Hujan menyambut kami ketika memasuki Kintamani bagian barat, Bangli.
Begitu juga tanaman kopi dan jeruk yang berbaris sepanjang jalan memasuki Desa Mengani, di dekat perbatasan Kabupaten Bangli dan Badung. Hanya saja buah kopi belum siap panen saat itu. Masih menunggu 4 bulan lagi untuk musim panen dan bisa melihat merah merona buah kopi yang mendapat indikasi geografis itu.
Namun, berbeda dengan pohon jeruk yang semakin merunduk karena buahnya yang melimpah tumbuh.
Untuk sampai di Desa Mengani, kami melewati satu desa lainnya. Lokasi Desa Mengani memang di dalam desa. Namun, sepanjang jalan desa itu tertata rapi dengan hamparan hijau perkebunan tumpang sari kopi, jeruk, bunga, dan tanaman holtikultura lainnya. Dari jenis tanaman yang tumbuh, terasa jelas suhu udara di desa itu sangat rendah. Belasan derajat Celcius.
Potensi desa ini meyakinkan kami untuk segera mengadakan Kelas Jurnalisme Warga (KJW) pertama di tahun 2021. Dengan bantuan I Made Sarjana, warga Desa Mengani yang menjadi juru hubung, kami berkolaborasi bersama energi muda desa ini. Ini menjadi suntikan upaya membangkitkan potensi desa.
Kami berjumpa dengan para muda yang sebelumnya hanya saling bertegur sapa via daring. Tidak tertinggal pula, I Made Sarjana dan Kepala Desa Mengani yang siap sedia membantu pelaksanaan KJW 2021. Sebelas para muda berkumpul di Poli Klinik Desa Mengani. Kami mulai Hari Sabtu akhir Februari 2021 lalu dengan perkenalan KJW. Luh De Suriyani, editor BaleBengong, memandu perkenalan ini.
Mudah Berbaur
Kelas hari pertama terus berlanjut, seperti hujan yang terus mengguyur Kintamani hari itu. Duduk lesehan yang melingkar membuat kami lebih mudah berbaur. Materi dasar-dasar jurnalistik dibawakan Made Sarjana, warga Desa Mengani yang dulunya pernah menjadi wartawan media di Bali.
Bermain kata menjadi metode yang digunakan Sarjana menyampaikan materi jurnalistik saat itu. Ia menuturkan, meski mereka satu desa, KJW jadi pengalaman pertama baginya bisa duduk bersama dan mengenal lebih dekat dengan para muda Desa Mengani.
Kelas hari pertama itu menjadi hangat disambung penjajakan materi video ponsel dari tim Niskala Studio. Tim Niskala adalah kelompok pemuda Badung yang memiliki ketertarikan di bidang foto dan videografi. Seakan dekat dengan dunia para muda Desa Mengani, materi video ponsel bisa langsung dipraktikkan menggunakan ponsel pintarnya masing-masing.
Sesi terakhir KJW hari pertama di Desa Mengani ditutup dengan pemilihan topik liputan. Mengolaborasikan potensi desa yang menyapa kami di awal perjalanan ke desa, terpilih enam topik sebagai bahan liputan. Mereka adalah Pembibitan Kopi, Pengolahan Kopi, Perawatan Tanaman Jeruk Kintamani, Petani Muda Mengani, Tradisi Duwe Wadak, dan Pengolahan Sampah Desa.
Semua topik ini dibagi rata ke peserta KJW Mengani untuk dieksekusi. Satu topik dikerjakan 2 orang. Hasilnya sesuai materi di kelas tadi, teks jurnalistik dan foto video ponsel.
Desa Mengani merupakan salah satu desa di kecamatan Kintamani. Terkenal dengan potensi kopi dengan ciri khas asam kecut jeruk. Seperti halnya desa penghasil kopi kintamani, perkebunan kopi di Mengani juga melakukan penanaman tumpang sari di kebun kopi. Sebagian besar tanaman tumpang sari adalah tanaman jeruk. Melihat potensi itu, sehingga topik yang diangkat dalam KJW Mengani tak jauh-jauh soal kopi dan ekosistemnya.
Setelah rampung menentukan topik liputan dan memiliki senjata cukup untuk turun lapangan, para muda Mengani siap mengenal lebih detail potensi desanya. Berbekal waktu yang tak lama, masing-masing kelompok bergegas mendatangi narasumber yang bisa saja adalah keluarga terdekatnya.
Belajar Tradisi
Meski topik yang dipilih sangat dekat dengan mereka, bukan berarti tanpa kendala. Seperti halnya I Wayan Muspa Mustika yang menggarap topik Tradisi Duwe Wadak. Sebagai pemuda yang bekerja merantau ke kapal pesiar, ia jarang mengikuti prosesi tradisi menangkap sapi liar itu. Ketika menggarap topik ini, ia mencari tahu sumber informasi tentang tradisi Duwe Wadak itu melalui buku.
“Dalam pencarian informasi, kendala pada pengubahan bahasanya. Karena buku tentang tradisi Duwe Wadak di desa itu menggunakan bahasa bali, kami mau mengubah ke bahasa indonesia agak susah,” ungkap Wayan yang juga sebagai ketua sekaa truna truni Desa Mengani.
Ia pun mengambil dokumentasi prosesinya di media sosial Facebook. Berhubung tradisi hanya ada 1 tahun sekali. Kendala lainnya adalah kekurangan waktu untuk mencari informasi ke narasumber primer di desanya.
Meski hujan kembali menyapa pagi hari kedua KJW, tak menyurutkan antusias para peserta untuk memanen informasi. Selepas setengah hari berlalu, kami kembali berkumpul di Polindes membawa karya masing-masing yang sudah jadi. Meski kelas dan waktu pengerjaan karya yang kilat, para muda Mengani berhasil menggaungkan informasi potensi desanya dalam karya teks dan video.
Di sela-sela tenggat yang terus mengejar, kami memboyong pelaku kopi dari Denpasar untuk berbagi aktivitas jalur kopi di hilir. Melihat produk kopi di desa ini yang berhenti pada bentuk bubuk, melalui Atraksi Kopi, para muda memiliki peluang untuk mengembangkan jalur produk kopi.
Perpisahan KJW kami tandai dengan sesi apresiasi dan koreksi karya-karya yang sudah dibuat. Masih duduk dalam lingkaran, menyaksikan karya yang sudah diselesaikan, kami sepakat untuk mengabarkan karya-karya para muda Mengani lebih luas melalui publikasi di website BaleBengong.id dan web Desa Mengani.
Akhir kelas, Kades dan Made Sarjana memberi apresiasi untuk 3 terbaik masing-masing kategori karya para muda Mengani. Total hadiah senilai 1 juta menjadi penyemangat para muda Mengani untuk terus berkarya.
“Jangan melihat nominal hadiah yang kami berikan, tapi jadikan momen ini sebagai suntikan semangat untuk terus berkarya,” kata I Ketut Armawan Kades Mengani. [b]