Teks Bali Fokus, Foto Flickr
Dampak merkuri terhadap kesehatan manusia tidak dapat terpulihkan.
Data global United Nations Environment Programme (UNEP) menunjukkan bahwa pada tahun 2008 sekitar 3.800 ton merkuri digunakan di berbagai sektor, seperti ASGM (21 persen), Produksi VinlyChlorideMonomer (20), Chlor-alkali (13), perawatan gigi (10), baterai (10), peralatan pengukuran dan kontrol (9), elektronik (5) dan lampu hemat energi (4).
Pada tahun 2009 dalam UNEP Governing Council di Nairobi, negara-negara seluruh dunia termasuk Indonesia, sepakat untuk mengambil inisiatif dalam penghapusan merkuri dan menyepakati adanya perjanjian yang mengikat untuk merkuri.
Sebab, dampak merkuri pada kesehatan manusia sangat bahaya. Ketika merkuri terlepas ke lingkungan, baik melalui udara, air, maupun media lainnya, bahaya merkuri terpapar pada kesehatan manusia, hewan dan ekosistem. Konsentrasi merkuri yang tinggi dalam tubuh manusia dapat mengganggu sistem saraf, menurunkan intelejensia, menyebabkan kelumpuhan, dan menghambat pertumbuhan anak.
Di dalam tubuh setiap orang, terdapat merkuri yang masuk melalui berbagai cara: makanan, udara, air, dan paparan langsung. Sekitar 80 persen uap merkuri yang dihirup melalui paru-paru masuk ke dalam darah dan kemudian menyebar ke organ lain seperti otak dan ginjal.1 Setiap kali terjadi tumpahan, uap merkuri di udara baru luruh setelah 6 bulan sampai dengan 1,5 tahun (WHO, 2008).
Sarana- sarana pelayanan kesehatan berkontribusi melepas merkuri sekitar 5 persen melalui pembuangan air limbah dan 10 persen melalui insinerator (WHO, 2008).
Setiap pembersihan satu kilogram merkuri dari lingkungan dapat menghemat biaya-biaya sosial, lingkungan dan kesehatan manusia sekitar US$ 12,500 (UNEP, 2005). “Sektor Kesehatan harus menjadi menjadi pionir dalam penghapusan merkuri,” kata Yuyun Ismawati dari BALIFOKUS.
Menurut Yuyun, pemahaman tentang bahaya merkuri, mengenali gejala-gejala keracunan merkuri, dan mencegahnya sejak dini perlu dimulai dari sektor Kesehatan. “Para profesional, tenaga medis maupun para-medis serta para produsen dan pemasok, harus menjadi orang pertama yang kenal bahaya merkuri agar dapat membantu orang lain,” katanya.
Saat ini, sarana pelayanan kesehatan menjadi ancaman baru akibat masih abai terhadap risiko penggunaan fasilitas kesehatan yang mengandung merkuri. Di sisi lain, sampai saat ini tidak ada panduan, arahan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dan SOP penanganan tumpahan merkuri di sarana-sarana kesehatan.
Hampir di semua rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan dipraktikkan daur ulang merkuri tanpa panduan dan perlindungan yang memadai. Termometer yang pecah terkadang langsung dibuang ke tempat sampah biasa, dibakar di insinerator atau diberikan kepada pemulung. Merkuri di sektor kesehatan beresiko langsung terhadap pasien maupun pekerja kesehatan.
Sementara itu Faye Ferrer dari Health Care Without Harm mengatakan bahwa phasing-out merkuri di negara-negara utara dan selatan sudah berlangsung sejak tahun 1997. Seluruh negara bagian di US, negara-negara Uni Eropa, dan beberapa negara berkembang di Afrika, Latin Amerika dan Asia juga telah melakukan phasing-out merkuri di sektor kesehatan. Indonesia juga dapat melakukannya agar kesehatan manusia dan lingkungan dapat dilindungi.
“Sudah banyak alternatif alat kesehatan yang bebas merkuri, lebih aman, dan memiliki tingkat akurasi yang sama,” ujarnya.
Produksi dan penggunaan merkuri harus dihentikan sebelum tahun 2020. WHO bersama Health Care Without Harm, sepakat menetapkan target pada tahun 2017 untuk mengurangi penggunaan termometer dan sphygmomanometer yang mengandung merkuri paling tidak sampai dengan 70 persen.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi
Yuyun Ismawati, BALIFOKUS, 0812 381 9665, yuyun@balifokus.asia
Selamet Daroyni, Institut Hijau Indonesia, 0815 84 19 77 13, selametdaroyni@gmail.com
Huzna Zahir (YLKI), 0812 800 25 30, konsumen@rad.net.id