Euforia suasana politik terasa “gerah” penuh nuansa-nuansa saling ejek.
Dunia pun terasa “mendem”. Perang kata-kata seperti tsunami yang lebih dahsyat dari seluruh tsunami yang terjadi di seluruh dunia. Semua media daring terasa “perang” dunia kesekian. Lebih mengerikan, bahkan beragam dokumen-dokumen rahasia pun meluncur bebas masuk ke dalam rumah-rumah kita saat ini.
Men Coblong hanya bisa menarik napas. Itukah sesungguhnya fungsi dari media daring?
Apa pun yang meluncur dari media daring terasa membuat Men Coblong “mendem”. Orang Bali memberi kata “punyah”. Ya, begitulah kondisi masyararat kita saat ini, tidak hanya di Bali atau di Indonesia tetapi di dunia.
Rakyat yang aslinya tidak tahu apa-apa, belakangan juga jadi sering “latah” ikut memberi beragam komentar-komentar yang tentu saja “seharusnya” bisa membuat telinga para pemilik “kekuasaan” di negeri ini minimal memiliki sedikit saja remahan rasa malu.
“Percuma, mana ada yang sadar. Mencuri itu sekarang kebutuhan. Trendsetter. Tidak bisa mencuri berarti tidak menjadi bagian dari komunitas sosial tertentu. Lihat saja, alangkah rumitnya para petinggi negeri mengambil keputusan yang sederhana, apakah para koruptor boleh ikut menjadi anggota legislatif? Jawabannya muter-muter. Padahal orang tidak sekolah saja pasti bisa jawab, masak orang yang kerjaannya mencuri duit rakyat kita pilih mengurusi duit?” sahabat Men Coblong mengulik kuping Men Coblong serius.
Men Coblong terdiam, iya juga ya. Masak mengambil keputusan mudah begitu sangat sulit. Padahal konon mereka itu orang-orang pilihan. Banyak juga pakar-pakar yang khatam teori-teori hukum. Men Coblong memang tidak paham hukum. Tidak juga paham trik-trik mencuri dan membohongi masyarakat.
Tetapi harusnya para petinggi itu minimal paham, masak dana pembangunan sekolah dikorupsi? Dana pembangunan jembatan. Dana kesehatan bagi masyarakat.
“Lama-lama aku memiliki pemikiran begini, Men Coblong.”
“Begini bagaimana?
“Aku tahu saat ini masyarakat di seluruh Indonesia lagi punyah beragama. Punyah mencari surga dan kebaikan. Mungkin kalau para ilmuwan mampu mendeteksi pasti saat ini di Indonesia sudah tidak ada setan?”
“Maksudmu?” tanya Men Coblong sambil mengernyitkan alis.
“Setan-setan pada kabur. Karena pekerjaan yang biasanya diambil para setan sudah diambil manusia. Bayangkan sekarang ini orang yang diberi amanah untuk mengatur duit rakyat demi kesejahteraan rakyat justru tega makan duit itu untuk diri mereka sendiri. Lihat saja. Banyak anak miskin tidak bisa sekolah. Jembatan rubuh. Gedung sekolah rubuh. Guru-guru kontrak yang hidupnya ketar-ketir. Sekarang ini di sekolah-sekolah guru-guru kontraklah yang jadi ujung tombak dunia pendidikan. Masalahnya justru mereka juga yang tidak mendapat tunjangan kerja layak. Pontang-panting memberi les ke sana ke mari untuk menghidupi keluarga mereka sementara guru tetap sudah nyaman karena sudah dapat uang lebih dari sertifikasi guru. Coba saja tanya dan cek nasib guru-guru kontak di seluruh sekolah favorit yang ada di Denpasar.”
Men Coblong tersenyum. Asyik juga logika sahabatnya itu, ternyata para “setan” dan “dedemit” sudah raib dari Indonesia.
Men Coblong tertawa, rasanya menjadi orang kecil itu memang asik. Apalagi kalau memiliki logika-logika karikatural. Karena hidup memang harus terus dinikmati, agar tidak jenuh. Agar tidak frustasi. Karena banyak sekali saat ini orang-orang yang memilih “menghabisi” dirinya dengan gantung diri. Yang terbaru, Anthony Bourdain, chef dan host acara perjalanan dan kuliner jaringan televisi CNN. Bagaimana riangnya Anthony Bourdain mencicipi dan menceritakan beragam gaya dan cara makan beragam masyarakat di dunia, kadang dia juga terlihat ekpresif ketika mencicipi hidangan yang pasti tidak selalu cocok dengan lidah bulenya. Ada lagi , tokoh mode Kate Spade — yang memiliki rancangan-rancangan produk fashion dengan umat seluruh dunia. Rancangan meriah, lucu, unik, dan simple juga memilih mati bunuh diri.
Apakah yang sesungguhnya terjadi dengan kehidupan modern kita? Bagaimanakah sesungguhnya kita sebagai umat manusia untuk menggali beragam syukur yang telah ditumpahkan hidup pada diri kita?
Apakah sesungguhnya yang kita cari dari hidup ini? Hidup yang kadang membuat kita jenuh dan rapuh. Berita-berita koruptor yang tertanggap OTT (operasi tangkap tangan) tetapi dengan wajah semringah — tanpa dosa. Apakah yang salah dengan euforia beragama kita?
Men Coblong terdiam, sambil menatap eforia yang berbeda dari beberapa teman-teman, tukang bangunan rumah, dan tukang angkut sampah rumahnya, juga pemulung yang sering membersihkan kebun Men Coblong. Kali ini wajah-wajah yang biasanya letih itu terlihat riang, girang.
“Maklum mau mudik, Bu. Ketemu keluarga di kampung. Rasanya itulah surga kita. Surga kami, Bu,” jawab mereka. Selintas tak ada beban, tak ada amarah di wajah-wajah itu. Alangkah sederhananya mereka, rakyat-rakyat kecil itu. Penopang ekonomi yang tidak kalah pentingnya dari para “pencuri”. Pertanyaan Men Coblong apakah para “pencuri-pencuri “ itu bahagia menghabisi duit rakyat?
Selamat mudik semeton. [b]