Teks dan Foto Anton Muhajir
Setelah saya menunggu sekitar 30 menit, sebuah mobil tua datang masuk halaman studio Antida.
Dadang SH Pranoto, vokalis Dialog Dini hari (DDH), di balik setir mobil Holden produksi tahun 1963. Tadi pagi kami sepakat bertemu di studi di Jl Waribang, Padanggalak, Denpasar Timur ini.
Dadang menggunakan pakaian kebesarannya. Ikat kepala (bandana), baju lengan panjang tanpa kancing, celana gelap, dan sepatu hitam. Pakaian itu selalu saya lihat tiap kali dia dan dua personil DDH lain, Deny Surya dan Brozio Orah, tampil.
Saya cuma dua kali melihat penampilan langsung mereka di panggung. Tapi, sejak sekitar dua bulan ini, lagu-lagu mereka selalu saya putar di laptop saat menulis. Tak terhitung berapa kali mengulang.
Toh, meski sudah pernah menonton mereka di panggung dan tiap hari bergumul dengan kata-kata indah di lagu-lagu mereka, baru kali ini saya bisa ngobrol secara personal dengan Dadang, frontman DDH. Penampilan dia sangat khas dengan ikat kepala, rambut terurai sebahu, baju lengan panjang, dan kaca mata. Begitu juga sore itu.
Usai menyapa, berkenalan, dan berjabat tangan, Dadang mengajak kami pindah ke halaman belakang studio Antida. Halaman belakang lebih luas dibanding halaman depan. Rumput hijau tertata rapi setelah beranda belakang. Di beranda yang juga semacam bar ini -termasuk meja dan minuman-minumannya-, penabuh drum DDH, Deny Surya sedang asik dengan komputer jinjing bergambar apel tergigitnya. Kami sekadar salaman dan berkenalan.
Dadang mengajak saya duduk di tengah halaman rumput hijau. Di sana ada dua kursi dan satu meja. Jumat lalu, di halaman ini pula mereka meluncurkan album kedua. Peluncuran album ini dihadiri sekitar 300 orang. Halaman berukuran sekitar 10 x 10 meter itu penuh pengunjung saat peluncuran.
Tapi, bagi Dadang, bukan peluncuran itu sendiri yang penting. “Launching memang penting, tetapi prosesnya jauh lebih gila,” katanya. Bagi Dadang, proses lebih menarik dibanding hasil. “Klimaksnya saat penonton ramai. Itu luar biasa. Itu bonus,” tambahnya.
Memancarkan Cahaya
Nama DDH sudah saya kenal sekitar dua tahun lalu. Salah satu yang saya ingat adalah video klip mereka yang duduk santai di tengah bebatuan gunung. Sepertinya, sih, di sekitar lereng Gunung Batur, Bangli dengan batu-batu sisa lahar. Setelah itu, saya beberapa kali mendengar atau membaca tentang DDH. Salah satunya di majalah Rolling Stone Indonesia. Atau, ketika beberapa teman memutar lagunya. Saya tidak terlalu memberikan perhatian.
Lalu, Agustus lalu, untuk pertama kalinya saya melihat penampilan mereka di konser amal untuk Franky Sahilatua. Bintang konser di Renon malam itu, ditandai dengan penampilan di ujung acara, adalah Superman is Dead. Tapi, bagi saya, DDH yang memancarkan cahayanya. Dia memikat.
Melihat Dadang menyanyi seperti melihat orang kesurupan. Trance. Mirip orang kesurupan saat sembahyang di pura atau orang geleng-geleng kepala saat tahlilan di masjid. Sementara itu, Deny dan Zio setia menjaga dengan permainan instrumen. Kedua ibarat penabuh gamelan mengiringi pemangku (pemimpin agama dalam Hindu) yang sedang mendaras doa.
Dadang menyanyi dengan lirik-lirik yang tak mudah untuk dikunyah tapi terasa nikmatnya. Lirik lagu DDH terdengar tak biasa di antara derasnya lirik lagu menye-menye tentang simpanan gelap, obral jatuh cinta, atau tangisan tak berkesudahan yang kini membanjiri telinga dan mata.
Usai melihat Dadang “kesurupan” malam itu, saya mulai mencari lagu-lagu DDH. Saya cuma modal unduh di internet. Untungnya mereka tidak pelit. Banyak link lagu mereka di jagat dunia maya. Saya makin rajin “mengaji” ayat-ayat yang mereka sampaikan lewat lagu-lagu di album pertama mereka, Beranda Taman Hati.
Album pertama ini mereka luncurkan pada Agustus 2007. Ada 14 lagu di album ini. Renovasi Otak, Beranda Taman Hati, Pagi, Hati-hati, dan seterusnya hadir dengan nuansa yang sangat khas: sederhana di musik, kaya di lirik.
Pada album pertama, band ini terdiri dari Dadang (biduan dan gitar), Ian Joshua Stevenson (bas), dan Mark Liepmann (drum). Namun, menurut Dadang, formasi ini tak bertahan lama karena ada yang meninggalkan Bali atau dari awal memang cuma berniat sementara, bukan untuk terusnya.
Formasi kedua DDH adalah Dadang S.H. Pranoto (vokal dan gitar), Michael Brozio Orah (bas dan vokal latar), serta Putu Deny Surya Wibawa (drum dan perkusi).
Suara Tak Diganti
Formasi terakhir DDH bertahan hingga saat ini. Tapi, DDH bukan satu-satunya band bagi tiga personil ini. Hampir sepuluh tahun sebelumnya, Dadang sudah bergabung di Navicula, band grunge di Bali. Navicula pernah dikontrak Sony BMG pada 2004 ketika meluncurkan album Alkemis. Setelah itu Navicula kembali ke jalan sejatinya, indie. Hingga saat ini.
Michael Brozio Orah sampai saat ini masih bermain dengan Ozio Band. Adapun Deny pernah bergabung dengan band mebasa Bali, Lolot sebagai drummer. Setelah Lolot bubar, Denny bergabung dengan Rockavatar hingga saat ini. “Masih, kok. Cuma kami jarang kumpul karena belum ada kegiatan,” kata Deny tentang Rockavatar.
Maka, ketiga personil itu harus membagi waktu antara DDH dengan band masing-masing. Mereka harus membagi intensitas yang sama meski pada awalnya DDH hanya sampingan. Bahkan, menurut Dadang, DDH sendiri lahir tanpa sengaja.
Dia bercerita. Sekitar Juni 2007, Ian, teman Dadang sesama musisi di Bali, yang juga gitaris band Kaimsasikun membeli alat rekaman baru. Tapi, Ian tak punya materi lagu untuk direkam. Dia lalu menelpon Dadang.
“Kamu ada lagu baru tidak?” tanya Ian ditirukan Dadang.
“Untuk apa?” Dadang bertanya balik.
“Aku mau belajar recording.”
Dadang lalu menciptakan lagu “Pagi”. Ini sebagian lirik lagu tersebut. Pagi/ Jangan pergi/ Ku takut malam nanti ku masih sendiri/ Pagiku tak lagi indah.
Selain lagu Pagi, Dadang juga menciptakan tiga lagu lain, yaitu Senandung Rindu, Rehat Sekejap, dan Beranda Taman Hati. Empat Lagu itu dia berikan pada Ian dengan harapan dinyanyikan orang lain. Ternyata tidak. Ian merekam suara Dadang begitu saja.
Empat bulan kemudian, Dadang baru mendengar lagu yang sudah direkam tersebut. Dia yang gitaris di Navicula, tetap menyanyi di empat lagu tersebut.
“Aku marah. Kok suaraku tidak diganti. Tapi, ternyata jadinya bagus juga,” kata Dadang lalu tertawa.
Empat lagu itu kemudian direkam dalam CD dan beredar dari teman ke teman. Ternyata lagu itu sampai di radio komersial dan disukai pendengar. Mulailah Dadang lebih serius dengan DDH. Pada Juni 2008, DDH meluncurkan album pertamanya, Beranda Taman Hati.
Terserah Audiens
Berbeda dengan album pertama, album kedua justru tak punya nama. Mereka sengaja. “Biar pendengar sendiri yang menafsirkan apa judul album ini,” kata Dadang. Ada enam lagu di album ini, yaitu Aku Dimana?, Manuskrip Telaga, Lirih Penyair Murung, Nyanyian Langit, Menutup Tirai, dan Aku Adalah Kamu. Lagu terakhir adalah bonus. Lima lagu tersebut diatur agar bisa menjadi sampul album.
“Jadi, tiap orang bisa membuat tiap judul lagu sebagai judul album. Terserah mereka,” ujar Dadang.
Selain lirik-lirik yang kontemplatif, rekaman musik album ini juga, menurut Dadang, lebih bagus dibanding album pertama. Salah satunya karena peran Simon Cotsworth di mastering. Simon pernah mengerjakan album Maliq And D’Essential, Incognito, dan Smashing Pumkins.
Berbeda dengan album pertama, album kedua terasa lebih sepi instrumen. Dadang khusyuk sekali dengan khidmat lirik-lirik lagunya. DDH menawarkan universal truth melalui lirik-liriknya. Mendengar lagu-lagu di album ini seperti melakukan perjalanan spiritual. DDH setia dengan laku sufi. Mereka melewati batas-batas religiusitas.
Lalu, apa yang ingin disampaikan DDH di album ini? Saya ngobrol santai dengan Dadang selama dua jam Kamis sore kemarin. Ini sebagian obrolan petang itu.
Apa beda album ini dengam album sebelumnya?
Perbedaannya pada tema. Kami lebih membicarakan tentang universal truth di album baru. Album ini mengungkapkan banyak keakuan sebagai manusia. Album kedua ini menceritakan perjalanan spiritual. Bagaimana kami lebih bisa mensyukuri hal-hal sederhana selama dua tahun perjalanan kami sejak album pertama.
Perjalanan spiritual?
Ya. Karena album ini berbicara tentang keyakinan universal. Enam lagu di album ini mewakili agama dan kepercayaan di Indonesia. Menutup Tirai adalah lagu gospel gereja yang mewakili Kristiani. Nanyian Langit menceritakan tentang nilai-nilai Hindu. Aku adalah Kamu, sepintas mirip konsep Tat Wam Asi dalam Hindu, tetapi sebenarnya cenderung ke Budha. Manuskrip Telaga tentang Islam. Aku Dimana? tentang Aliran Kepercayaan yang selama ini memang tak terlalu mendapat tempat di antara dominannya agama-agama lain.
Lirih Penyair Murung menceritakan tentang nabi-nabi yang ada dalam agama. Mereka semua adalah penyair. Tidak gampang untuk menyampaikan wahyu dan diingat sepanjang masa. Tapi mereka biasa mengalami proses pencarian dengan mengurung diri sebelum menerima wahyu.
Manuskrip Telaga adalah awal dari semua lagu. Karena Tuhan itu ibarat telaga. Kita bebas untuk minum di telaga lalu pergi begitu saja dan kembali ke telaga ketika dahaga. Telaga itu tak bernama. Telaga dalam lagu ini juga ibarat hati. Banyak orang melihat seolah-olah di luar sana itu sangat luas. Padahal hati kita lebih luas dari segalanya.
Album ini sebuah pencarian?
Ya. Karena kalau merasa sudah menemukan, itu keangkuhan. Kami masih terus mencari. Album ini juga doa atas pencarian. Album ini kalau disederhanakan dalam satu kalimat adalah kompleksitas yang disajikan secara sederhana.
Masih percaya pada agama? Bukannya sekarang banyak konflik karena agama?
Tidak ada yang salah dengan agama. Pengikutnya yang salah menafsirkan. Agama apa pun membebaskan umatnya untuk menafsirkan. Kami berusaha menafsirkan agama dengan cara kami dan membaginya melalui lagu. Kami berharap ada dialog untuk saling mengerti yang tidak jauh dari benang merahnya.
Lirik kalian sangat puitis dan dalam. Tidakkah itu menyembunyikan fakta di balik kata?
Tidak begitu juga. Seperti kata Bob Marley, musikku adalah lirikku. Saya suka puisi. Dia misterius. Ada keunikan tersendiri ketika kita menemukan sesuatu yang ternyata bukan itu makna sebenarnya. Kita jadi terus berusaha untuk mencari. Saya melakukan itu. Berputar-putar untuk sampai pada makna. Saya suka. Tapi saya tidak memaksakan makna. Audiens bebas menerjemahkan sendiri makna lirik-lirik itu.
Audiens kan lebih suka lirik yang apa adanya. Lugas. Buktinya lagu menye-menye laris?
Itu soal selera. Industri tidak bisa ditebak. Ketika kita bikin sesuatu, yang bekerja di belakang lebih banyak lagi. Tapi, saya yakin banyak juga yang menghargai musik dan lirik berkualitas. Dari 1000 penikmat lagu menye-menye, saya yakin 500 di antaranya bisa mengapresiasi karya saya. Tapi, yang lebih penting saya bisa berkarya dengan nyaman.
Kalian memasang lagu kalian semua di website. Tidak takut dibajak?
Kami mendorong penikmat lagu kami untuk jadi konsumen yang terhormat. Dengan begitu kami juga menghormati mereka. Tapi di website itu hanya bisa didengar, tidak bisa didownload.
Kenapa nama band kalian Dialog Dini Hari?
Karena itu menunjukkan refleksi diri. Dini hari itu waktu untuk berintrospeksi. Kita selalu mengingat apa yang saya lakukan dari pagi, sore, hingga malam. Dini hari itu waktu untuk introspeksi apa yang telah kita lakukan dan apa yang akan kita lakukan. DDH jadi refleksi untuk menelaah apa yang telah terjadi.
(Salah satu lagu di album kedua adalah Aku adalah Kamu. Ini seperti mengacu pada konsep Tat Wam Asi yang berarti aku adalah kamu. Lirik lagu ini tentang persamaan antarmanusia.)
Apa yang ingin kalian sampaikan lewat Aku adalah Kamu?
Itu lahir ketika ada konflik antara Indonesia dan Malaysia. Waktu itu rame-rame soal klaim tari pendet oleh Malaysia lalu sebagian orang menawarkan perang sebagai jalan keluar. Saya ingin menunjukkan pentingnya persamaan dan kesatuan sebagai sesama manusia. Bahwa tanah yang kita injak, bulan dan bintang terlihat sama di mata kita. Manusia itu sama satu sama lain. Hanya jasad. Jiwa yang membuatnya berbeda.
Untuk mengatasi konflik karena perbedaan?
Dengan saling memaklumi. Ketika memaklumi, kita akan berpikir lebih positif. Rasa memang perlu tapi harus seimbang dengan logika. Ketika bisa memaklumi, akan tumbuh cinta. Saling memaafkan dan menerima. Konflik terjadi karena kita tidak bisa memaklumi.
Balik soal album. Bagaimana promosi kalian?
Cara promosi paling efektif ya ketika manggung. Tapi kami juga melakukannya melalui media massa, website, dan jejaring sosial, termasuk di Facebook. Di Facebook juga untuk promosi lagu. Kalau mereka sudah mendengar dan senang, mereka akan mencari.
Kalian percaya pada kekuatan jejaring sosial?
Fifty-fifty. Kami tetap menyebar pamflet selain promosi lewat Facebook.
Kalau disuruh milih antara Navicula dan DDH?
Dua hal itu bukan alternatif. Keduanya pilihan saya. Konsekuensinya capek. Sekarang saya lagi berlatih dengan Navicula untuk persiapan bersama God Bless di Jakarta 16 November nanti.
Di Navicula musiknya keras. Di DDH sangat ringan. Itu sengaja biar seimbang?
Saya tidak membedakannya. Saya menghamba pada nada. Naluri hakiki musisi itu karyanya bisa dinikmati dan diapresiasi. [b]