Tiap tahun, jumlah sampah di Bali mencapai 1,5 juta ton.
Sebuah riset terbaru menunjukkan bahwa produksi sampah di Bali mencapai 4.281 ton per hari di mana 11 persen di antaranya mengalir hingga ke laut. Bali Partnership menyampaikan hasil riset itu di Kantor Gubernur Bali pada akhir Juni lalu.
Bali Partnership merupakan kolaborasi lintas-aktor yang didukung Pemerintah Norwegia untuk mengatasi masalah sampah plastik di Bali. Dalam kemitraan ini terdapat Universitas Udayana, Universitas Leed Inggris, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali, dan lembaga konsultan Systemiq.
Sebagai awal program, mereka melakukan riset pada Januari – Mei 2019 untuk membuat data awal sampah di Bali. Data itu diperoleh melalui beragam metode baik survei maupun kajian lapangan. “Kami melakukan pendataan baik data langsung di lapangan maupun yang tersedia di pemerintah,” kata I Gede Hendrawan, dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FKIP) Universitas Udayana.
Detailnya, pendataan itu dilakukan melalui survei pada 949 pelaku pengelolaan sampah, 234 kajian jenis sampah, 10 tempat pembuangan akhir (TPA) untuk pendataan, dan 100 survei sampah di jalan. Data primer itu dilengkapi data skunder dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) seluruh Bali, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Pusat Statistik (BPS), dan Insitut Teknologi Bali (ITB).
Berdasarkan kajian tersebut diperoleh data bahwa jumlah sampah di Bali tiap hari mencapai 4.281 ton. Dari jumlah tersebut, 11 persen di antaranya mengalir hingga ke laut. Tiap tahun, jumlahnya mencapai 1,5 juta ton.
Tim peneliti menemukan tiga penyebab utama banyaknya sampah mengalir hingga laut. Pertama, jumlah populasi. Hingga akhir 2017 lalu, jumlah penduduk Bali sekitar 4,2 juta. Adapun turis asing sebanyak sebanyak 6,4 juta per tahun dan turis domestik lebih dari 10 juta.
Semakin banyak populasi, menurut Hendrawan, makin banyak sampah dihasilkan.
Kedua, baik tidaknya penanganan sampah. Jika ditangani dengan baik, sampah akan lebih sedikit yang ke laut. Terakhir, kedekatan pemukiman dengan air, seperti danau, pesisir, dan sungai. Hasil riset menunjukkan bahwa 90 persen populasi di Bali hidup di wilayah berjarak 1 km dari kawasan air.
“Inilah perhatian kami kenapa banyak sampah hanyut sampai laut,” katanya.
Manajemen Sampah
Dari sisi daerah penghasil sampah, riset itu menunjukkan bahwa tiga daerah di Bali menghasilkan separuh dari total sampah di Bali yaitu Denpasar, Badung, dan Gianyar. Ketiganya merupakan pusat daerah pariwisata.
Jenis sampah yang diproduksi di Bali, 60 persen di antaranya adalah sampah organik sedangkan sampah plastik 20 persen, kertas 11 persen, besi 2 persen, gelas 2 persen, dan lain-lain 5 persen. “Canang (persembahan umat Hindu Bali saat sembahyang) ikut menyumbang jumlah sampah di Bali,” ujar Hendrawan.
Sampah di Bali lebih banyak yang belum dikelola dengan baik. Sebanyak 52 persen sampah Bali, tepatnya 2.220 ton per hari, tidak ditangani dengan baik. Penanganannya belum layak karena tiap hari 944 ton (22 persen) terbuang ke sekitarnya, 824 ton (19 persen) masih dibakar, dan 452 ton (11 persen) terbuang ke saluran air.
Khusus untuk sampah plastik yang terbuang, Hendrawan menambahkan, jumlah paling banyak ada di sungai sebanyak 20,7 ton tiap km persegi. Adapun di pantai sebanyak 3,9 ton sedangkan daratan 2,1 ton tiap km persegi.
Dari 2.061 ton (48 persen) sampah yang ditangani pemerintah maupun komunitas, sebanyak 1.897 ton (44 persen) dibuang ke tempat sampah sedangkan 164 ton (4 persen) didaur ulang. “Namun, kami belum menyelidiki lebih lanjut bagaimana penanganan sampah itu di TPA,” kata Hendrawan.
Dari 2.061 ton sampah yang ditangani, 70 persen di antaranya masuk ke TPA Suwung di Denpasar. “Ini masuk akal karena TPA Suwung adalah tempat pembuangan yang terakhir,” katanya.
Banyaknya sampah yang sudah ditangani ini menurut Hendrawan menunjukkan bagusnya upaya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali maupun pemerintah daerah lain dalam menangani sampah di Bali. Tim peneliti juga mengapresiasi peran masyarakat yang sudah mendaur ulang meskipun belum ada regulasi yang mengatur.
Sebagai penutup, Hendrawan menyatakan bahwa riset Bali Partnership hanyalah awalan untuk mewujudkan pengelolaan sampah yang lebih baik di Bali.
Musuh Bersama
Dalam kesempatan sama, Sekretaris Daerah (Sekda) Pemprov Bali I Made Indra mengatakan bahwa Pemprov Bali sudah menunjukkan komitmen melawan sampah plastik di Bali. Menurut Indra, plastik termasuk musuh bersama yang diperangi karena bisa mengganggu pesona Bali sebagai daerah pariwisata.
“Jika kita tidak bisa menjaga Bali dari sampah plastik, maka taksu Bali akan luntur dan hancur,” kata Indra.
Indra menambahkan Pemprov Bali berusaha memerangi sampah plastik dari hulu ke hilir. Dari darat sampai laut. “Laut yang tercemar akan mengurangi fungsinya. Akan mengganggu kita. Dan yang lebih penting akan mengganggu pariwisata yang telah menghidupi kita,” ujarnya.
Untuk itulah Pemprov Bali sudah memulainya dengan membuat Peraturan Gubernur (Pergub) Bali nomor 97 tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai (PSP). “Namun, Pergub (Pembatasan PSP) saja tidak cukup. Kami akan terus menyempurnakan dengan peraturan lain untuk menjaga lingkungan,” ujarnya.
Sementara itu Bjørnar Dahl Hotvedt, Charge d’Affaires Kedutaan Besar Norwegia untuk Indonesia mengatakan bahwa Pemerintah Norwegia ingin berpartisipasi untuk memberikan solusi terkait isu sampah plastik di Indonesia, khususnya Bali. Untuk itulah Norwegia juga mendukung program Bali Partnership.
“Sekarang saatnya kita melakukan langkah untuk mencegah agar masalah sampah plastik di Bali tidak semakin buruk,” katanya dalam kesempatan yang sama.
Dukungan dari Pemerintah Norwegia itu, Bjørnar melanjutkan, dalam bentuk hibah sebesar $500 ribu atau sekitar Rp 7 miliar, untuk proyek penelitian data sampah di Bali.
Sebagai daerah pariwisata, sekaligus etalase Indonesia di mata internasional, menurut Bjørnar, Bali memiliki peran penting untuk menangani masalah sampah plastik. Apa yang dilakukan di Bali akan diketahui negara-negara lain dengan mudah. Dia mencontohkan lahirnya Pergub Bali soal sampah plastik yang segera diketahui sampai Norwegia melalui media massa.
Selain Bali, Pemerintah Norwegia juga mendukung upaya penanganan sampah plastik di Muncar, Banyuwangi bekerja sama dengan pemerintah lokal. Fokusnya pada pengumpulan sampah, daur ulang, dan bersih-bersih pantai.
Di tingkat kebijakan, mereka juga bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk memformulasikan kebijakan dan bagaimana melaksanakan Peraturan Presiden (Perpres) untuk mengurangi sampah plastik hingga 70 persen sebelum 2025.
“Pendekatan berbasis data memastikan keberhasilan Bali Partnership. Kami berharap kemitraan ini bisa menjadi contoh bagaimana berbagai kepentingan bisa bersatu untuk mencapai tujuan bersama,” katanya.
Untuk itu, Bjørnar menambahkan, semua pihak harus terlibat untuk menangani masalah sampah plastik mulai dari produsen sampai konsumen. “Upaya sekecil apapun tetap penting,” tegasnya. [b]
Catatan: artikel ini pernah terbit di Mongabay Indonesia. Ringkasan hasil riset bisa dicek di situsweb Systemiq.