Mungkin istilah ini terlalu lancang, tetapi itulah kenyataannya.
Subak adalah salah satu unsur penting peradaban pertanian Bali. Subak menjadi medium dari praktik ritual dari kosmologi Agama Tirta (pemuja air) bagi peradaban manusia Bali. Sekaa Subak, menjadi organisasi penting yang memastikan berjalannya peradaban air pada lahan-lahan pertanian masyarakat.
Selain sebagai jantung kehidupan, air menciptakan filosofinya sendiri. Totalitas kehidupan keagamaan manusia Bali dinapasi salah satunya oleh air tersebut.
Bentang lahan pertanian yang diairi subak menjadi cikal-bakal peradaban Bali sebelum mengenal pariwisata. Dalam konteks itulah Bali pernah merasakan masa keemasan “kebudayaan pertanian” yang didukung oleh sistem komunitas masyarakatnya. Sistem komunitas inilah yang menopang kebudayaan pertanian dengan jaringan keterikatannya, di antaranya adalah hubungan sosial desa dan banjar, orientasi pura penting, banua, sanggah kemulan. Lingkaran jaringan keterikatan inilah yang menaungi sekaligus menggerakkan kehidupan dan mencipta kebudayaan Bali itu sendiri (Bagus, 1993; 2011; Reuter 2002; 2018).
Namun, kini Bali telah jauh berubah. Pertanian pelan tapi pasti telah ditinggalkan. Kebudayaan dan praktik beragama yang awalnya berpusar pada pertanian, termasuk subak di dalamnya, berangsur-angsur bergeser.
Sudah biasa kita melihat lahan-lahan pertanian disulap menjadi perumahan bahkan deretan Ruko (Rumah Toko). Pura-pura subak semakin terhimpit meski para penyungsung-nya masih bersetia di tengah situasi yang serba sulit.
Pura Bedugul, Pura Ulun Empelan, Pura Ulunsuwi—beberapa nama pura-pura subak—memang masih ada. Namun, aktivitas pertanian yang melibatkan subak di daerah-daerah urban semakin minim. Beberapa aktivitas pertanian dan subak mungkin masih berlangsung di daerah pertanian. Subak perlahan-lahan lepas dari akar ibunya bernama pertanian.
Lalu siapa ibu subak kini?
Tatanan Kebudayaan
Subak sebenarnya memiliki catatan panjang dalam rentang peradaban Bali. Huma adalah salah satu kata yang terdapat pada Prasasti Sukawana AI 882 M. Huma dalam prasasti tertua di Bali tersebut merujuk kepada sawah. Hingga kini Huma/Uma memiliki pengertian sawah.
Temuan tersebut membuktikan bahwa pertanian dengan sistem perladangan dan sistem persawahan yang teratur telah ada di Bali pada tahun 882 M. Sistem pengaturan air persawahan di Bali sendiri sudah ada pada 896 M.
Hal ini dibuktikan dalam keterangan di Prasasti Bebetin A1 986 M. Prasasti ini antara lain menyebutkan kata-kata Undagi Lancang, Undagi Batu, dan Undagi Pangarung. Artinya adalah tukang membuat perahu, tukang mencari batu (ngandik batu), dan tukang membuat terowongan air atau aungan.
Jejak Prasasti Trunyan A 891 M menyuratkan kata Sardanu. Artinya kepala urusan air danau (dalam hal ini Danau Batur). Sejak zaman itu telah ditetapkan seorang kepala yang mengurus tentang keteraturan jaringan pengairan yang menggunakan air Danau Batur sebagai sumbernya.
Catatan berikutnya yang menuliskan nama Kasuwakan pada Prasasti Pandak Badung tahun 1071 M. Selain itu, kata Kasuwakan juga terdapat dalam Prasasti Raja Purana, Pongotan Kelompok IV, dan Timpag. Nama Kasuwakan tersebut terdapat dalam prasasti-prasasti yang termasuk wilayah pemerintahan Raja Sri Anak Wungsu.
Dari keterangan tersebut menjadi jelas bahwa terjadi pengembangan pertanian lahan basah di Bali. Sistem pengairan ini diperkirakan sudah berkembang sejak zaman Bali Kuno sekitar abad VIII dengan konstruksi yang sangat sederhana yaitu dibuat dari material tanah, batang kayu, batu dan sudah juga dikenal adanya konstruksi terowongan (awungan). Jejak prasasti sebagai bukti sejarah tersebut telah membuktikan betapa tuanya peradaban pertanian sekaligus air di tanah Bali (Goris, 1954; Purwita, 1997: 40-44).
Subak dengan demikian sejatinya adalah kejeniusan kebudayaan pertanian Bali. Bagus (1993) sudah menengarai bahwa kebudayaan pertanian yang tumbuh berkait dengan sistem komunitas yang turut pula memantapkan sistem pertanian di Bali.
Dari zaman kerajaan, Belanda, hingga hadirnya pemerintah Indonesia, terus menggunakan kebudayaan pertanian—subak di dalamnya—untuk turut memajukan tingkat penghidupan masyarakat yang dapat meningkatkan stabilitas sosial politik. Tidak hanya terbatas dalam sistem komunitas, tetapi juga menyangkut teknologi pertanian dan ideologi sistem budaya.
Subak Nyebak
Argumentasi Bagus (1993) tentu kedaluwarsa dalam konteks Bali kontemporer. Pondasi subak kini sudah beralih. Ideologi keterikatan komunitas dan kebudayaan pertanian juga sekarang patut dipertanyakan kembali.
Transformasi sudah terjadi hingga ke akar-akarnya. Subak yang adalah subak bantuan, subak pariwisata, atau mungkin subak bansos? Entahlah. Totalitas kebudayaan pertanian yang menaungi subak sudah beralih.
Laporan Mongabay mendeskripsikan para petani subak di Jatiluwih mesti bersiasat untuk bertahan hidup dengan modal sawah di kawasan terasering. Mereka menolak untuk dijadikan obyek pariwisata semata. Para petani berusaha mengais reman-remah pariwisata dari datangnya wisatawan.
Bahkan, sebagai aset yang berharga, mereka harus melindungi sawah mereka dengan pintu dan jeruji besi. Hal ini untuk mencegah wisatawan merusak sawah mereka.
Seorang petani mengungkapkan, “Pematang yang sudah dirapikan kemudian rusak karena diinjak-injak. Padi yang sudah merunduk berisi kadang dicabut turis. Pintu dengan jeruji besi menjadi pembatas agar turis tidak sembarangan masuk sawah.”(Muhajir, 2019)
Cerita tentang subak adalah narasi tentang kepiluan sekaligus ironi kebudayaan Bali. Romantisme subak terjembatani salah satunya dengan ditetapkannya kawasan persawahan Jatiluwih sebagai ikon Warisan Budaya Dunia (WBD) yang ditetapkan oleh UNESCO pada 2012.
Namun, jangan salah. Keluarnya cap WBD selain dimaknai sebagai cultural capital (modal budaya) untuk mengeruk dolar pariwisata, kebudayaan Bali senyata-nyatanya kian terpapar dengan komodifikasi (pendaur-ulangan) kuasa rezim pariwisata. Memantas-mantaskan diri di depan pariwisata adalah salah satu siasat jitu untuk tetap bertahan.
Kita, manusia Bali ini, seolah kehilangan daya untuk memikirkan kehidupan pasca pariwisata. Separah itu.
Subak, jika tidak tertopang oleh kehidupan kebudayaan pertanian adalah semu dan kamuflase semata. Seperti yang dialami oleh kehidupan subak kini. Subak, diada-adakan untuk kepentingan pariwisata. Jika benar ada subak, ia harus dipermak dan menghadapi realitas yang menjadikannya masuk dalam kubangan pertunjukan pariwisata.
Kini, sejujurnya harus diakui, bahwa yang menopang subak adalah pemerintah (dengan berbagai bantuan dana) dan sudah tentunya rezim pariwisata. Maaf, bukan lagi pertanian.
Sejatinya kini, subak hanyalah tinggal kisah usang kejeniusan peradaban kebudayaan pertanian Bali. Totalitas kebudayaan komunitas yang kait-mengkait kini sudah mulai lepas ikatannya. Pragmatisme dan transformasi kebudayaan mengakibatkan orientasi ideologi kebudayaan dan sistem komunitas yang menjadi tiang penyangga subak goyah. Subak nyebak (menangis) mungkin istilah yang terlalu lancang dikedepankan, tetapi itulah kenyataan yang terjadi.
Saya teringat Marc Auge dalam Non-Places: Introduction to an Anthropology of Supermodernity (1995) mengungkapkan bahwa kuasa politik (globalisasi) membuat komunitas-komunitas tempatan tidak serta-merta bisa mengakui tanah atau ruangnya. Hadirnya kuasa baru yang memiliki kuasa modal global dan politik merampas semuanya. Asal-usul komunitas lama tidak lagi bisa menjejak ibu pertiwi atau tempat tertentu tetapi ke tempat antah berantah.
Begitulah kini subak. Sebagai sebuah kenyataan, subak tidak lantas mendaku wilayahnya yang kini telah berubah menjadi perumahan atau Ruko. Subak kini beradaptasi (baca: memantas-mantaskan diri) dengan panglimanya yang baru bernama pariwisata.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa subak kini berada di wilayah Non-Places, antah-berantah. Ia tidak betul-betul menjejak ibunya bernama pertanian, tapi sudah menjulang ke dunia (pariwisata) antah-berantah. [b]