Bagaimana pemerintah menjawab untuk permasalahan sampah belakangan ini? Pemberian motor cikar (moci) atau truk apakah cukup? Para pekerja lelah dari pagi hingga sore hari, namun minim tanggungan dari pemerintah? Bagaimana kita menjawab semua itu? Mari dengarkan cerita dari sang pekerja keras ini yuk…..
Sedikit cerita yang ingin dibagikan oleh salah satu pekerja dengan penuh peluh yang bercucuran di pagi menjelang siang ini. Ketut Susila, seorang kepala keluarga yang telah bekerja sejak lama mulai dari satu gang ke gang lain untuk mengangkut sampah hingga ke Tempat Pengelolahan Sampah Terpadu (TPST) terdekat.
Laki-laki kelahiran Denpasar ini mengungkap kesehariannya bekerja ke tiap-tiap rumah untuk mengumpulkan sampah. Ia hanya bermodalkan motor dan gerobak miliknya, dari rumah ke rumah lainnya dengan muatan yang ditampung sebanyak 30 Kartu Keluarga (KK).
Bobo, panggilan khas di setiap jeritan dari rumah rumah untuk menyapanya dan dibalas senyuman hangat. Walaupun lelah dan keringat udah membersamainya sejak pagi. “Hujan-hujan sing taen ade komplin kecuali macet, sing ngidang ngutang, sing menyemak lulu ee mare ade komplin,” (Hujan-hujan tidak pernah ada komplin kecuali macet, tidak bisa membuang dan tidak diambil sampahnya baru ada komplin dari warga selepas TPA Suwung kebakaran lalu).
“Sing maan tanggungan, konyang pribadi. Motor pribadi, gerobak rusak tanggungan pribadi. Gerobak ngai pedidi, moci masih meli pedidi” (Tidak dapat tanggungan, semua pribadi. Motor pribadi, gerobak rusak pun tanggungan pribadi. Gerobak buat sendiri dan moci juga beli sendiri). Ceritanya kembali saat ditanyai tanggungan yang didapatkan selama bekerja. Pekerjaan yang berat, namun tidak ada tanggungan pula? Bagaimana ini?
Pria berbaju hitam ini juga bercerita upah yang diberikan selama ini berbeda antara rumah warga dengan rumah yang berisikan kos-kosan. “Kos-kosan hitungane Rp 15 ribu per kamar, men umah biase Rp 50 ribuan.” (kos-kosan hitungannya 15 ribu per kamar dan rumah biasa 50 ribu). Selain itu juga ia tidak bekerja sendiri melainkan dibantu oleh sekitar delapan rekan kerja yang menemani sepanjang hari dan bertukar senda gurau melepas penat.
Senyumannya tidak pernah luntur sepanjang obrolan pagi itu (20/1) dan sesekali diselingi tawa walaupun harus kembali bekerja hingga sore.