Awalnya adalah tolehan ke papan informasi di Kampus Sastra Unud di Jalan Nias.
Ada satu judul selebaran yang menarik perhatian: New Historicism dalam Sastra dan Kajian Budaya. Judul itu menjadi tema seminar bulanan Program Kajian Budaya Universitas Udayana (Unud) Bali.
Hardiman dan I Wayan Artika bersanding sebagai pembicara pada Jumat dua hari lalu itu. Wayan Artika namanya saya kenali dari novelnya yang berjudul Incest. Novel ini pernah dibicarakan lantaran sanksi adat yang diterima penulisnya atas isi novel tersebut. Sedangkan Hardiman merupakan staf pengajar Seni Rupa di Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja juga kurator dan penulis seni rupa. Keduanya bicara mengenai pendekatan sejarah baru dalam karya sastra dan seni rupa.
Berkiblat ke Barat, teori pendekatan baru dalam karya sastra dan seni rupa kali pertama digunakan pada tahun 1982 dalam sebuah pengantar edisi Jurnal Genre oleh Stephen Greenblatt. Dari penjelasan Artika, ide dari pendekatan ini yakni bagaiamana sebuah teks sastra dan teks-teks lain bisa disusuri ideologinya, dan mengungkapkan problem-problem di zaman itu juga.
“Kondisi sosial di zamannya dikonstruksi ke dalam teks-teks ilmiah,” ujarnya sehabis sesi diskusi selesai.
Tidak hanya teks bergenre sastra, teks-teks lain yang sama-sama hidup sezaman ditelusuri dan dicari keterkaitannya. “Apakah itu mirip teori intertekstual dalam istilah teori sastra?” tanya seorang peserta.
Namun dijawabnya, intertekstual itu merupakan metodenya. “Tantangan para peneliti ialah, sejauh mana ia mampu meneliti hubungan teks dan jaman teks itu diciptakan,” katanya.
Pengenalan New Historicism ini dijabarkan Artika di sesi awal. Celakanya saya kehilangan momen saat ia giliran menjelaskan perihal penerapan New Historicism dalam karya-karya sastra lokal di tanah air. Untung, Hardiman yang bicara dari kaca mata seni rupa cukup memuaskan.
Seni rupa meskipun ilmu yang tua, tapi teori-teorinya bisa dibilang masih muda. Begitu sebut Hardiman. “Teorinya banyak yang meminjam ada dari bahasa, antropologi. Makanya hutangnya banyak,” sebutnya setengah berkelakar. Dalam presentasinya, ditayangkan eksplorasi karya-karya perempuan dengan isu feminisnya menjadi pengait antara bidang obyek dengan sudut pandang analisisnya.
Satu gambar sketsa tubuh perempuan telanjang ditayangkan. “Ini yang membuat seniman perempuan karena alasan untuk menandingi terbitan ponografi yang gemar dibaca suaminya,” jelasnya.
Seni rupa, dalam bentuk simbol visualnya juga bicara soal jiwa jamannya. Seorang penanya kebetulan bertanya soal lukisan Djoko Pekik dan artikel Shindunata yang dimuat Kompas. Menyoal artikel itu, kritik sosial dengan simbolisasi “celeng” dihadirkan Shindunata untuk menyatakan pendapatnya soal negeri ini belakangan.
Simbol binatang dan pemilihan warna, dijelaskan Hardiman identik dengan si pelukis Djoko Pekik yang merupakan seniman Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra). “Nafas-nafas Lekranya kerasa, “ sebut Hardiman.
Selesai pertanyaan dijawab, diskusi itu berakhir. Pendekatan New Historicism dalam kajian sastra dan budaya mendapat tempat sama. Sama-sama menjadi paradigma atau kaca mata akademik dalam membedah keberadaan hasil budaya, macam sastra dan seni dan relasinya dengan kondisi sosial zaman.
Satu hal yang belum dibicarakan serius tampaknya, bagaimana memasyarakatkan kesusastraan ini agar tidak melulu hidup dalam eksklusivitasnya. [b]
Luar biasa kemajuan kajian budaya UNUD… sukses Bang
Saya tertarik dengan postingan anda ini. Ketiganya kental sekali dianggap sebagai kebudayaan di Indonesia ini.
Saya juga mempunyai tulisan yang sejenis yang bisa anda kunjungi di Informasi sastra Indonesia