat, maka org luar tidak akan pernah melihat kelebihan bali, sedangkan selama ini daya tarik bali adalah adat istiadat yang begitu kental dengan budaya kehinduannya…
org bali harus gimana?….
Ah,,, kami sudah membaca, kalau kami cermati ini semacam fiksi,, karena tidak menampilkan metode yang untuk mengukur sebuah aktivitas orang bali, dan cendrung ada indikasi memprofokasi problem yg bukan pada inti permasalahan itu tadi, yang membuat buku belum mengetahui apa itu “Tri Hita Karana”, dan yang membuat buku ini belum mengetahui betul apa itu “ADAT” mungkin mereka ini baru tahu tentang Bali dlm hal melihat dari jauh, Yang jelas Bali saat ini modern tanpa meninggalkan budaya dan tradisi. Bila ingin bicara lebih jelas tentang masyarkat bali datang ke semua Bendesa yang ada diBali,, paham,,?? Terima kasih.
terima kasih, semua komentarnya
Tulisan ini dilandasi kecintaan terhadap Bali. saya sendiri seorang krama adat di sebuah banjar adat di gianyar. bukan orang yg hanya koar-koar dari luar semata. saya masih ngayah, ngoopin, seperti warga Bali lainnya. tapi saya mencoba berefleksi terus-menerus. tidak hanya menjalankan tradisi begitu saja, namun mencoba mengkritisi. mana yang baik untuk generasi berikutnya, kita ambil. yang kurang baik, sebaiknya tanpa beban kita lepaskan. bukankah Tuhan memberi kita pikiran untuk itu? Adat, tradisi, tri hita karana, harus selalu kita diskusikan, praktekkan. kalau hanya jadi pemanis bibir, bukankah hanya akan membawa Bali pada kehancuran?? Tokoh Sunar, pada tulisan ini adalah riil. beliau juga seorang pemikir yg banyak berkontribusi bagi kerahajengan Bali ke depan. mari berdiskusi tentang Bali dengan fikiran terbuka dan dewasa, Trims.
Mohon tanya tentang sedikit kepercayaan org bali.
Saya kebetulan org sumatera, di daerah saya ada org bali membuka sebuah usaha, yg mna tempat usaha tersebut nyewa pda org lain. Kebetulan beberapa saat stelah pengusaha bali membuka usahanya, saya juga menyewa tempat di ruko disebelahnya dan masih satu atap dengan usaha org bali tsb dan kebetulan usaha kami sejenis.
Saya baru2 ini didatangi oleh org bali tsb, dan beliau berkata klau saya sudah menghalangi nafkah beliau, dan saya akan mendapatkan karma.
Begitu menurut kepercayaan pengusaha bali tsb.
Dari pihak pemilik ruko yg kebetulan org Jawa tidak mempermasalahkan siapa yg menyewa dan membuka usaha sejenis atau tidak.
Sedangkan menurut saya rezeki sudah ada yg mengatur, tinggal bagaimana cara kita meraih rezeki tsb.
Tolong beri saya sedikit pendapat bapak2/sdra2 mengenai hal yg saya alami ini. tx
Kalau niatan saya berusaha untuk mendapat rezeki dengan cara yg benar, dan berkompetisi yg sehat. Tetapi menurut pengusaha bali tsb cara saya berusaha tidak baik dan tidak sehat.
Padahal dilokasi dekat usaha kami tsb sdah bnyak pula usaha yg serupa tetapi yg jadi permslhan pengusaha bali tsb adalah usaha sejenis dalam satu atap, apakah memang benar ada kepercyaan semcam ini pda org bali.
Terima kasih atas info yg akan diberikan
Apa yang dikatakan penulis ini adalah dialog riil tentang dunia empiris dengan ketajaman intelektualnya, dan yang terpenting adalah kesadaranya tentang Bali sebagai diri dan sosial. Sepengetahuan saya, cukup jarang orang bali yang mau berdiri didepan cerminya sendiri dan berdialog secara objektif seperti itu. Kebanyakan orang justru menghindari cerminya, atau kalau tidak begitu, tetap berdiri didepan cermin dan terpesona dengan dirinya sendiri. Cukup banyak, bahkan terlalu banyak orang bali, yang sekarang ini masih menikmati romantisme seperti itu, padahal bali yang telah memilih cara dialognya sendiri yang telah jauh meninggalkan hal itu. Mari sama-sama memperjuangkan ‘rwabinedha’ Bali tapi bukan utk memenangkan salah satunya, itulah yg sebenarnya diperjuangkan penulis ini. Suggestku…terus kontestasikanlah nang lecir-nang lecir baru.dgn goliath2nya, agar baliku tdk terus-terusan dikaburkan, bukan oleh selimut kabut tropisnya yang lembut, tetapi oleh para penutur-penutur aslinya. Kutunggu, wajah-wajah kritismu dicermin yang lain.
@ Me July: cuekin saja, memang sudah bikas (sifat)nya begitu.
sedih dan miris melihat banyak masyarakat bali yang terlena dengan kemajuan zaman yang berisi berbagai rayuan manis. semoga ada tindakan nyata untuk segera mulai berbenah dan sadar akan semua bencana yang nantinya datang, dan jargon “Ajeg Bali” tidak hanya menjadi kata-kata yang dilontarkan di setiap pertemuan adat, tetapi benar-benar nyata dan pasti.
Salam.
Lakukan Yadnya jika iklas, jika tidak iklas lupakan saja. 🙂
kita harus bersikap militan.jangan tunggu seperti nasib orang melayu di singapura