Keringat bercucuran dan dahi terus saja mengkerut ketika kami menyusuri perkampungan Desa Sumberklampok. Meski waktu menunjukan pukul 08.00 WITA, namun panas dan teriknya matahari sudah menyengat sedari ia muncul di ufuk timur. Cahaya matahari yang begitu terang juga menyelimuti jalanan Singaraja-Gilimanuk. Tapi teduh masih bisa kami temui ketika memasuki gerbang alami yang begitu asri milik Nengah Sudiasa.
Gerbang hidup di kebun Nengah Sudiasa, 25 Februari 2022 (Foto: Gusti Diah)
Gerbang itu dipenuhi rambatan tanaman binahong dengan bunga yang tengah bermekaran. Bahkan kupu-kupu berseliweran di antaranya. Kebun pekarangan Sudiasa begitu bervariasi, apalagi ia memanfaatkan bahan-bahan sekitar untuk mempercantik kebunnya. “Disini [Sumberklampok] lapisan tanah paling cuma setengah meter, sisanya batuan karang, jadi batu-batu itu saya manfaatkan untuk menjadi bedengan,” kata Sudiasa sambil mengantarkan kami ke gazebo-nya di bawah pohon mangga yang rindang.
Awalnya batuan karang yang ada di pekarangan rumah Sudiasa adalah kendala yang menyebabkan ia tidak bisa bercocok tanam di rumahnya, meski memiliki keterampilan sebagai petani. Namun, ketika mengikuti pelatihan permakultur dan kebun pekarangan keluarga (KPK), Sudiasa baru tersadar bahwa batuan yang begitu melimpah ini memiliki potensinya tersendiri. “Dulu kan sebelum ada pelatihan engga kepikiran untuk memanfaatkan batu-batu yang ada disini,” ungkap petani yang pernah mengikuti program transmigrasi ini.
Kondisi lahan yang dominan batuan karang juga bisa ditanggulangi Sudiasa. Bersama petani dan tim pendamping dari IDEP, Sudiasa membuat bedengan dengan beberapa tahapan. Ia pun menjelaskan komponen apa saja yang perlu dimasukan, diantaranya: pelepah pisang, daun-daunan segar, kotoran sapi, lalu ditutup dengan tanah dan mulsa. “Walaupun disini banyak batu, tapi karena ada bahan-bahan alami ini jadi tanahnya bisa lebih subur,” tambah Sudiasa.
Nengah Sudiasa di tengah kebunnya (Foto: Eka Dharma)
Bedengan yang dipertegas dengan batuan karang itu dipenuhi dengan berbagai jenis tanaman seperti: cabai, kencur, lengkuas, jahe, terong, tomat, daluman, mangga, stigi, dan masih banyak lagi. Semua tanaman yang ada di pekarangan Sudiasa tumbuh dengan sehatnya, itupun tidak diperoleh secara langsung. Awalnya tanaman-tanaman sempat kerdil dan daunnya menguning. Namun Sudiasa menemukan permasalahannya dan mampu mengatasinya. “Setelah dapet pelatihan membuat POC [pupuk organik cair], saya langsung praktikkan di rumah. Selepas itu, tanaman baru tumbuh bagus dia,” ungkap Sudiasa dengan bangganya.
POC pun di taruh tepat di bawah rindangan pohon mangga, sehingga terlindungi dari teriknya matahari. Upaya yang diterapkan Sudiasa di rumahnya telah memecahkan beberapa masalah yang awalnya tak terpikirkan jawabannya. Dari keberhasilan itu, Sudiasa berencana untuk menerapkannya di kebun produksi.
Saat ini kebun produksi Sudiasa dipenuhi dengan berbagai jenis kacang-kacangan seperti kacang jongkok, kacang merah, kacang komak, dan undis, jagung, kemudian ada tanaman sub-kanopi seperti pisang dan bambu. Kebun produksi ini pun minim bahan-bahan kimia, karena Sudiasa rasa belum terlalu memerlukannya. “Engga pernah nyemprot [pestisida], soalnya kalo jagung atau kacang-kacangan tidak perlu, jadi dikitlah perlu modal,” kata Sudiasa. Ia pun menambahkan, kebunnya masih menggunakan pupuk kimia, sebab ingatannya sudah terlepas dari bentuk-bentuk yang lebih organik.
Berusaha Terlepas dari Sisa-Sisa Revolusi Hijau
Semenjak akhir 1960-an, pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan pertanian yang dianggap lebih “modern” yaitu revolusi hijau. Kebijakan ini pun mendorong petani untuk memanfaatkan bahan-bahan pertanian kimia, seperti urea, pestisida, herbisida, hingga benih GMO (rekayasa genetika). Secara perlahan petani mulai beralih ke pertanian kimia, dan melupakan konsep pertanian yang lebih ramah lingkungan hingga ke generasi-generasi berikutnya.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) juga sangat gencar menjalankan Revolusi Hijau di seluruh dunia. Lembaga bentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa ini juga mendorong petani untuk menanam komoditi tertentu, seperti padi, jagung, dan gandum. Kebijakan ini memang meningkatkan produksi pangan, namun berdampak sangat buruk untuk kesehatan tanah dan keberlanjutan pertanian itu sendiri.
Kebiasaan-kebiasaan yang dilahirkan dari Revolusi Hijau sangat mengakar pada petani-petani di Indonesia, termasuk Nengah Sudiasa bersama petani lainnya di Sumberklampok yang mengikuti program transmigrasi pemerintah Orde Baru pada 1984-1985. Setelah warga menerima pelatihan pertanian di Yogyakarta, mereka pun diberangkatkan ke Timor Timur. Namun setelah referendum pada 1999, Timor Timur lepas dari Indonesia dan merdeka menjadi Timor Leste. Warga Bali yang bertransmigrasi pun dibawa kembali pulang. Pemerintah menempatkan mereka di Sumberklampok.
Sudiasa mengaplikasikan POC yang dia buat sendiri (Foto: Eka Dharma)
Selama bertahun-tahun Nengah Sudiasa sudah dijerat sistem pertanian kimia yang memaksanya untuk bergantung pada pasar. Namun, ketika dibawa kembali pada bentuk-bentuk pertanian ramah lingkungan, Sudiasa menjadi yakin bahwa kebunnya dapat diolah dengan sistem yang lebih berklenajutan. Ia pun merasa prinsip permakultur tepat ia terapkan. “Skala kecil dulu di pekarangan, nanti baru skala besar di tegal [kebun produksi], buat pake satu drum. Ya dikit-dikit dah itu, merubah dari kimia ini,” jelas Sudiasa.
Menerima Bencana Krisis Iklim
Sudiasa juga menghadapi berbagai tantangan ketika ingin beralih ke sistem pertanian yang lebih ramah lingkungan. Bahkan ketika masih menerapkan pertanian konvensional, ia masih menemui masalah. “Disini air yang selalu menjadi masalah, ketika musim kemarau, tidak ada hujan dan air PAM juga tidak sampai ke rumah dan kebun. Padahal ada banyak kebutuhan seperti masak, mandi, ternak, dan kebun,” terang Sudiasa.
Ketika memasuki bulan Agustus, biasanya air PAM tidak mengalir, Sudiasa pun tidak memiliki tempat penampungan yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Terlebih Sudiasa mengakui kemarau yang terjadi akhir-akhir ini lebih panjang dari biasanya dan kadang tidak menentu. Masalah ini juga bisa dilihat dari kondisi sumber mata air warga Sumberklampok yang mengalami penurunan debit ketika memasuki musim kemarau.
Sumber mata air ini terletak di tengah hutan dengan rimbunan pohon di sekitarnya. Sudiasa mengungkapkan, masih asrinya kawasan tersebut karena adanya Pura Lesung yang ada berdampingan dengan mata air. Kehadiran pura dan mata air ini membuat warga saling bahu membahu untuk menjaga kelestarian ekosistem di sekitarnya. Namun bagaimana dengan kondisi hutan di luar wilayah tersebut? Sehingga berdampak pada menurunnya debit air di satu-satunya sumber penghidupan mereka.
Beberapa kali Sudiasa sempat melihat ada yang melakukan pengambilan kayu-kayu dari hutan. Namun Ia pun tidak berani mencegah, sebab belum mengetahui dengan jelas bagaimana mereka dapat memasuki kawasan hutan dengan tenangnya. “Kita kan tidak punya wewenang untuk melarang, sudah ada Dinas Kehutanan yang lebih punya hak,” ungkap Sudiasa.
Selain tindakan yang dilakukan dalam skala lokal, dengan perambahan hutan. Kemarau juga diakibatkan oleh perubahan iklim yang merubah kondisi bumi menjadi lebih buruk. Suhu bumi meningkat akibat efek gas rumah kaca yang berasal dari hasil-hasil pembakaran dan perusakan lingkungan yang sebagian besar berasal dari manusia.
Ketika suhu meningkat, air di bumi menguap lebih cepat dari biasanya. Kondisi yang lebih panas ini menyebabkan tanah menjadi lebih kering. Karena proses transpirasi–penyerapan air dari tanah dan tanaman, kemudian mengubahnya menjadi uap air di atmosfer–terjadi lebih panjang, sehingga kekeringan di beberapa daerah akan semakin meningkat. Udara yang lebih panas ini tidak hanya membuat bumi semakin kering, tapi kemarau yang berkepanjangan dan lebih intensif.
Saat air menguap lebih cepat dan panjang, penyerapan air ke bawah tanah pun berkurang, dan ini menyebabkan berkurangnya cadangan air bawah tanah. Tanah permukaan pun menjadi lebih kering dan mengeras, sehingga ketika hujan datang, air tidak mudah menyerap dan dapat menyebabkan banjir.
Perubahan iklim telah menyebabkan kekeringan saat musim panas dan banjir ketika musim hujan di beberapa wilayah di bumi ini. Mereka yang menerima dampaknya sebagian besar berada di negara-negara berkembang yang tidak cukup banyak memiliki teknologi untuk menanggulangi bencana-bencana yang sejatinya disebabkan oleh aktivitas manusia. Mereka yang menjadi “korban” justru komunitas yang paling sedikit memberikan kontribusi terhadap emisi global. Termasuk warga Sumberklampok yang kerap kesulitan memperoleh akses terhadap air bersih dan menerima banjir di setiap musim penghujan.
Banjir memang kerap terjadi di Sumberklampok. Ketika hujan, air dari dataran tinggi hutan mengalir ke perkampungan warga. Namun tidak berselang lama, air sudah terserap. Akan tetapi ada yang berbeda setahun kebelakang ini. Banjir semakin besar, menggenang di jalan, dan bahkan menghancurkan rumah warga. “Yang paling parah ini baru-baru ini, 2021 kemarin sempat ada hujan lebat sekali, sampai dua hari dua malam. Banjirnya sampai buat rumah tetangga jebol,” sebut Sudiasa.
Ketidakadilan dan Perubahan Iklim
Badai yang diterima warga Sumberklampok tidak hadir hanya karena proses presipitasi–siklus hidrologi terjadinya hujan–namun adanya “bahan bakar” badai yang lebih besar di lautan. Laut yang semakin panas akibat dari pemanasan global menghasilkan bahan bakar yang lebih besar, sehingga memunculkan badai yang semakin besar.
Analisis bertahun-tahun yang dilakukan para ahli menemukan bahwa perubahan iklim berasal dari hasil pembakaran batu bara, minyak, dan gas. Sebagian besar industri yang mengelola pembakaran tersebut berasal dari negara-negara dunia pertama dan kedua, namun yang kerap menanggung beban adalah masyarakat di belahan dunia selatan, seperti Amerika Latin, Asia, Afrika, dan Oseania. Sebagian besar dari negara-negara tersebut disebut sebagai negara miskin, namun kemiskinan ini terjadi karena kolonisasi yang dilakukan negara-negara barat saat ini. Kekayaan sumber daya alam dan bahan mentah di wilayah belahan dunia selatan diambil untuk kepentingan negara-negara industri. Mereka menghasilkan emisi sekaligus merusak kestabilan ekosistem.
Maka dari itu, perubahan iklim tidak hanya tentang permasalahan lingkungan, namun ada interaksi yang kuat antara ekologi dan sosial. Krisis iklim ini pun mempengaruhi bentuk ketidakadilan antar kelas, ras, gender, letak geografis, dan generasi yang berbeda. Untuk itu, upaya mengatasi perubahan iklim tidak hanya menghentikan emisi, tapi mengupayakan keadilan tentang siapa yang “berkewajiban” memperbaiki apa yang telah dirusak. Kemudian, perjuangan terhadap keadilan iklim berarti komunitas rentan yang sungainya diracuni, tanahnya dicuri, maupun rumah yang hanyut di kala badai perlu memperoleh akses terhadap udara dan air yang bersih, serta kedaulatan pangan.
Keadilan untuk Petani dan Alam
Memperjuangkan keadilan iklim berarti memperjuangkan hak-hak mereka yang tersingkirkan dan harus menanggung beban terhadap emisi yang tidak mereka ciptakan. Untuk itu, IDEP bersama petani di Desa Sumberklampok melakukan beberapa upaya untuk menanggulangi dampak dari perubahan iklim, sekaligus berusaha untuk “memperbaikinya”. Dari pertengahan 2021, IDEP telah melakukan berbagai pelatihan terkait permakultur, hutan pangan, hingga mitigasi bencana.
Kebun Sudiasa yang rindang (Foto: Eka Dharma)
Sudiasa sendiri menerima banyak manfaat dari pelatihan yang IDEP lakukan, bahkan untuk hal yang awalnya tidak pernah terpikirkan justru membantunya selamat dari ancaman banjir. “Semenjak membuat bedengan permakultur ini, saya tidak kena longsor, soalnya airnya pecah melalui bedengan yang berliku-liku, air dari atas ini jadi pecah,” kata Sudiasa.
Melalui pelatihan yang Sudiasa peroleh membuatnya menyadari besarnya manfaat bahan-bahan yang ada disekitarnya. Bahkan selokan di depan rumah Sudiasa dialifungsikan dengan menanam kangkung, sebab air yang mengalir bukanlah air sisa pembuangan, selokan tersebut diperuntukan untuk menampung hujan. Fungsi dari selokan ini Sudiasa rencanakan sebagai tempat penampungan air hujan yang bisa dimanfaatkan untuk menyiram tanaman.
Tetangga mengambil beberapa sayuran kangkung di depan rumah Sudiasa (Foto: Gusti Diah)
Tanaman kangkung yang memanfaatkan selokan depan rumah Sudiasa (Foto: Eka Dharma)
Secara perlahan Sudiasa dan petani lainnya di Sumberklampok berupaya membangun diri yang lebih mandiri dan berdaulat, sebab mereka juga membuat kebun pangan dan pembibitan yang bisa warga manfaatkan. Selain itu, beberapa pelatihan yang Sudiasa terima telah merubah pandangannya terhadap sistem pertanian dari konvensional menuju pada bentuk yang lebih ramah lingkungan. “Banyak ilmu saya dapatkan, nantinya apa yang sudah dipraktikkan di KPK akan saya coba untuk di tegal [kebun produksi], agar lebih strategis lah itu, dari menanam hingga pasca panennya,” ungkap Sudiasa sambil tersenyum.