Akhir Januari lalu, kurang dari 10 orang berjibaku di sudut Desa Beng, Gianyar dalam sebuah bangunan terbuka memilah sampah plastik. Tempat pemilahan sampah yang dibangun Griya Luhu setiap bulannya mengelola sebanyak 15 ton sampah plastik dari kawasan Gianyar.
Griya Luhu hadir untuk membantu sistem pengelolaan bank sampah agar berbasis online. Sayangnya, proses pemilahan masih saja kewalahan di tingkat desa. Sehingga tempat pemilahan sampah pun dibangun untuk membantu pemilahan sampah di sekitar Gianyar.
Griya Luhu berfokus mengedukasi pengelolaan sampah agar berkelanjutan. Mengingat sistem Bank Sampah di Bali sudah tersebar untuk mengangkut sampah-sampah tingkat desa. Hanya saja seringkali ditemukan sampah tak terangkut secara berkelanjutan. Sehingga masyarakat merasa trauma berurusan dengan pemilahan sampah. Perilaku ini menjadi tantangan Griya Luhu masuk ke desa untuk menerapkan edukasi tentang pemilahan sampah.
Ada lima jenis kategori sampah yang dipilih untuk dipisahkan oleh tim Griya Luhu, seperti plastik, kertas, besi dan logam, botol, kaca dan lainnya. Setelah dipilah dalam 5 kategori ini, Griya Luhu bekerjasama dengan satu pengepul yang mengambil bernilai jual dan Dinas Lingkungan Hidup untuk pengangkutan residu.
Dari 5 kategori sampah yang dikelola, sebagian besar ditemukan 50-70% plastik lembaran (kresek, plastik bening). Karena sampah plastik lembaran menjadi jenis sampah dengan volumen tertinggi yang ditemukan, tim pemilah Griya Luhu berfokus untuk mengumpulkan plastik lembaran ketika sampah datang.
Sampah kemasan menjadi sampah yang paling tidak bernilai. Di sisi lain, setelah dipilah sampah kemasan masih banyak ditemukan. Sering kali pengepul sampah tak mau menerima sampah kemasan. Sehingga diserahkan ke pemerintah daerah untuk diangkut ke TPA.
“Biasanya sampah kemasan saset ini bisa didaur ulang jadi barang kerajinan. Sekarang juga udah ada yang mengolah sampah plastik jadi bahan bakar, pake sampah saset ini dia. Tapi di sini belum mengolah sampai ke sana karena butuh tempat,” kata Wardimas, salah satu staf Griya Luhu.
Pengepul hanya satu. BaleBengong berkunjung ke gudang pemilahan sampah mereka dalam program Kantor Bergerak akhir Januari lalu.
Sistemnya setelah sampah terpilah menjadi 5 kategori, Griya Luhu akan mengumpulkan sampah ke pengepul. Pengiriman dilakukan sebanyak 3 kali dalam seminggu. Sekali angkut, sampah 1 truk beratnya 1 ton. Jenis sampah yang paling mahal adalah besi dan logam, jenis paling murah plastik.
Sebenarnya, pemilahan sampah sangat kompleks.
Hal ini menyebabkan pemilahan sampah memakan proses yang panjang. Sehingga Griya Luhu memutuskan untuk membagi dalam 5 kategori saja. Namun, masih saja perilaku pemilahan sampah oleh masyarakat seperti di Gianyar masih belum terpilah dengan baik. Dalam plastik lembaran dari masyarakat masih nyampur seperti pipet, plastik bening, sablon dan multilayer.
Hingga saat ini, sampah pecahan kaca dan kain bekas menjadi persoalan yang belum bisa dikelola Griya Luhu. Padahal sampah ini termasuk banyak. Di awal, Griya Luhu pernah mencoba untuk menerima beling itu untuk dibawa ke tempat pengolahan. Sayangnya, perusahaan pengolah kaca menjadi kaca tiup sangat memilih menerima jenis kaca. Sehingga jenis kaca dengan lapisan tak tertangani dengan baik.
“Kami pernah membawa hanya sekali saja. Karena mereka hanya menerima kaca bening saja, tidak boleh ada lapisan apapun,” kata Dimas.
Sampah jenis pecahan kaca pun beresiko jika hanya dikumpulkan ke TPA biasa. Hal ini pun pernah dialami tim Griya Luhu. Ketika masih menerima pecahan kaca dari masyarakat, tak jarang tim pemilah tergores pecahannya. Menurutnya, pengolahan sampah kaca harus ditangani secara khusus. Dari pengalaman itu, sehingga Griya Luhu memutuskan untuk tidak menerima sampah jenis ini.
“Kami berharap bisa menerima semua jenis sampah yang dimiliki masyarakat. Tapi jenis sampah kain dan pecahan kaca belum bisa kami terima. Padahal saat ini sampah kain tinggi banget. Di bali belum ada yang ngolah,” ucapnya memaparkan persoalan sampah saat ini.
Saat ini Griya Luhu sudah ada di 7 kabupaten. Kecuali di Klungkung dan Jembrana. Griya Luhu tidak fokus di pengambilan barangnya, tapi fokus untuk mengedukasi. Menjadi PR utamanya adalah bagaimana agar bank sampah di desa-desa terus berjalan.
“Kami bercermin dari pengaduan masyarakat yang sampahnya tidak diangkut. Selama ini banyak yang mengeluh, sudah ada bank sampah tapi sampahnya ga diangkut, jadi masyarakat sakit hati, trauma. Itu yg kita ubah,” sambungnya.
Mengubah perilaku masyarakat yang sakit hati inilah menjadi motivasi Griya Luhu untuk terus mengedukasi masyarakat tentang pemilahan. Trauma ini juga yang menjadi salah satu faktor kenapa masih banyak sampah yang terkumpul belum terpilah dengan baik.
Di Gianyar, Griya Luhu bekerjasama tidak hanya mengambil sampah tapi juga membantu sistem pengelolaan sampahnya. “Kita ngga bakal ambil sampah karena sudah ada bank sampah. Contoh seperti di Tabanan. Griya Luhu pegang edukasi, pengelolaan, sosialisasi hingga evaluasi,” katanya.
Begitu pula di daerah lain, Griya Luhu bisa membantu sistemnya. Sehingga bila ada daerah yang mengalami kesulitan pengelolaan sampah, dapat mendaftarkan unitnya. Bisa dalam cakupan desa maupun banjar. Griya Luhu dapat membantu dari membangun bank sampahnya. Kalau sudah ada, dapat dibantu untuk membangun digitalisasi. “Selain itu kita memastikan siapa yang mengangkut sampahnya,” tutupnya.