Teks Bentara Budaya Bali, Ilustrasi I Nyoman Darma Putra
Bali, dengan segala problematikanya, selalu menyimpan hal-hal yang menarik untuk ditelisik, seakan tak habis-habis dikikis.
Hingga kini, nilai serta warna budaya lokal masih mampu menyita perhatian para novelis ataupun cerpenis Bali, sebagai titik berangkat karya-karya mereka. Dua di antaranya adalah Wayan Artika dan Komang Ariani.
Dalam diskusi Sandyakala Sastra # 8 yang digelar Bentara Budaya Bali pada Rabu kemarin, kedua sastrawan Bali tersebut berupaya membagikan pengalaman kreatif proses penulisan novel mereka yang secara kebetulan keduanya mengusung topik “Kembar Buncing”. Dalam kepercayaan masyarakat Bali, kelahiran kembar buncing dipandang sebagai sebuah kutukan atau aib. Karenanya, berbagai ritualpun dilakukan termasuk pengucilan dari desa setempat (kasepekang).
Dalam novel Incest, Wayan Artika menguak kasus Kembar Buncing yang memang pernah terjadi di desa kelahirannya, Batungsel, Tabanan. Hanya saja, ketika tulisan itu dimuat secara bersambung di Bali Post, dia sering mendapat teror dan ancaman.
“Mereka menganggap saya telah merusak adat dan keberadaan saya tidak bisa diterima lagi,” tutur Wayan Artika, yang juga menulis Rumah Kepompong dan antologi esai budaya Kembali ke Bali, mengawali dialog malam itu.
Walaupun tema yang diangkat sama, namun Komang Ariani, tidaklah mengalami perlakuan sebagaimana dialami Wayan Artika. Penulis kelahiran 19 Mei 1978 yang juga sempat bergiat sebagai penyiar dan jurnalis global Bali FM serta KBR 66 H ini, melalui novel “Senjakala”nya (2010), mengisahkan bocah laki-laki bernama Raka yang kembar buncing dengan Naka.
Raka menghilang tanpa jejak. Masyarakat percaya kalau ia disembunyikan makhluk halus di kawasan wisata Gunung Kawi. “Dalam proses pencarian itu, muncullah Lily, wartawan keturunan Tionghoa yang kemudian jatuh cinta pada Cakra, pemuda Bali,” tambah Komang Ariani yang pernah meraih pemenang Pertama Lomba Menulis Cerita Bersambung Femina 2008.
Sastra, media kritik sosial
Apa yang ditulis oleh Komang Ariani maupun Wayan Artika bolehlah dibaca sebagai upaya merespon dan menyikapi secara kritis tradisi yang mengakar dalam masyarakat. Bali tidaklah semata dilihat sebagai pulau elok nan eksotik, karena pada nyatanya masyarakat tengah menghadapi permasalahan yang kompleks; ketegangan antara keinginan untuk menjadi manusia modern dan keteguhan mempertahankan tradisi yang ada. Karenanya, sastra dipandang sebagai media yang mampu menjadi kontrol sosial sehingga masyarakat mampu menyikapi fenomena yang ada dengan lebih bijak.
Seorang penanya yang bergiat di Kajian Budaya, juga mengungkapkan kecemasannya akan adat Bali yang dirasa kurang humanis. Terlebih mengenai masalah pelarangan penguburan mayat bagi mereka yang dipandang tidak se’arah’ dengan masyarakat setempat. Apabila tidak disikapi dengan cerdas dan penuh pengendalian, persoalan yang rentan ini, bukan tidak mungkin akan menciptakan massa yang radikal, yang tidak lagi memahami philosofi yang mendasari adat itu sendiri.
“Dalam hal ini, bolehlah dikatakan bahwa sastra merupakan penjaga kesadaran masyarakat,” tambahnya.
Dalam diskusi, sempat mengemuka tetang kemungkinan adanya tren mengangkat konflik adat, terumata bagi para penulis muda. “Saya berpikir, untuk mengangkat nilai-nilai lokal, kita tidak mesti melulu mengacu pada permasalahan antar atau intern adat. Misalkan saja Putu Wijaya, dalam karyanya yang fenomenal, Malam bertambah Malam, ia berhasil memunculkan spirit Bali,” ucap sastrawan Aryanta Soetama.
Juwita Lasut, staf Bentara Budaya Bali, berharap diskusi ini mampu menjadi ruang dialog yang sehat bagi siapapun untuk mengemukakan pikiran dan gagasannya serta tak ragu untuk bersilang pendapat. Menurutnya, Sandyakala Sastra ini memang sengaja dibuka untuk publik, agar sastra tak semata hanya ditujukan untuk kalangan tertentu saja.
“Kami tentu sangat senang, apabila pada pertemuan-pertemuan berikutnya semakin banyak kalangan yang terlibat, terutama teman-teman kaum muda,” ujarnya. [b]
Ilustrasi diambil dari Dasar Bali.