Teks dan Foto Anton Muhajir
Bali punya konsep luhur untuk menjaga lingkungan melalui Tri Hita Karana dan Sad Kerti. Tapi, mereka kini seperti tak berdaya melawan ganasnya serbuan pariwisata.
Atas nama pariwisata, masyarakat adat pun kini menuntut agar Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Provinsi Bali pun diubah. Salah satunya dilakukan oleh masyarakat adat di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Warga adat menuntut agar batas wilayah yang dilindungi menurut Perda RTRW diubah agar warga bisa memanfaatkan lahan untuk membangun fasilitas pariwisata.
Jauh-jauh hari, sebelum Perda RTRW Bali disahkan, para bupati di Bali juga menggugat Perda RTRW ini karena dianggap tidak proinvestasi. Perda tentang tata ruang yang bertujuan melindungi lingkungan justru dianggap menghambat pertumbuhan ekonomi. Yap, pariwisata adalah segalanya di Pulau Dewata. Tak ada yang boleh mengganggunya.
Menurut Direktur Yayasan Wisnu Bali, Made Suarnatha, polemik RTRW di Pecatu adalah salah satu dinamika masyarakat Bali menyikapi polemik antara pariwisata dan lingkungan. “Tanah pelaba (bagian dari) pura kan luas sekali sementara warga tidak bisa menggunakan untuk menarik investasi,” kata Suarnatha.
Direktur lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengadvokasi lingkungan, pengelolaan sampah, hingga pemberdayaan masyarakat adat dalam mengelola tata ruang ini mengatakan bahwa ada kesenjangan antara itikad pemerintah untuk menjaga lingkungan dengan perlunya warga pada sumber daya ekonomi. “Kalau pemerintah mengatakan kawasan tersebut suci, pemerintah sebaiknya memberikan insentif juga pada kawasan tersebut,” tambahnya.
Suarnatha mengatakan tersebut ketika berdiskusi di sekretariat Pers Mahasiswa Akademika Universitas Udayana Bali di Kampus Sudirman, Denpasar. Diskusi selama sekitar 2 jam pada akhir pekan lalu ini diikuti sekitar 15 mahasiswa.
Menurut Suarnatha, insentif dari pemerintah untuk menjaga kawasan suci tersebut, misalnya dengan pemotongan pajak, mengontrak, atau bahkan membeli. Dengan demikian warga juga akan mendapatkan pemasukan, tidak hanya membiarkan lahan produktif sia-sia.
Dalam diskusi lesehan itu, Suarnatha juga menyoroti masifnya alih fungsi lahan pertanian dan privatisasi sumber daya alam (SDA) di Bali. Akibat derasnya laju investasi, petani dengan mudah menjual tanahnya pada investor. Di tangan investor, sawah itu berubah jadi komoditi semata, bukan lagi bagian dari budaya atau agama.
Di dalam Perda RTRW ada aturan bahwa 90 persen dari sawah yang ada saat ini akan tetap menjadi sawah abadi. “Kenyataannya, sawah-sawah di Bali sekarang ditumbuhi vila. Bali akan menuju pulau 1000 vila,” tambahnya.
Di sisi lain, warga semakin tak punya akses pada sumber daya tersebut. Suar memberikan contoh produk air minum Aqua yang membeli sumber air di Desa Mambal, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung. Meski dari Desa Mambal, merk air minum ini justru digunakan oleh perusahaan Danone yang berbasis di Perancis. Warga harus membeli air minum yang diproduksi dari desanya sendiri pada perusahaan dari Perancis. Ironis.
Di perkotaan, tata ruang itu juga tak dilakukan dengan baik. Salah satu contohnya adalah tak tersedianya alat transportasi yang memadai untuk warga. Akibatnya, tiap warga “dipaksa” untuk membeli dan menggunakan kendaraan pribadi. Jadi, warga pun jadi korban dua kali. Pertama, warga tak bisa memperoleh layanan transportasi publik yang nyaman. Kedua, dia harus mengeluarkan biaya untuk membeli kendaraan pribadi.
“Lebih parah lagi karena kita juga harus bayar pajak karena kepemilikan kendaraan pribadi itu,” ujarnya.
Tapi, meski sudah bayar pajak, warga juga belum bisa mendapatkan tata ruang yang nyaman. Suar memberikan contoh masih terbatasnya ruang hijau kota di Denpasar, ibukota Provinsi Bali. Idealnya Denpasar punya lebih banyak ruang terbuka untuk warga.
Kota ini pun sekarang dihantui dua persoalan penting: banjir dan kemacetan. Toh, tidak jelas apa upaya pemerintah untuk mengatasi dua ancaman ini. [b]
penyakit Bali semakin kompleksdan semakin menyesakkan…..kita tunggu saja agenda buruk selanjutnya,,,,,
perlu adanya praturan yg jelas dn ada bdan yg mengawasi yg kompeten,,,,
msalh ini sbnarnya dilema daari masyarakat antara yg hrus dislesaikan sblum trlambat,,,,
bpak pmrintah smw hrus sgra mncari solusi,,,,