Sesungguhnya saya enggan melukiskan kisah ini.
Namun, rasa haru terhadap kehidupan keras karyawati salah satu jasa cuci pakaian (laundri) di lingkungan saya, membuat saya ini ingin melukiskannya kepada khalayak umum. Kisah ini saya dituangkan berdasarkan koleksi catatan harian pribadi saya.
Mungkin di antara kita, ada pula yang belum memahami bagaimana kerasnya kehidupan para karyawati laundri ini. Kondisi ini sangat dimaklumi karena kita pun telah tergoda kehidupan yang serba instan, tanpa menelisik proses kehidupan itu sendiri. Cerminan ini mengingatkan saya pada nasehat Squidward Tentacles di kartun Spongebob. “…Tidak ada yang peduli pada nasib buruh, selama mereka mendapatkan kepuasan secara instan,” ujarnya di akhir cerita aksi demo Spongebob dan Squiward kepada Tuan Krab.
Lebih dari setahun, keluarga saya berlangganan salah satu laundri di daerah Desa Pemecutan Klod, Denpasar. Sebagai anak yang berbakti, saya pun menjadi kurir pengantar pakaian keluarga ke tempat laundri tersebut.
Tak heran, saya sangat akrab dengan kedua karyawati Laundry tersebut. Kami pun sering berbagi cerita tentang kehidupan kami di sisi tempat penimbangan pakaian kotor, mulai dari cerita liburan, kondisi negara hingga cerita kampung halaman masing-masing. Di antara kedua karyawan tersebut, saya sangat akrab dengan Susi Hariani yang biasa disapa Ani (45). Ani berasal dari Pacitan, Jawa Timur. Dia bekerja di sini untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Ani dan temannya adalah karyawati yang telaten dan memiliki manajemen yang baik. Sehingga tempat mereka bekerja itu terkenal di kalangan sesama tetangga saya karena kualitas pengelolaan pakaian pelanggannya yang di atas rata-rata kualitas laundri lain.
Paruh waktu mereka bekerja itu sepuluh jam yaitu pukul 8 pagi hingga pukul 6 sore. Paruh waktu kerja ini mengalahkan lima tempat laundri di sekitar rumah saya yang beroperasi biasanya 7-8 jam. Jangankan persoalan paruh waktu yang lebih lama, mereka pun bekerja setiap hari. Bahkan di tanggal merah sekalipun. Hari libur mereka hanya saat Lebaran (Idul Fitri) selama kurang lebih seminggu dalam setahun.
Tibalah Pandemi Covid-19
Di saat kabar COVID-19 menyeruak di Indonesia awal Maret silam, keluarga dan para tetangga saya pun telah mempersiapkan diri untuk menghadapi bencana pandemi ini. Kami mempersiapkan masker kain, hand sanitizer, vitamin hingga disinfektan.
Sebuah ironi pun muncul ketika saya mengantarkan pakaian kotor ke laundri langganan keluarga saya. Terlihat Ani, teman karyawatinya dan pemilik laundry tidak mempersiapkan diri sedini mungkin dalam menghadapi pandemi. Bahkan Ani pun baru mengetahui bahwa ada warga Indonesia yang positif COVID-19 dari penuturan saya.
Saya selalu berkunjung ke laundri tersebut setiap dua kali seminggu. Saya mengamati kehidupan mereka yang bekerja di sana, untuk dijadikan bahan penelitian proposal skripsi saya. Selama Maret ini, tidak ada persiapan apa-apa di tempat Ani bekerja misal protokol keselamatan kerja dalam menghadapi pandemi ini.
Hiruk pikuk tempat laundri yang ramai digeluti pelbagai pelanggan, menjadikan perasaan saya sangat risih terhadap pekerjaan Ani dan temannnya. Hal ini ditambahkan kebiasaan pelanggan dan pemilik laundri yang selalu bersin sembarangan. Mereka sejatinya sangat rentan terhadap pandemi ini. Hingga suatu ketika pemerintah mengumumkan wajib menggunakan masker saat beraktivitas, barulah mereka sangat waspada mengenai efek pandemi ini.
Awal April, pemerintah telah mengumumkan penggunaan masker dan skema protokol keselamatan kerja dalam menghadapi pandemi ini. Bersyukurlah pemilik laundri cepat tanggap mengakomodasi masker dan hand sanitizer kepada karyawatinya. Protokol kesehatan tempat laundry harus mengikuti aturan pemerintah.
Memasuki bulan puasa (Ramadan), teman kerja Ani harus pergi meninggalkan Ani karena suatu kondisi yang mendesak akibat pandemi ini. Sudah tiga kali pertemuan, saya masih melihat Ani bekerja sendirian hampir dua minggu bulan puasa ini. Saya pun bertanya dengan nada pelan, “Bu Ani, mengapa ibu selalu kerja sendiri? Kan ada bos ibu beserta istrinya.”
Ani membalas dengan tersenyum, “Tak apa-apa saya bekerja sendirian.”
Jawaban tersebut membuat saya terkesima dengan ketegaran Ani. Memang saya memaklumi kebiasaan pemilik laundri hanya sebagai pengawas karyawatinya tanpa ikut ambil bagian mengerjakan jasa yang dia dirikan.
Musibah yang Tidak Terduga
Pada 16 Mei silam, sebuah musibah pun terjadi ketika ibu saya mengumumkan kehilangan salah satu pakaiannya di bungkusan rapi hasil jasa laundri tersebut. Hal tidak terduga juga. Kami mendapatkan salah satu barang bukan milik kami yaitu kain kamben hijau kecoklatan. Pandangan mesem pun mewarnai raut wajah ibu saya pada waktu itu.
Sontak saya bergegas ke tempat Laundry dan menanyakan perihal ini kepada Ani. Ani lantas terkejut mendengar musibah ini. “Mohon maaf, Mas. Saya tidak nyangka bisa seperti. Mungkin benar-benar saya kelelahan waktu itu. Ke depannya saya akan carikan pakaian yang hilang tersebut, Mas” ujarnya.
Dia lalu membuka catatannya, tertanggal 10 Mei 2020 bahwa ada tujuh pelanggan yang dia layani termasuk saya. Saya memahami apa yang Ani rasakan dan mentolerir kejadian tersebut. Pasalnya Ani bekerja sendirian di masa menjalankan ibadah puasa dan tetap melayani banyak pelanggan dengan jam kerjanya sepuluh jam perhari.
Human error pun bisa terjadi ketika sesorang mengalami kelelahan. Akhirnya kami menyelesaikan permasalahan ini secara personal tanpa membesar-besarkan musibah ini ke siapapun.
Selepas pulang saya bergegas mengabarkan ke ibu saya tentang langkah selanjutnya yang akan ditempuh. Saya menjelaskan kondisi sebenarnya kejadian tersebut kepada ibu saya yang dilanda rasa kesal. Syukurnya ibu saya pun memahami kondisi yang dialami Ani ini.
Pada pertemuan selanjutnya saya terus menanyakan perihal nasib pakaian ibu saya dan perkembangan kabar enam pelanggan lainnya. Klimaks akhirnya muncul sehabis lebaran, tepat 27 Mei, ketika saya berkunjung ke tempat laundri. Ani curhat ke saya dengan nada sedih, “Aduh, Mas, saya stress kejadian kemarin. Saya kan bertanya ke ibu Prita, apakah ada pakaian mas yang nyelip ke pakaian ibu Prita. Karena saya lupa kontaknya, malah ibu Prita yang kontak langsung ke bos saya. Saya langsung diomelin. Duh, sampai saya pusing,” ujarnya.
Dia menambahkan bahwa dia akan berusaha mengembalikan pakaian ibu saya dengan menghubungi terus enam pelanggan lainnya. “Saya akan berusaha menghubungi mereka, Mas. Jika tidak ketemu saya akan menggantinya sebesar dua ratus ribu rupiah. Tunggu sampai saya gajian bulan Juni ya, Mas. Tapi, tolong mas jangan dibesar-besarkan kepada majikan saya, saya benar-benar stress dan pusing menghadapi omelan majikan saya,” ungkapnya dengan nada memohon.
Dia menjelaskan bahwa kejadian pakaian tertukar ini adalah kejadian pertama kali semenjak dia bekerja November lalu. Saya berjanji tidak akan membesarkan kasus tersebut dan memberi kesempatan Ani untuk menyelesaikan masalah ini.
Untold Stories
Ani merupakan sosok srikandi kuat yang langka di masa kini. Di usianya yang tidak muda lagi, dia sanggup melakoni pekerjaan tersebut untuk menafkahi keluarganya. Fase-fase bagaimana menyulap pakaian kotor menjadi pakaian bersih rapi pun Ani jalani. Mulai dari proses mencuci, membilas, menjemur, mengeringkan, menyetrika, hingga proses pengemasan yang membutuhkan waktu dua hari.
Itu pun baru paket biasa. Masih ada dua jenis paket yaitu paket Express dan One Day yang menguras tenaganya. Ani biasa melayani 6-10 pelanggan dalam sehari bahkan pernah 20 pelanggan. Gaji Rp 1,4 juta per bulan tidak menghentikan tindakannya untuk menghasilkan jasa terbaik pada pelanggannya. Jika terjadi kesalahan dan protes terhadap pekerjaannya, dia pun mengambil risiko untuk bertanggungjawab atas tindakannya.
Selama melakoni pekerjaannya, Ani sangat jarang menemukan momen bermain-main dan canda tawa dengan kedua anaknya. Maklum bekerja setiap hari dengan waktu sepuluh jam sangat menguras momen-momen tersebut.
Walaupun demikian, dia tetap memberikan kasih sayangnya kepada suami dan anak-anaknya. Memasak makanan dua kali sehari untuk sarapan pagi dan makan malam adalah salah satunya. Rutinitasnya pagi-pagi harus bangun, memasak sarapan pagi, berangkat dengan jalan kaki menuju tempat kerja hingga saat pulang dia memasak makanan malam untuk keluarganya itu hal yang sangat membuat terharu bagi saya.
Ketika pandemi melanda negeri ini, Ani tetap menjalankan protokol keselamatan kerjanya dan menjaga daya tahan tubuhnya. Vitamin adalah senjatanya untuk melawan karena dia pun jarang berjemur di saat fajar matahari. Ani berharap semoga dia tetap menafkahi dan membiayai kebutuhan anak-anaknya dan tetap mengabdi jasa terbaik selama melakoni pekerjaannya. [b]