Saat ini saya melihat pemandangan yang tidak biasa di Bali.
Jalan raya sepi. Restoran dan toko-toko tutup. Saya tidak melihat turis asing berkeliaran. Keadaan ini mungkin tidak asing bagi sebagian warga. Ledakan bom Bali pada 2002 dan 2005 serta erupsi gunung Agung pada 2017 pernah membuat keadaan di Bali menjadi sunyi.
Namun, bagi saya, ada hal berbeda dari kesunyian kali ini. Kali ini saya melihat banyak dari mereka yang melanjutkan perjuangan untuk hidup dari pinggir jalan.
Kali ini kesunyian disebabkan oleh pandemi. Keadaan ini memaksa kita untuk tidak berkumpul dan melakukan interaksi fisik dengan orang lain supaya kita dapat memutus rantai penyebaran virus corona penyebab COVID-19.
Akibat dari pandemi ini adalah berhentinya seluruh kegiatan pariwisata di Bali yang berdampak pada berhentinya perputaran roda ekonomi. Pelaku bisnis terpaksa menghentikan kegiatan mereka dan merumahkan seluruh karyawan mereka. Entah sampai kapan keadaan ini akan terus berlangsung dan sampai kapan kita bisa bertahan tanpa penghasilan.
Kita manusia, kita tidak menyerah pada nasib. Mereka yang berjuang di pinggir jalan adalah mereka yang tidak menyerah pada nasib.
Ketika bicara soal pariwisata Bali, hal yang selalu dibicarakan adalah seputar jumlah wisatawan yang datang, potensi pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan infrastruktur untuk mengakomodir kedua poin sebelumnya. Mereka adalah pemerintah dan para pelaku usaha. Mereka sangat antusias ketika membahasnya. Mereka sibuk membahas strategi pemasaran yang lebih baik.
Citra Bali yang baik tidak pernah luput dari pembahasan. Selain ketiga topik ini, mereka tidak terlalu sering membicarakannya.
Rusaknya ekosistem, lunturnya budaya, tingkat kesenjangan sosial dan pariwisata serta pembangunan yang berkelanjutan sepertinya lebih sering di bahas masyarakat umum yang berpikir kritis melihat Bali. Masyarakat ini adalah Bali. Saya adalah Bali. Kami tinggal di Bali, bernapas di Bali, dan menatap masa depan dari Bali. Kami melihat dan merasakan apa yang terjadi ketika yang seharusnya dibicarakan tidak dibicarakan. Kami melihat dan merasakan kesejahteraan dan kemakmuran dari pariwisata. Selain itu kami juga merasakan harga yang harus dibayar akibat dari pariwisata.
Sekarang kita semua sedang membicarakan era baru kehidupan kita. Mereka memutuskan untuk menyebutnya dengan new normal. Istilah yang artinya merujuk ke era baru setelah pandemi atau sebenarnya hanya era lama yang diberi beberapa tambahan saja, saya tidak yakin. Karena menurut saya ketika kita bicara era baru, maka semua tata cara kehidupan kita berubah.
Saat ini mereka sedang membahas era normal baru ini untuk menghidupkan kembali pariwisata di Bali. Mereka memikirkan bagaimana supaya kita tidak terlalu lama berada dalam kesunyian yang membuat semua orang menderita.
Sebenarnya Bali memiliki industri perikanan dan pertanian. Kontribusinya terhadap perekonomian memang tidak sebesar pariwisata. Jika Pemerintah lebih memberikan perhatian dan dukungan terhadap kedua industri ini, maka dampaknya bisa menghasilkan kontribusi yang besar terhadap ekonomi.
Menurut saya industri perikanan dan kelautan bisa bertahan lebih kuat dibandingkan dengan pariwisata jika dihadapkan pada keadaan yang membuat Bali tidak banyak dikunjungi wisatawan. Karena mereka yang berada di Bali akan selalu membutuhkan bahan makanan untuk makan.
Belum Berakhir
Saya paham bahwa pariwisata harus dihidupkan secepat mungkin untuk mencegah makin bertambahnya masyarakat yang kehilangan penghasilan. Namun, apakah kita sudah siap?
Pandemi belum berakhir. Di Bali jumlah korban memang tidak sebanyak daerah lain. Namun di daerah lainnya, tingkat penularan masih tinggi. Ada artikel yang yang saya baca menyebutkan istilah “bias optimisme”. Pemerintah yang menyatakan akan segera membuka gerbang supaya turis bisa masuk seakan-akan pandemi sudah selesai seakan memberi sinyal bahwa mereka sudah berhasil menghentikan penyebaran virus. Meskipun kenyataannya tidak demikian.
Pro dan kontra pun bermunculan sebagai reaksi dari kebijakan ini. Mereka yang pro menyatakan bahwa semua ini sudah dilakukan berdasarkan kajian para ahli dan ini dilakukan demi menghidupkan kembali ekonomi. Di sisi lain pihak yang kontra menyatakan kita semua belum siap, pandemi belum berakhir, dan fasilitas kesehatan belum memadai. Sebagai manusia biasa, saya hanya bisa melihat mereka menentukan nasib saya.
Wisatawan lokal adalah pertolongan pertama. Setelah kejadian bom Bali, banyak berita yang mengabarkan wisatawan domestik yang kembali berwisata setelah Bali dinyatakan aman. Bukan berarti tidak ada wisatawan asing yang juga datang berkunjung. Bagi banyak masyarakat Indonesia, berlibur ke Bali adalah sebuah impian yang harus dicapai. Bali adalah destinasi impian dari seluruh kalangan tanpa memandang latar belakang dan kelas sosial.
Tidak dipungkiri ini adalah hasil kampanye dan kabar yang tersebar selama bertahun-tahun tentang eksotisme Bali. Mulai dari study tour, kegiatan tur kantor, berwisata sesama teman, Bali hampir dipastikan menjadi salah satu destinasi yang dipertimbangkan. Maka dari itu wisatawan domestik akan selalu berkunjung ke Bali dan merekalah yang setidaknya akan memantik perputaran roda perekonomian Bali.
Mungkin alasan mengapa banyak pihak tidak terlalu sering membicarakan bagaimana meningkatkan kunjungan wisatawan domestik karena memang tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Mereka sudah mengenal Bali, tidak perlu mendapatkan eksposur iklan pariwisata untuk membuat mereka berpikir mengunjungi Bali. Segala hal dilakukan untuk meningkatkan pelayanan dan kenyamanan turis asing. Seperti usulan untuk membuat wisata halal supaya membuat turis dari timur tengah merasa lebih nyaman dalam berwisata. Di sebuah pusat perbelanjaan di daerah Kuta, sebagian besar pramuniaga sudah mahir berbicara dengan bahasa Mandarin. Apakah peningkatan pelayanan untuk membuat turis domestik juga dipertimbangkan?
Saya pernah menulis tentang bagaimana keramahan masyarakat Bali seperti yang terdapat dalam brosur pariwisata hanya dirasakan oleh sebagian orang saja. Saya masih ingat ketika berkunjung ke toko buku namun tidak mendapat sapaan, sedangkan orang kulit putih yang masuk sebelum saya disapa oleh seluruh karyawan toko itu. Perlakuan tidak menyenangkan saya alami ketika masuk ke sebuah club, di mana petugas keamanan memaksa untuk memeriksa tas yang saya bawa namun tidak dilakukan kepada turis asing yang juga membawa tas.
Hal-hal seperti ini rupanya banyak dialami oleh turis domestic yang berkunjung ke Bali maupun orang yang tinggal di Bali ketika berkunjung ke beberapa tempat. Saya berharap Bali tidak mengorbankan keramahan yang dimiliki hanya untuk diberikan kepada beberapa orang. Bagi yang beragama Hindu, bukankah kita diajarkan untuk memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan.
Ketika saya tiba di Bali pada pertengahan Maret, suasana terasa sangat sunyi. Sekarang di akhir Juni, Denpasar dan sekitarnya sudah mulai ramai, meskipun belum ramai seperti biasanya. Bali itu tangguh. Beberapa kali tertimpa musibah dan selalu bangkit kembali. Bali selalu bangkit karena tidak pernah lupa dengan jati diri dan nilai-nilai yang diwariskan secara turun temurun yang mengajarkan cara kita bertahan hidup. [b]